Menjelaskan perkembangan film dewasa Jepang alias JAV yang digarap serius dan legal, mulai dari sejarah, genre, posisi komisi penyiaran, sisi gelap industri, hingga penghargaan industri 18+.
Kita semua bisa saja dengan mudahnya sepakat bahwa industri perfilman Jepang didominasi dengan anime yang sudah mendunia. Namun, ada satu lagi segmen yang ada kalanya sulit untuk dihindari kala kita membicarakan Jepang. Yap, film dewasa yang lekat dengan sebutan Japan adult videos (JAV) memang legal di sana.
Lebih dari sekadar legal, JAV berkembang dengan begitu pesatnya. Di negara yang terkenal dengan tata krama dan budaya konvensional yang kuat, ironisnya, industri ini sudah berjalan lama dan memang dikembangkan secara serius.
Kalau kalian penasaran bagaimana industri JAV berkembang, silakan kulik artikel ini lebih lanjut. FYI, kalian enggak akan mendapatkan rekomendasi tontonan JAV, ya. Kami enggak mau KINCIR dihujat massa atau diberedel Kemkominfo.
Yuk, simak bagaimana perkembangan JAV sebagai salah satu bagian dalam industri perfilman Jepang!
Karya Erotis, Berawal dari Lukisan
Kapan industri JAV bermula? Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diketahui bahwa erotisme di Jepang sudah berlangsung dari Periode Edo (1603—1868). Di zaman itu, sudah ada karya seni yang dinamakan Shun-Ga.
Shun-Ga kebanyakan berupa lukisan yang menggambarkan hal-hal erotis seperti hubungan badan atau puisi yang bertemakan sensualitas dan seksualitas. Jadi, bisa dibilang, karya dengan muatan unsur “dewasa” bukan hal yang baru dan dilarang untuk ditampilkan.
Zaman Edo memang kaku. Namun, kontradiktif dari kesan yang ditampilkan, kesenian dan hiburan justru berkembang cukup pesat pada masa itu. Salah satu buku terkenal yang sarat akan sensualitas berjudul Utamakura. Di sana, kalian bisa melihat lukisan-lukisan persetubuhan yang, tentu saja, enggak segamblang JAV. Namun, tetap ada kesan seksi yang dimunculkan.
Kalau kita berfokus pada video, sejatinya industri film erotis baru ada di era 1960-an. Tentu saja saat itu teknologi film sudah ditemukan dan lazim digunakan.
Jangan bayangkan karya erotis di zaman itu punya tema hardcore dengan plot unik sebagaimana JAV di masa kini. Berbeda dari JAV modern yang idenya “kelewat imajinatif”, karya-karya erotis ini dipresentasikan dengan lembut. Nah, film-film yang memuat adegan seks ini dilabeli sebagai pink film (pinku eiga).
Pink Film, Genre yang Sering Disalahpahami
Pink film pertama yang ada di Jepang berjudul Nikutai no Ichiba atau Flesh Market, karya Satoru Kobayashi pada 1962. Film ini berkisah tentang seorang cewek yang diculik oleh para penjahat. Dalam proses itu, dia berkesempatan mencari pembunuh kakaknya.
Merasa plot itu terlalu “aneh” untuk film dewasa? Memang, dalam pink film kalian akan menemukan banyak adegan yang berkaitan dengan seks dan ketelanjangan. Meski begitu, visualnya enggak kasar dan enggak melulu terarah pada seksualitas secara eksplisit. Kurang lebih seperti film-film erotis Indonesia era 1980-an yang justru posternya lebih “mengundang”.
Pengaruhnya enggak lain dari Amerika Serikat. Saat itu, Amerika Serikat memang lagi banyak bikin film yang berhubungan dengan seks (sexploitation). Nah, film independen yang dibikin Kobayashi ini menghebohkan. Banyak pandangan negatif (karena Jepang belum terbiasa dengan hal-hal “terbuka”), tetapi juga bikin orang penasaran sampai film ini meraup pendapatan seratus juta yen.
Beberapa pink film yang terkenal antara lain Daydream (1964) dan Affairs Within Walls (1965). Disutradarai oleh Takechi Tetsuji, Daydream berkisah tentang penulis yang terobsesi dengan cerita-cerita erotis. Sementara itu, Affairs Within Walls berkisah tentang kehidupan di apartemen suburban di Jepang pascaperang.
