Genre horor tampaknya begitu melekat bagi dunia perfilman Indonesia sejak lama. Pada zaman dulu, sempat berjaya berbagai film horor yang dibintangi oleh aktris legendaris Suzzanna selama era 1970-an hingga 1980-an. Ketika perfilman Indonesia kembali bangkit pada era 2000-an, film-film horor juga ikut bermunculan, sebut saja Jelangkung (2001) dan Tusuk Jelangkung (2003).
Begitu pun hingga saat ini, horor masih menjadi genre favorit bagi penonton Indonesia. Berdasarkan data dari situs Film Indonesia, ada sembilan film horor yang masuk dalam daftar 15 film Indonesia terlaris 2022. Posisi pertama diisi oleh KKN di Desa Penari (2022) dengan perolehan penonton sebanyak 9,2 juta penonton.
Enggak hanya menjadi film Indonesia terlaris 2022, KKN di Desa Penari bahkan menjadi film Indonesia terlaris sepanjang masa, mengalahkan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016) yang sebelumnya memperoleh 6,8 juta penonton. Terlihat jelas, ‘kan, bahwa antusiasme penonton Indonesia terhadap genre horor masih begitu tinggi.
Melihat bagaimana tingginya minat penonton, horor pun menjadi genre favorit bagi industri perfilman Indonesia, menyusul genre drama dan komedi. Selama 2022 ini saja, hampir di setiap bulannya pasti ada film horor Indonesia yang dirilis. Lantas, apa yang membuat genre horor seakan menjadi seleranya masyarakat Indonesia?
Menurut sutradara seri film Sebelum Iblis Menjemput, yaitu Timo Tjahjanto, penonton Indonesia merupakan penonton yang loyal. Timo mengibaratkan horor sebagai seorang perempuan seksi yang tingkahnya banyak. Walau penonton Indonesia terkadang merasa enggak tahan menjalin hubungan dengan “sang cewek”, mereka pada akhirnya kembali lagi.
Bagaimana loyalnya penonton kepada horor, khususnya selama 2022, seakan menciptakan zona nyaman bagi filmmaker Indonesia untuk semakin banyak memproduksi film horor. Pertanyaannya, apakah filmmaker Indonesia bakal lebih mementingkan kuantitas film horor dibandingkan kualitasnya? Apalagi, mengingat genre horor kini menjadi tempat yang nyaman dalam meraup keuntungan.
Timo jelas enggak setuju dengan hal tersebut. Menurutnya, penonton tentu bakal jenuh dengan film horor yang jelek dan asal jadi. Ditambah lagi, Timo melihat bahwa penonton Indonesia sudah siap dengan film horor dengan rasa yang berbeda. Penonton zaman sekarang pun lebih kritis, sehingga filmmaker harus mampu memberikan sesuatu yang lebih secara kualitas.
“Pada akhirnya horor itu adalah sebuah eksplorasi perasaan menurut saya. Horor itu satu-satunya film yang mana kamu bisa ngerasain sesuatu yang mentah dan mendalam, salah satu hasilnya adalah bentuk kesadisan dan kekerasan itu. Di saat yang sama, saya enggak merasa kami mengabaikan cerita juga, sih. Memang ada film-film kayak gitu (yang mengabaikan kualitas cerita) dan saya sendiri sadar akan hal itu,” ujar Timo.
Di sisi lain, Timo juga berpendapat bahwa kualitas plot terkadang bukan sesuatu yang penting dalam film horor, asalkan penonton berhasil dibuat peduli dengan karakternya. Ketika penonton dibuat percaya dengan karakter dalam sebuah film, penonton bakal lebih bisa memaafkan plot yang terasa kurang. Intinya, filmmaker harus tanggap terhadap penonton yang semakin kritis.
Untuk membahas kualitas film horor, mari kita tengok KKN di Desa Penari. Enggak bisa dimungkiri, film ini masih memegang tahta film Indonesia terlaris sepanjang masa. Manoj Punjabi, produser sekaligus bos produksi film MD Pictures, mengamini bahwa genre horor memang begitu melekat dengan masyarakat Indonesia.
“Bagi saya, genre horor sangat dekat dengan masyarakat Indonesia dan mampu mengisahkan apa yang benar-benar terjadi di Indonesia. Perasaan tegang, excitement, adrenalin, semua ada di dalam genre horor, sehingga pastinya sangat diminati penonton Indonesia,” katanya.
Sebagai sosok yang memproduseri film Indonesia terlaris sepanjang masa, Manoj juga percaya bahwa jalan cerita seharusnya jadi tulang punggung film horor. Dia bahkan kurang setuju ketika genre horor harus dicampur dengan unsur gore yang terlalu kentara.
