Ajang Oscar merupakan ajang penghargaan film paling bergengsi. Namun, apakah ajang ini betul-betul “bersih”? Simak berbagai skandal Oscar di sini.
Para pemenang Oscar dalam ajang Academy Awards ke-93 sudah diumumkan dan hasilnya cukup mengusung diversity. Beberapa waktu terakhir ini, ajang Oscar memang udah enggak didominasi sama wajah-wajah Anglo Saxon. Wajah Afro-Amerika sampai dengan Asia bahkan sudah mendapatkan tempat di Oscar.
Sebut aja kayak Bong Joon-ho, sutradara Korea Selatan, dengan Parasite (2019) yang mendapatkan predikat Film Terbaik 2020. Kemudian, pada tahun ini, ada Chloé Zhao, sutradara Tiongkok dengan Nomadland (2020) yang juga berhasil meraih “Best Picture” atau “Film Terbaik”.
Kendati dianggap sebagai ajang perfilman paling bergengsi, Oscar enggak bisa lepas dari skandal dan asumsi ketidaknetralan. Pada 1971, George C. Scott menolak Oscar untuk kategori “Best Actor” dalam film Patton (1970) karena menurutnya, penampilan kreatif enggak bisa dibanding-bandingkan. Bukan hanya kasus Scott, nyatanya, ajang ini juga punya sisi gelap.
Apakah ajang Oscar sebaik dan sekeren yang kalian duga? Simak dulu beberapa fakta mengenai skandal dan kritik mengenai Oscar di bawah ini.
1. Ada “Formula” untuk Memenangkan Oscar
Oscar adalah ajang yang keren, tetapi Business Insider menangkap ada pola yang bisa diikuti kalau mau memenangkan kategori paling bergengsi, “Best Picture”. Melalui pengamatan film-film pemenang Oscar dari 1960, terdapat 76% film dengan durasi lebih dari dua jam yang meraih kategori “Film Terbaik” tersebut.
Ada lagi! 93% film yang memenangkan Oscar adalah film drama! Ini membuat film di luar genre itu, katakanlah film-film superhero, film mob ala Alfred Hitchcock, atau film horor seolah kayak film yang enggak artistik. Padahal, genre film itu luas banget! Oscar seolah membatasi persepsi kalau film bagus itu adalah film drama.
2. Ajangnya Studio-studio Besar
Apa bisa sebuah film indie memenangkan Oscar? Hmm, enggak ada hal yang enggak mungkin, sih. Namun, kalau dilihat dari statistik, 81% film yang menang adalah film-film produksi rumah produksi mayor.
Mari kita lihat lagi dari persyaratan agar sebuah film bisa masuk kategori “Best Picture”. Selain durasi melebihi 40 menit, film juga harus diputar di bioskop Los Angeles selama minimal seminggu dalam jarak waktu yang sudah ditentukan.
Otomatis, nominasi “Best Picture” di Academy Awards enggak menggambarkan film terbaik di dunia, tetapi lebih tepatnya film Hollywood aja. Selain itu, kalau kamu punya modal, kamu bisa menyiarkan film ke bioskop-bioskop Los Angeles. Buat rumah produksi mayor, ini hal yang mudah.
Film di negara lain bisa masuk ke dalam “Best International Feature Film”. Indonesia sudah beberapa kali mengirimkan wakil, mulai dari Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2018) hingga Perempuan Tanah Jahanam (2019) tetapi belum pernah menang.
3. Penuh dengan Trik Pemasaran
Pada dasarnya, seni memang erat kaitannya dengan pemasaran. Sebuah seni yang bagus enggak akan bisa dikenal kalau enggak memiliki trik pemasaran yang baik. Namun, di balik semua “keindahan” film-film yang dinominasikan lewat Oscar, terdapat proses pemasaran yang rumit, seringkali licik, dan mahal.
Film, aktor, aktris, dan kandidat lainnya bisa masuk ke dalam nominasi karena memenangkan voting. Pihak Academy Awards memang memiliki lebih dari 9.000 voters yang terdiri atas produser, publisis film, sutradara, penulis naskah, aktor, aktris, dan pihak-pihak lain yang berkecimpung di dunia perfilman. Dengan kualifikasi khusus, tentu kualitas voters itu enggak main-main, tetapi karena votersnya banyak, hal itu mempermudah beberapa pihak buat “menggerakkan” selera mereka untuk memilih film tertentu.
Di Hollywood, ada jasa konsultan Oscar yang harganya sekitar 10.000—20.000 dolar (sekitar Rp145 juta—Rp290 juta), dan bisa mendapatkan tambahan lagi jika film yang dimaksud masuk ke nominasi. Para shark publicists ini tahu betul celah buat masuk dan memengaruhi para voters alias anggota pemilih Academy Awards.
Semakin kamu punya modal, semakin gampang menggerakkan para voters untuk terpengaruh akan suatu pilihan. Pasalnya, publisis-publisis ini bisa membuat banyak iklan kreatif, bikin event, bahkan melakukan lobbying.
4. Ada Suap di Academy Awards?
Academy Awards merupakan ajang yang dianggap netral dengan larangan suap kepada para voters yang memilih pemenang dari berbagai nominator. Namun, enggak bisa dimungkiri bahwa pernah ada sejarah tentang tragedi suap di perhelatan bergengsi ini.
Pada saat Academy Awards baru berusia setahun, aktris Kanada-Amerika sekaligus sosialita Mary Pickford bermain dalam film berjudul Coquette (1929). Sayangnya, penampilannya menuai kritik. Namun, pada saat itu Pickford mengundang lima anggota dewan juri ke sebuah acara minum teh, seolah memberikan mereka penghormatan besar.
Pada akhirnya, Pickford mendapatkan Oscar sebagai “Aktris Terbaik”. Namun, itu dulu saat Academy Awards belum betul-betul kuat dan juri masih sedikit. Sekarang, membutuhkan upaya sangat besar untuk bisa menyuap semua voters, walaupun para voters ini juga beberapa kali kerap menceritakan adanya hadiah seperti cendera mata dan hal lain dari para produser/publisis film.
5. Pelecehan Seksual di Oscar
Beberapa isu pelecehan seksual sempat mewarnai Academy Awards. Salah satu yang cukup mengejutkan adalah laporan pelecehan seksual yang dilakukan oleh John Bailey, pimpinan Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS).
Setelah berbagai penyelidikan yang dilakukan pihak AMPAS kepada mantan sutradara ini, diputuskan bahwa John Bailey enggak dikeluarkan dari posisinya. Entah karena enggak terbukti, atau karena sudah ‘damai’.
Sebelumnya, Harvey Weinstein selaku anggota AMPAS terbukti melakukan berbagai pemerkosaan dan pelecehan selama berkarier di Hollywood. Dia pun dikeluarkan dari keanggotaan tersebut.
***
Ada banyak hal di Oscar yang enggak ideal. Bahkan, masih banyak kontroversi terkait kemenangan setiap tahunnya. Namun, enggak ada ajang penghargaan yang bener-bener objektif, apalagi sekelas Oscar yang dipenuhi banyak kepentingan. Dari isu-isu di atas, bagaimana pendapatmu?