Meskipun merupakan film independen, Affairs Within Walls mampu menembus Berlin Film Festivals. Membanggakan? Bagi pemerintah Jepang saat itu, kondisi tersebut sangat memalukan. Maklum, mereka enggak mau dapat prestasi dari film yang dianggap “enggak sopan” dan “erotis”.
Komisi Penyiaran Film Porno di Jepang
Pernah baca Kaze no Uta o Kike alias Dengarlah Nyanyian Angin? Novel karya Haruki Murakami ini bercerita tentang liburan tiga anak muda yang begitu bebas di era 1970-an. Nah, anak-anak ini diceritakan terpengaruh budaya Amerika Serikat lewat lagu-lagu radio dan film.
Tentunya, kalian paham bahwa hubungan antara Jepang dan Amerika Serikat saat itu masih kurang harmonis. Salah satunya dipicu tragedi Bom Hiroshima dan Nagasaki pada 1945. Padahal, Amerika Serikat memang lagi gencar-gencarnya mempromosikan budaya-budaya mereka. Terlebih, ada banyak gerakan kebebasan saat itu.
Seakan enggak mau kalah dari Amerika Serikat, Jepang mulai menggenjot industri pink films. Hal tersebut dilakukan supaya anak-anak muda lebih tertarik menonton film Jepang daripada Amerika Serikat.
Uniknya, ada komisi yang dibentuk pada 1972 terkait film erotis ini. Penggagasnya adalah Setsu Kobayashi dari Universitas Keio. Lembaga tersebut bernama Seijin Bideo Jishu Kisei Rinri Shoudankai dan berubah jadi Nihon Ethics of Video Association (NEVA) pada 1977.
Yap, siapa bilang bikin film porno itu enggak perlu peraturan? Nyatanya, ada beberapa hal yang enggak pantas dilihat dalam sebuah adegan erotis. Mulai dari alat bantu seks tertentu yang dianggap sebagai kejahatan sampai visual alat kelamin.
Sensor alat kelamin masih berlangsung sampai sekarang dan tercantum dalam Konstitusi Jepang Pasal 175. Jadi, dalam AV dari Jepang, bagian kelamin benar-benar diburamkan, sekasar apa pun adegannya.
Menurut mereka, kelamin bukanlah sesuatu yang pantas dipertontonkan. Hal ini juga berlaku dalam hentai alias anime atau manga porno. Bahkan, Yuji Suwa, kreator eromanga berjudul Misshitsu (Honey Room), dipenjara tiga tahun dengan denda karena menampilkan kelamin di dalam karyanya tersebut.
Lantas, bagaimana dengan video-video porno Jepang yang menampilkan alat kelamin? Video-video ini bahkan bisa dilihat di berbagai situs video porno gratis. Yap, ada saja oknum rumah produksi yang menyebarkan versi uncensored secara ilegal. Tentu saja, ada permainan Yakuza di sini.
Yakuza bukanlah sebuah organisasi yang hobinya sekadar membunuh orang atau berantem. Mereka juga masuk ke berbagai bisnis, mulai dari kontraktor, kelab malam, prostitusi, sampai JAV. Hal ini enggak bisa dihindari karena Yakuza sudah mendarah daging di kehidupan masyarakat Jepang.
Merebaknya Rumah Produksi Film Dewasa
Awalnya, memang pink film dibuat secara independen. Namun, industri ini lama-lama berkembang seiring dengan merebaknya rumah-rumah produksi penghasil pink film.
Contohnya saja Shochiku yang memproduksi pink film fenomenal berjudul Daydream. Shochiku sebenarnya sudah dibentuk pada akhir abad ke-19. Namun, di era 1960-an, rumah produksi ini juga kerap memproduksi pink film. Hingga kini, Shochiku masih menjadi salah satu rumah produksi terbesar di Jepang yang memproduksi anime, film, dan sebagainya.
Ada juga Nikkatsu yang jadi produser pink film pada masa itu. Sayangnya, Nikkatsu harus mengakhiri karyanya pada 1988 dengan film Bed Partner.
Meski bangkrut pada 1993, Nikkatsu telah berperan besar dalam industri film dewasa. Film-film mereka mampu menjadi magnet perhatian masyarakat dan memengaruhi rumah produksi yang lain. Alhasil, film dewasa jadi lebih banyak bermunculan dengan tampilan yang lebih “berani”.
