Setiap sineas atau aktor pastinya bangga mendapatkan Oscar. Namun, acara penghargaan tersebut mengundang banyak kontroversi hingga saat ini.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Academy Awards atau Oscar merupakan standar penghargaan tertinggi di industri perfilman dunia. Sineas dari berbagai negara pastinya memiliki impian jika karyanya bisa dilirik oleh Oscar. Siapa pun pastinya ingin membawa pulang piala Oscar. Namun, bisa masuk nominasi saja sudah menjadi kebanggaan tersendiri.
Selain menjadi penghargaan perfilman bergengsi, Oscar juga merupakan salah satu ajang penghargaan perfilman tertua. Acara ini telah ada sejak dunia film masih berada di era hitam-putih. Sejarah pelaksanaan Oscar memang sangat panjang, mulai dari yang membanggakan hingga yang kontroversial.
Yap, skandal dan kontroversi nyatanya juga enggak bisa lepas dari ajang bergengsi ini. Bahkan, kontroversi yang terjadi pun cukup sering terjadi di sepanjang pelaksanaan Oscar. Kontroversinya pun bermacam-macam, ada yang berhubungan dengan masalah rasisme, politik, hingga kemenangan yang dipertanyakan.
Kali ini, KINCIR bakal membahas perjalanan Oscar dan kontroversi yang mengelilinginya. Yuk, simak!
Ajang Penghargaan Tua yang Hampir Berusia 100 Tahun
Academy Awards atau Oscar bukanlah ajang penghargaan yang baru diadakan kemarin sore. Acara ini telah ada meramaikan industri perfilman Hollywood sejak 91 tahun lalu. Yap, Academy Awards pertama kali diadakan di Hollywood Roosevelt Hotel pada 16 Mei 1929.
Acara penghargaan ini bermula ketika produser sekaligus co-founder Metro-Goldwyn-Mayer (MGM), yaitu Louis B. Mayer, membentuk Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS) pada 1927. Lewat organisasi tersebut, Mayer akhirnya menciptakan sebuah acara penghargaan yang dapat menyatukan lima cabang industri film, yaitu aktor, sutradara, produser, teknisi, dan penulis.
Walau AMPAS terbentuk sejak 1927, pelaksanaan Academy Awards baru dilaksanakan pada 1929. Itulah sebabnya, Academy Awards 1929 menggabungkan film yang dirilis di 1927 dan 1928 dalam 13 kategori nominasi yang sama. Berhubung film yang menggunakan suara atau percakapan baru ada di akhir 1920-an, AMPAS pun melarang film bersuara masuk dalam nominasi supaya adil.
Bentuk piala Academy Awards pertama pun enggak jauh berbeda dengan bentuk piala Oscar yang kalian kenal saat ini. Piala tersebut dirancang oleh Art Director MGM, yaitu Cedric Gibbons, dengan desain seorang kesatria yang berdiri di atas gulungan film sambil mencengkeram pedang. Desain tersebut kemudian diberikan kepada seorang pemahat yang bernama George Stanley.
Walau piala Academy Awards lebih dikenal dengan nama Oscar, AMPAS awalnya menamai piala tersebut sebagai Academy Award of Merit. Penggunaan nama Oscar untuk piala baru resmi digunakan pada 1939. Sebelum resmi digunakan pada 1939, nama Oscar telah populer sejak 1934 setelah seorang penulis surat kabar bernama Sidney Skolsky menggunakan nama Oscar di artikelnya tentang Academy Awards 1934.
Asal muasal nama Oscar sebenarnya masih belum jelas. Namun, ada satu cerita asal-usul nama Oscar yang cukup populer. Kabarnya, nama tersebut didapatkan setelah Margaret Herrick (pustakawan Academy yang akhirnya menjadi Executive Director AMPAS) mengatakan bahwa piala tersebut mirip dengan pamannya yang bernama Oscar.
Ada satu nominasi unik yang hanya ada di Academy Awards 1929. Pada saat itu, kategori “Best Director” dibagi menjadi dua bagian, yaitu “Best Director for Comedy Picture” dan “Best Director for Dramatic Picture”. Penghargaan “Best Director for Comedy Picture” akhirnya dimenangkan oleh Lewis Milestone atas film Two Arabian Knights (1927). Lalu, “Best Director for Dramatic Picture” dimenangkan oleh Frank Borzage atas film 7th Heaven (1927).
Dengan kemenangan tersebut, Milestone jadi orang pertama dan satu-satunya yang pernah menerima penghargaan “Best Director for Comedy Picture”. Pada Academy Awards selanjutnya, AMPAS akhirnya menyatukan kedua kategori tersebut menjadi “Best Director” yang masih digunakan hingga saat ini. Selain pemisahan kategori “Best Director”, tentunya ada sejarah lain yang hanya ditemukan di Academy Awards pertama.
