Kisruh Sensor Film Hellboy, Bagaimana Peran LSF Sesungguhnya?

Terkait film Hellboy (2019) yang sedang diputar di bioskop, tidak sedikit yang menyalahkan Lembaga Sensor Film (LSF). Sensor materi penayangan di layar kecil dan layar lebar memang termasuk wewenang LSF. Namun, sejauh mana sebenarnya hak dan kekuasaan LSF untuk menindak?

KINCIR berkesempatan untuk ngobrol bareng dengan Ketua LSF, Ahmad Yani Basuki. Ya, nama ini biasa kalian lihat di layar bioskop sebelum film dimulai. Biasanya, nama dan tanda tangannya muncul sekaligus sebagai “lisensi” bahwa film tersebut telah lulus sensor.

Tidak hanya membahas seputar kasus sensor Hellboy yang mengundang perbincangan di kalangan pencinta film di media sosial. Obrolan ini juga membahas peran LSF sesungguhnya yang sering kali disalahpahami. Yuk, simak!

 

LSF Bukan Lembaga Potong Film

Mengawali undang-undang yang baru, Nomor 33/2009 tentang Perfilman, LSF melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman dan kriteria penyensoran film. Setiap film, sinetron, dan iklan film yang akan diedarkan atau dipertunjukkan kepada khalayak wajib disensor terlebih dahulu oleh LSF.

Kalau kalian menyangka LSF yang memotong film, rasanya kurang tepat. Begini alurnya, pemilik mendaftarkan filmnya ke LSF. Lalu, film diteliti, dinilai, ditentukan kelayakannya, dan dilabeli dengan surat tanda lulus sensor (STLS) atau tidak lulus sensor.

Via LSF

Jika tidak lulus, film dikembalikan kepada pemilik untuk diperbaiki. Jika sudah diperbaiki, film dapat diajukan lagi untuk diteliti dan dinilai kembali oleh LSF. Satu hal yang perlu kalian tahu, LSF hanya memberi catatan revisi, bukan memotongnya. Jika terjadi perbedaan pendapat di antara kelompok penyensor, film diteruskan ke sidang pleno untuk mendapatkan keputusan. 

Sesuai dengan amanat UU Perfilman 2009, LSF juga membuka ruang konsultasi prasensor bagi kreator yang ingin mendiskusikan filmnya untuk meminimalisir catatan sensor. Menariknya lagi, konsultasi tidak dikenakan biaya apa pun, loh. Sebagai informasi, film dalam dan luar negeri yang bisa didaftarkan di LSF harus sudah terdaftar di Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Pusbang Kemendikbud).

Adegan Apa yang Bisa Kena Sensor?

LSF dalam menyensor film itu sesuai teks dan konteksnya. Pertimbangan seperti judul, tema, dan teks dialog, juga diperhatikan. Di balik itu semua, ada yang penting dilihat, yaitu akhir cerita. Jadi, enggak bisa disamaratakan.

Kriteria penyensoran terhadap isi film dikaitkan dengan usia penonton, meliputi adegan visual dan dialog yang layak atau tidak layak dipertontonkan. LSF juga bisa menarik film yang udah lulus sensor, jika materi film menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, ketentraman atau keselarasan hidup masyarakat. 

“Materi film tidak boleh mempromosikan pornografi, obat-obat terlarang, pelanggaran hukum, dan ketegangan SARA. Ukurannya seperti apa, kami lihat lagi kategori umur yang ditujukan film ini,” tambah lelaki yang pernah menjabat sebagai Komandan Satuan Tugas Penerangan Komando Operasi TNI ini.

Sebagai contoh, ada film drama remaja yang diajukan lolos 13+, tapi di dalamnya ada adegan tawuran atau pornografi. Bisa saja film itu diloloskan, tapi klasifikasi usia dinaikkan, misalnya jadi 17+ atau 21+. Dengan catatan, ending cerita memberi makna bahwa perbuatan kekerasan atau pornografi ada ganjarannya.

Lain halnya jika sebuah film menampilkan adegan perempuan dengan pakaian renang. Kalau konteksnya adegan itu dilakukan di kolam renang, sah-sah saja. Kalau di mal atau kamar tidur, rasanya sudah melanggar kesopanan. Begitu juga, misalnya ada lelaki memakai koteka. Kalau konteksnya dia adalah penduduk Papua, itu juga sah-sah saja. Namun, kembali lagi pada konteks cerita.