Hingga kini, ada banyak rumah produksi JAV, tapi hanya beberapa yang menonjol dan produktif. Salah satu yang jadi unggulan adalah Moodyz yang didirikan pada 2000. Rumah produksi yang awalnya bernama Mr. President ini merupakan rumah produksi pembuat film dewasa terbesar. Karya-karya mereka pada umumnya adalah dream school, film-film porno yang berlatar sekolah.
Ada pula IdeaPocket. Lebih muda dua tahun daripada Moodyz, rumah produksi ini cukup produktif membuat seri-seri film porno. Seri yang paling tenar adalah seri dengan konsep bukkake.
S1 No1 Style juga menjadi rumah produksi film dewasa yang terkenal dan produktif. Mereka bahkan membuat sebuah “gebrakan” perihal sensor. Sensor mosaik di alat kelamin yang terlihat kasar mereka olah menjadi lebih halus sehingga penampakannya alami dan enggak mengganggu estetika film.
Pernikahan, Nafsu Seksual, dan Pornografi
Menurunnya populasi manusia di Jepang memang jadi masalah besar beberapa waktu belakangan ini. Hal ini disebabkan oleh turunnya angka pernikahan. Berbeda dengan Indonesia, muda-mudi Jepang ini enggak ngebet nikah di usia dua puluhan bahkan tiga puluhan.
Ada banyak alasan. Di antaranya beban kerja dan budaya. 70 persen cewek Jepang meninggalkan pekerjaannya setelah anak pertama lahir. Mengurus anak dan rumah tangga dianggap sebagai harga mati bagi perempuan.
Bahkan, di keluarga tradisional, cowok di rumah sama sekali enggak memegang pekerjaan rumah tangga. Fungsi mereka adalah bekerja mencari nafkah, urusan domestik adalah tanggung jawab wanita. Jadi, enggak heran lagi, ‘kan, kalau kalian enggak pernah lihat bapaknya Nobita dan bapaknya Shin-chan memegang pekerjaan rumah tangga (kecuali saat istri mereka ngamuk)?
Angka pernikahan rendah, tetapi enggak begitu dengan hasrat seksual. Seperti manusia pada umumnya, masyarakat Jepang juga punya dorongan seksual. Nah, salah satu penyaluran yang mereka andalkan adalah film dewasa.
Hebatnya, industri film dewasa jadi kedua yang paling besar di Jepang setelah industri otomotif. Industri ini bahkan menghasilkan 220 miliar yen per tahun atau setara dengan Rp28 triliun. Industri ini berkembang pesat. Bahkan, ada virtual reality video porno Jepang yang disutradarai oleh Taro Kambe dan diproduksi oleh pengembang game bernama Voltage.
Alat-Alat Penunjang “Palsu” dalam JAV
Frustrasi seksual masyarakat mendorong pesatnya perkembangan dan persaingan dalam industri JAV. Para sineas pun berlomba-lomba menghasilkan karya yang unik dengan ide segila mungkin. Makanya, jangan heran kalau kalian menyaksikan adegan-adegan “ekstrem” yang bahkan enggak kalian temukan dalam adult video negara lain, seperti Amerika.
Bukan hanya adegan yang “gila”, bahkan ada kalanya JAV menggunakan alat bantu khusus. Misalnya saja alat kelamin pria palsu untuk membuat kelamin terlihat lebih besar. Sebenarnya, sih, properti ini hanya bisa dilihat di versi film ilegal yang enggak disensor.
Ada pula puting palsu, seperti yang selalu dipakai oleh Kaho Shibuya dalam beberapa filmnya. Puting ini menimbulkan kesan panjang dan ekstrem. Mungkin kalian bingung kenapa ada orang yang bisa menemukan ide semacam ini. Namun, kalau kembali mengingat betapa subur tumbuhnya industri JAV, kita akan menemukan sebuah pemakluman.
Sisi Gelap Industri Film Dewasa
JAV adalah industri yang legal. Namun, enggak bisa dimungkiri bahwa karier sebagai aktor atau aktris film porno bukanlah karier yang bisa dibanggakan. Maria Ozawa atau yang kalian kenal dengan nama Miyabi bahkan harus putus hubungan dengan orangtuanya dan “mengisolasi diri”. FYI, kalau kalian penasaran dengan kabarnya, sekarang dia sudah enggak main film dewasa dan berprofesi sebagai model seksì di Filipina.