“Saya tidak pernah percaya dengan film horor dengan gaya gore yang menurut saya terlalu segmented, karena bagi saya film horor harus murni horor sehingga penonton bisa lebih memiliki keterkaitan dengan isi dari cerita filmnya,” jelasnya.
Manoj juga menambahkan walau mengalami berbagai perubahan, genre horor akan tetap berjalan; tak ubahnya genre drama dan komedi. “Jadi bagi saya, pasar horor ini akan cukup lama merajalela, tapi tidak menutup kemungkinan dapat digantikan oleh genre film lainnya,” ujar Manoj.
Agak berbeda dengan Manoj, Awi Suryadi, sutradara KKN di Desa Penari, justru mengaku punya kekhawatiran jika penonton Indonesia bakal jenuh dengan film horor. Awi khawatir kepopuleran genre horor di Indonesia bakal menjadi aji mumpung, yang takutnya bakal merusak genrenya.
“Yang bikin khawatir adalah banyak orang yang aji mumpung. Mereka melihat horor lagi ramai, ya sudah mereka juga bikin horor. Namun, enggak diimbangi dengan keseriusan bikin cerita, keseriusan produksi, pilih pemain, sutradara, hingga jadinya berantakan. Hal seperti itu yang bisa merusak genrenya. Image horor sempat rusak dulu, ‘kan. Banyak yang mikir kalau horor itu film esek-esek. Hal kayak gitu jangan sampai terulang lagi karena ngebangun lagi image film horor di Indonesia itu susah banget,” ujar Awi.
Benar, memang pernah ada masa kelam, tepatnya pada era 2010-an awal, ketika genre horor terikat kuat dengan adegan vulgar hingga disebut sebagai film esek-esek. Bukannya mengerikan, film-film horor era ini malah mengandalkan unsur erotis, eksploitasi daerah sensitif perempuan, dan mengandalkan sensasi sebagai bagian dari pemasarannya.
Bahkan untuk semakin menaikkan nilai jual filmnya, film horor era 2010-an yang pada saat itu mayoritas diproduksi K2K Production, sampai mendatangkan beberapa artis porno internasional sebagai salah satu pemerannya. Contoh film-film horor yang dibintangi artis porno, di antaranya Rintihan Kuntilanak Perawan (2010) yang dibintangi Tera Patrick, Pocong Mandi Goyang Pinggul (2011) yang dibintangi Sasha Grey, dan seri film Suster Keramas.
Saking sensasionalnya deretan film horor erotis pada era 2010-an, kehadiran film-film horor berkualitas di era tersebut seakan tertutupi, seperti Rumah Dara (2010) dan Modus Anomali (2012). Untungnya, kejayaan era film horor erotis benar-benar berakhir sejak 2017, dengan perilisan film horor yang benar-benar mengandalkan kengerian, seperti Danur (2017) dan Pengabdi Setan (2017).
Pergeseran gaya film horor ini tentu jadi hal yang menarik. Hal ini membuktikan bahwa penonton bisa jengah dengan formula horor yang menjual kemolekan tubuh perempuan. Pada akhirnya, penonton sadar bahwa film horor sejatinya harus menjadi film yang mengerikan dan membuat takut saat menontonnya. Bos MD Pictures pun punya pandangannya sendiri tentang perubahan tren para penikmati film horor di Indonesia.
“Dari film Suster Ngesot (2007), kami melihat adanya perubahan tren, khususnya setelah Danur (2017) yang dapat mencapai lebih dari 2,7 juta penonton. Adalah hal yang sangat luar biasa ketika film horor dengan cerita dan kualitas yang bagus pun menjadi tren. Saya harap, ke depannya film horor memiliki mutu dan kualitas yang bagus sehingga dapat terus berjalan dan berkembang maju,” kata Manoj kepada KINCIR.
Tak hanya Manoj, Fajar Nugros juga setuju bahwa pada akhirnya kualitaslah yang dipertaruhkan dari sebuah film. “Semua orang mungkin bisa bikin film horor, tetapi pada akhirnya penonton yang akan memilih,” kata Fajar.
Fajar yang belum lama ini merilis film horor pertamanya, Inang (2022), berpendapat bahwa penonton saat ini sudah lebih cerdas menentukan horor mana yang mereka butuhkan dan horor mana yang digarap serius dengan production value yang bagus. Dari sini saja, terlihat jelas bahwa pembuat film horor sadar bahwa mereka enggak boleh terlena dengan kuantitas yang berpotensi dapat merusak image horor atau membuat penonton jenuh.
Baca selanjutnya: 5 Rekomendasi Film Horor 2022 yang Gayanya Unik