 

Apa yang Terjadi dengan Hellboy?

Via LSF

Dilihat dari data yang dikeluarkan LSF, film Hellboy lulus dengan klasifikasi usia 17+ dengan durasi 118 menit, hanya beda 2 menit dari situs film internasional. Menurut Ketua LSF, film Hellboy awalnya lulus dengan klasifikasi usia 21+. Namun, pemilik film, PT Prima Cinema Multimedia, menginginkan film ini lolos dengan kategori usia 17+, seperti yang terlihat di situs-situs film internasional.

“Saya dengar, banyak orang tidak nyaman dengan pemotongannya. Secara teknis, itu sudah di luar LSF. Kami kembalikan lagi ke pemilik filmnya, diharapkan mereka mengelola setelah merevisi agar tidak mengurangi kenikmatan menonton filmnya,” ungkap Ahmad Yani Basuki.

Mekanisme menurunkan klasifikasi usia itu ada. Hal ini bisa direvisi melalui pengurangan adegan-adegan sehingga bisa ditonton untuk usia 17 tahun ke atas. Di sinilah LSF berperan dalam memberi catatan adegan menit ke sekian untuk direvisi. Kemudian, LSF menyerahkan kembali ke pemilik film untuk merevisi dan mengelola kembali film itu.

Mengacu pada aturan PP Nomor 18/2014, menurunkan rating usia lebih diperhatikan soal kematangan film, tentunya harus sesuai standar tiap negara. Standar rating usia 17+ di Amerika, tentu berbeda dengan di Indonesia. LSF enggak buta dalam memberi catatan sensor. Mereka melihat lagi kepentingan adegan tersebut.

Dalam kasus sensor Hellboy, LSF telah meninjau bahwa film tersebut ditujukan untuk penonton 21 tahun ke atas. Alhasil, dilakukan proses diskusi di antara pemilik film dan LSF sampai membuahkan film Hellboy yang tayang sekarang. 

Kurangnya Kesadaran terhadap Klasifikasi Usia

Via Istimewa

Setiap klasifikasi usia punya standarnya masing-masing. Film, sinetron, iklan di TV atau pun bioskop punya dampak besar. Kalau ditonton oleh yang bukan usianya, dampaknya bisa berkepanjangan. Tentu, akan merugikan kalau dampak tersebut negatif.

Di Indonesia, kesadaran penonton untuk memilah tontonan jadi persoalan. Ya, kalian pasti pernah melihat ada anak kecil yang menonton film 17+ di bioskop atau nonton sinetron yang tidak sesuai dengan usianya. Kalau sudah begitu, siapa yang harusnya disalahkan?

Ketua LSF mengaku sudah mengimbau pihak bioskop dalam memperingatkan penonton untuk memilih film sesuai usianya. Sayangnya, masih banyak orang mengabaikan kategori usia tersebut. Tidak hanya dari penonton yang terlalu cuek, tapi juga petugas yang tidak bisa tegas. Mungkin kalian pernah melihat anak-anak di dalam ruang bioskop ketika sedang menonton sebuah film horor berlaber 17+. 

Begitu juga soal sinetron di layar kaca. Banyak orang mengeluhkan penayangan sinetron yang dinilai enggak mendidik dan malah menampilkan dialog serta adegan berunsur kekerasan. Padahal, sinetron yang tayang pun sudah lolos sensor sesuai klasifikasi usia yang diajukan.

Apabila ada seorang anak meniru perbuatan buruk dalam sebuah film, lantas kita langsung menyalahkan LSF? Mungkin hal ini bisa jadi evaluasi LSF. Namun, semua kembali lagi pada peran keluarga yang diharapkan bisa memilah tontonan untuk anak-anak.

***

Dalam kasus sensor Hellboy, rasanya kita enggak perlu buru-buru menyalahkan LSF soal pemotongan durasi. Persoalan soal klasifikasi usia diturunkan biar banyak yang nonton, tapi sensornya malah mengganggu. Pilihannya, kita bisa pilih nonton cepat tapi kena sensor atau nunggu versi Blu-ray dirilis. Atau, buat yang punya harta berlebih dan ingin menuntaskan rasa penasaran dua menitnya, mungkin kalian bisa nonton di negara tetangga yang sensornya enggak seketat Indonesia.

Bagaimana menurut kalian? Tulis pendapat kalian di kolom komentar, ya!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.