Selain citra yang kurang baik dan peranan Yakuza, ada pula masalah besar yang baru terbuka beberapa waktu belakangan ini, yaitu pemaksaan. Pemaksaan ini bahkan lebih parah daripada rahasia umum bahwa banyak aktor dan aktris film porno yang sebenarnya enggak menikmati peran mereka.
Banyak anak muda yang dijebak menjadi pemain film porno atau photoshoot dewasa. Dalam wawancara dengan TEDx Talks, Shihoko Fujiwara, pendiri organisasi nirlaba Lighthouse (bergerak di bidang pencegahan perdagangan manusia), membenarkan hal tersebut. Pada 2015, pihaknya menerima lebih dari 100 keluhan terkait pemaksaan dalam adegan-adegan film atau pemotretan porno.
Sadisnya, di kontrak tertera bahwa mereka akan direkrut untuk menjadi model fashion. Usai penandatangan kontrak, ternyata mereka dipaksa untuk berfoto atau syuting film dewasa. Banyak yang menolak, tetapi mereka diancam dengan denda jutaan yen karena telanjur terikat kontrak.
Salah satu aktris JAV, Saki Kozai, pernah menceritakan bagaimana pahitnya pengalaman yang dia rasakan kala terjun ke industri film porno. Dilansir The Strait Times, Kozai dihampiri oleh sekelompok orang yang mengaku dari perusahaan agensi untuk menawarinya menjadi model.
Merasa antusias, Kozai yang saat itu berusia 24 tahun langsung mengiyakan tawaran tersebut. Ternyata, bukannya membintangi sebuah video promosi, di hari pertama Kozai langsung diminta untuk beradegan seks di depan kamera.
“Saya hanya bisa menangis, tidak sanggup membuka baju. Saat itu ada sekitar 20 orang mengelilingi saya. Tidak ada perempuan yang bisa berkata ‘tidak’ kalau berada dalam situasi seperti itu,” ungkap Kozai yang kini telah bebas meninggalkan agensi yang menjebaknya.
Di sisi lain, Mariko Kawana, eks bintang porno yang kini menjadi novelis, tidak mau tinggal diam. Dia mendirikan sebuah organisasi untuk menyuarakan kontrak yang seragam dan transparan.
“Setiap perusahaan film dewasa memang punya kebijakan masing-masing. Namun, seharusnya mereka bisa melindungi hak para aktrisnya,” ujar Kawana yang mengaku memilih terjun ke industri JAV karena pilihan pribadi.
Penghargaan Film Porno Jepang
Di balik kesuramannya, industri JAV juga memiliki sisi gemerlap. Selain keuntungan yang bisa mencapai miliaran yen per tahun, segmen ini juga mendapat wadah tersendiri untuk diapresiasi. Yap, layaknya Amerika Serikat dengan AV Award, Jepang juga punya penghargaan film porno.
Nama ajang penghargaan ini berubah-ubah. Mulai dari AV Open (2006—2007) hingga AV Grand Prix (2008—2009) sampai akhirnya ajang ini mengalami mati suri. Pada 2014, penghargaan ini kembali lagi dengan nama AV Open. Total hadiahnya di atas 10 juta yen untuk seluruh nominasi.
Nominasi paling tinggi dalam AV Open adalah “Grand Prix Winner” (seperti “Best Picture” dalam Academy Awards). Pada tahun itu, pemenangnya adalah film berjudul Anal Bukkake Fuck Now! (2014) yang diproduksi salah satu rumah produksi film porno terbesar, Moodyz. Film ini dibintangi oleh Minako Komukai, model gravure yang debut di JAV pada 2011. AV Open terakhir diselenggarakan pada 2018 lalu dan masih akan menjadi ajang rutin tahunan layaknya penghargaan-penghargaan lain.
Selain AV Open, ada ajang penghargaan industri 18+ lain yang juga terkenal, yaitu Adult Broadcasting Awards (ABA) dan Fanza Adult Award (FAA). Saat masa pandemi pun, ajang ini tetap dilakukan secara daring, seperti penghargaan Sky PerfecTV! Adult Broadcasting Awards season 2020 yang digelar pada November lalu.
***
Dikenal sebagai negara dengan budaya malu yang kuat, Jepang malah begitu serius mengembangkan industri film dewasa dengan caranya sendiri. Kini, JAV sudah jadi bagian dari industri perfilman Jepang yang memberi sumbangsih besar dalam perekonomian mereka.
Nah, bagaimana tanggapan kalian soal JAV? Kasih tahu pendapat kalian di kolom komentar dan mari berdiskusi!