Jepang. Siapa yang enggak kagum sama negara di Asia Timur itu? Negeri Matahari Terbit ini memang terkenal akan potensi-potensinya di segala bidang. Mulai dari tempat wisata, ekonomi, sampai sumber daya manusia.
Makanya, enggak heran banyak orang yang tertarik buat wisata ke Jepang atau bahkan hidup di Jepang. Namun, jangan salah. Jepang juga negara yang memiliki kekurangan dan bahkan kalau kalian enggak kuat mental, kalian bisa depresi.
Mau tahu beberapa realita pahit hidup di Jepang? Simak tontonan-tontonan ini aja ya. Hati-hati mimpi buruk.
1. Departures (2008)
Departures berkisah tentang seorang mantan pemain selo, Daigo Kobayashi. Dia terpaksa harus kerja menjadi perias mayat dan pengurus kremasi setelah orkestranya ditutup. Kobayashi bekerja di situ karena salah mengira bahwa Departures merupakan sebuah agen perjalanan dan bukan kantor persiapan pemakaman.
Film yang pernah mendapatkan Oscar 2009 dalam kategori “Film Berbahasa Asing Terbaik” ini sempat menyorot kematian seorang nenek yang baru diketahui beberapa hari. Sendirian? Ya. Di Jepang, fenomena ini dikenal dengan kodokushi alias meninggal dalam kesepian.
Fenomena kodokushi ini banyak terjadi di Jepang lantaran kurangnya interaksi sosial, berubahnya jenis hunian dari kompleks konvensional ke apartemen, hingga berubahnya struktur keluarga. Sebuah hal yang menyedihkan, dan tentu saja enggak akan dipilih oleh siapa pun di dunia ini.
2. A Man Vanishes (1967)
Udah tahu belum kalau di negara maju ini ada "jasa terselubung" untuk menghilangkan seseorang? Tenang aja, ini bukan aktivitas kriminal kayak pembunuh bayaran, kok.
Ada segelintir orang Jepang yang memang pengin menghilang, alias johatsu, karena berbagai alasan. Biasanya karena utang atau mengalami kegagalan memalukan.
Nah, agen-agen jasa terselubung itu membantu orang-orang yang pengen menghilang supaya mereka bisa mendapatkan identitas, tempat tinggal, dan pekerjaan baru.
Fenomena ini diperlihatkan dalam film A Man Vanishes atau Ningen Johatsu. Film ini unik bukan cuma karena membahas tema yang janggal, tetapi karena narasi yang bikin kita bingung: mana adegan dokumenter asli, mana yang cuma fiksi?
3. Outrage (2010)
Yakuza memang sebuah hal yang enggak bisa dilepaskan dari kehidupan Jepang. Yakuza adalah mafia Jepang yang bisa ada di mana-mana: prostitusi, bar, sampai bisnis-bisnis yang kelihatannya legal.
Yakuza bukan sekadar tentang bunuh-membunuh, tetapi juga tentang bagaimana kelompok orang (yang selalu diasosiasikan dengan tindakan kriminal), melakukan intrik dan negosiasi buat keberlangsungan bisnis. Nah, hal itu bisa terlihat banget dalam film Outrage.
Penuh dengan darah dan adegan kekerasan, Outrage enggak cocok ditonton oleh kalian yang mudah jijik dan trauma. Namun, Outrage jelas memberikan gambaran tentang kehidupan terselubung Yakuza di Jepang.
4. Suicide Club (2001)
Suicide Club adalah film thriller dari Sion Ono yang berkisah tentang tren bunuh diri yang viral dan menjangkiti banyak orang Jepang. Anehnya, orang-orang ini bunuh diri bersama, seolah kayak ada sihir atau virus yang memengaruhi mereka.
Nah, mana yang menggambarkan kehidupan nyata Jepang dalam film ini? Bukan, bukan aksi gila bunuh diri massalnya yang jelas-jelas imajinatif banget. Namun, dalam film ini, ada satu adegan saat salah detektif yang menangani kasus tersebut bunuh diri.
Ya, Jepang merupakan salah satu dari beberapa negara yang masyarakatnya doyan bunuh diri. Alasannya, sih, kebanyakan karena malu atau tertekan. Harus diakui bahwa saking tingginya integritas mereka, bunuh diri dijadikan pilihan saat mereka menemui jalan buntu.
5. Rozen Maiden (2004-2006)
Selain kodokushi, ada fenomena hidup lain di Negara Matahari Terbit bernama hikikomori. Fenomena tersebut merupakan sebutan untuk aktivitas mengisolasi diri sendiri di dalam hunian. Bahkan orang tersebut enggak mau berinteraksi langsung dengan orang lain dan memilih media lain, kayak internet.
Fenomena tersebut menjadi tema dalam serial anime Rozen Maiden. Berkisah tentang Jun Sakurada, seorang anak yang enggak mau sekolah lagi karena perundungan di sana. Pekerjaannya hanya mengurung diri sambil pesan barang di internet, menjualnya lagi, dan begitu seterusnya.
Kondisi ini kemudian berubah setelah Sakurada enggak sengaja memesan boneka yang berkompetisi sama boneka lain buat jadi hidup dan jadi manusia biasa. Perlahan, Sakurada pun mulai membuka diri dan belajar untuk bersosialisasi kembali.
***
Jadi, yakin hidup di Jepang lebih enak daripada di Indonesia? Negara lain mungkin bisa lebih unggul daripada negara kita. Namun, belum tentu mereka enggak punya kekurangan.
Jadi, di mana pun kalian hidup, kalian bisa tetap bahagia, kok, selama kalian tahu apa keinginan kalian. Setuju?