Kalian pernah, enggak, membayangkan bisa dapat Oscar karena menulis subtitle di film? Kenyataannya, Academy Awards ternyata pernah memberikan penghargaan untuk hal tersebut dengan nama “Best Writing (Title Writing)”. Di film bisu, keberadaan subtitle memang sangat penting untuk menyampaikan dialog yang ada di film.
Berhubung AMPAS hanya memasukkan film bisu di semua nominasi, Academy Awards 1929 sempat memberikan penghargaan untuk penulisan subtitle di film. Joseph Farnham pun terpilih untuk mendapatkan penghargaan “Best Writing (Title Writing)”. Selain menjadi orang pertama, Farnham jadi satu-satunya orang yang menerima penghargaan “Best Writing (Title Writing)” karena AMPAS akhirnya meniadakan kategori tersebut di tahun-tahun selanjutnya.
Total sudah ada 91 perayaan Academy Awards yang dilangsungkan sejak 1929 hingga 2020. Enggak hanya berbagai sejarah membanggakan, berbagai hal kontroversial juga pernah terjadi di ajang penghargaan ini.
Masalah Rasisme yang Menaungi Oscar
Sudah bukan rahasia lagi bahwa isu rasialisme masih menjadi topik hangat di industri perfilman Hollywood. Whitewashing memang masih menjadi “penyakit” rasisme yang masih ditemukan di era modern Hollywood. Namun sebelum era 1970-an, masalah rasisme di Hollywood jauh lebih parah dari saat ini. Hal tersebut bahkan pernah terjadi saat Oscar 1940.
Setelah bertahun-tahun didominasi oleh aktor ras kulit putih, Hattie McDaniel mencetak sejarah dengan menjadi orang ras kulit hitam pertama yang memenangkan Oscar pada 1940. McDaniel memenangkan penghargaan “Best Supporting Actress” atas perannya di Gone With the Wind (1939). Yang menjadi masalah, McDaniel mendapatkan perlakuan yang berbeda saat menerima Oscar pertamanya.
Pada era 1940-an, masyarakat ras kulit putih Amerika Serikat masih terang-terangan melakukan penolakan terhadap orang ras kulit hitam. The Ambassador Hotel, tempat pelaksanaan Oscar 1940, mempunyai peraturan ketat tentang larangan keberadaan orang ras kulit hitam. Agar McDaniel bisa mengikuti acara ini, produser Gone With the Wind, yaitu David O. Selznick, sampai harus meminta bantuan khusus.
Masalah pun enggak selesai setelah McDaniel berhasil mendapatkan izin untuk masuk ke The Ambassador Hotel. Saat acara berlangsung, McDaniel engak diizinkan untuk duduk di meja yang telah disiapkan untuk para sineas Gone With the Wind. McDaniel malah diberikan tempat duduk khusus yang terpisah dari rekan filmnya.
Pada 1973, perlakuan aktor ras kulit hitam di Oscar tentunya enggak seburuk yang dialami McDaniel. Namun, isu tentang rasialisme kembali diangkat di Oscar 1973. Bukan tentang aktor ras kulit hitam, Oscar 1973 menampilkan isu tentang penggambaran serta eksistensi aktor ras asli Amerika atau yang mungkin lebih kalian kenal sebagai ras Indian.
Aktor yang berperan sebagai Vito Corleone di The Godfather (1972), yaitu Marlon Brando, berhasil memenangkan penghargaan “Best Actor” Oscar 1973. Banyak sineas yang mendambakan untuk membawa pulang piala Oscar, namun Brando menolak piala tersebut hingga enggak menghadiri acara penghargaannya.
Saat Brando diumumkan sebagai pemenang, seorang aktris sekaligus aktivis keturunan ras asli Amerika (Indian), yaitu Sacheen Littlefeather, menggantikan Brando untuk naik ke atas panggung. Di panggung, Littlefeather pun menolak piala yang disodorkan oleh Roger Moore, aktor yang mengumumkan kemenangannya Brando.
Littlefeather berkata, “Dengan sangat menyesal, dia (Brando) enggak bisa menerima penghargaan ini. Alasannya enggak bisa menerima pialanya karena perlakuan Industri film dan televisi kepada orang Indian Amerika.”
Ketika Littlefeather menyampaikan pidato yang dititipkan oleh Brando, para hadirin terpecah dalam dua bagian. Ada yang menyorakinya dengan nada yang buruk, ada juga yang memberikan tepuk tangan. Gara-gara kejadian ini, AMPAS akhirnya melarang penerimaan piala oleh wakil pemenang.
Walau Hollywood sudah jauh lebih terbuka di era 2000-an, bukan berarti enggak ada isu rasialisme yang kembali diangkat di era tersebut. Empat tahun lalu, AMPAS mendapatkan kritikan keras karena semua nominasi Oscar 2016 didominasi oleh sineas ras kulit putih. Situasi pun semakin memanas ketika nominasi yang berhubungan dengan aktor dan aktris hanya diisi oleh orang ras kulit putih.
Gara-gara hal tersebut, tagar #OscarsSoWhite banyak beredar di internet. Enggak hanya tagar, aktris sekaligus istrinya Will Smith, yaitu Jada Pinkett Smith, dan sutradara Spike Lee memutuskan untuk memboikot Oscar 2016. Selain mereka, aktor lainnya, baik yang ras kulit hitam maupun yang enggak, juga mengekspresikan kekecewaan di media sosial atas kurangnya keberagaman di Oscar.
Di tengah kritikan terhadap dominasi sineas kulit putih di Oscar 2016, aktor ras kulit hitam, yaitu Chris Rock, malah menjadi pemandu acara tersebut. Uniknya lagi, Rock menggunakan kesempatan tersebut untuk menyindir pihak Academy Awards lewat monolognya. Rock bahkan menyebut ajang penghargaan tersebut sebagai White People’s Choice Award.
Kemenangan yang Enggak Terduga
Bukan hal yang mudah untuk menentukan pemenang Oscar. AMPAS tentunya harus jeli dan bijak dalam menentukan pemenang dari tiap kategori. Namun, keputusan AMPAS enggak selamanya bisa diterima oleh banyak orang. Keputusan Oscar dalam menentukan pemenang juga pernah menimbulkan kontroversi.
Berkarier sebagai aktris sejak 1983, pemeran May Parker di Marvel Cinematic Universe (MCU), yaitu Marisa Tomei, akhirnya mendapatkan Oscar pertamanya pada 1993. Tomei mendapatkan penghargaan “Best Supporting Actress” lewat perannya di My Cousin Vinny (1992). Kemenangan tersebut tentu saja jadi momen membahagiakan bagi Tomei. Namun, kemenangannya ternyata disangsikan oleh banyak orang.
Kemenangan Tomei dianggap sebagai sebuah kesalahan. Bahkan, beredar sebuah teori konspirasi seputar kemenangannya Tomei. Kabarnya, aktor yang mengumumkan kemenangannya Tomei, yaitu Jack Palance, salah membaca nama yang ada di kartu pemenang. Gara-gara bingung, Palance akhirnya memanggil nama nomine terakhir yang terlihat di teleprompter.
Rumor tersebut bisa muncul karena banyak yang heran kenapa penampilan Tomei di My Cousin Vinny bisa mengalahkan nomine lain yang berakting di film “serius”. Apalagi, Tomei yang saat itu terbilang masih pendatang baru bisa mengalahkan dua nomine senior, yaitu Joan Plowright dan Vanessa Redgrave. Pada akhirnya, teori tentang kesalahan kemenangan Tomei enggak pernah terbukti kebenarannya.
Enam tahun setelah kemenangan Tomei, Oscar menggemparkan masyarakat Amerika Serikat dengan memberikan penghargaan kepada public enemy-nya Hollywood. Pada Oscar 1999, AMPAS memberikan penghargaan “Lifetime Achievement” kepada salah satu sutradara legendaris yang bernama Elia Kazan. Secara karya, Kazan tentunya pantas untuk mendapatkan penghargaan tersebut.
Namun, banyak yang enggak bisa menerima kemenangan Kazan karena masa lalunya. Pada 1952, Kazan melakukan hal kontroversial dengan bersaksi kepada komite di Un-American Activities. Pada kesaksiannya tersebut, Kazan menyebutkan delapan nama aktor yang menurutnya adalah anggota dari Partai Komunis.
Gara-gara kesaksian Kazan, karier para aktor tersebut pun hancur dan sang sutradara mulai dimusuhi oleh banyak orang di Hollywood. Itulah sebabnya, penghargaan “Lifetime Achievement” yang diterima Kazan menimbulkan reaksi beragam. Ada hadirin Oscar yang enggak ragu memberikan standing ovation kepada Kazan, namun ada juga aktor yang terang-terangan terlihat enggak suka dengan penghargaan yang diterima Kazan, di antaranya Nick Nolte, Ed Harris, Ian McKellen, dan Amy Madigan.
Suasana panas ternyata enggak hanya terjadi di dalam gedung tempat Oscar 1999 berlangsung. Sekitar 500 demonstran berkumpul di luar gedung karena enggak setuju dengan pemberian penghargaan kepada Kazan. Seminggu setelah momen kontroversial tersebut berlangsung, presiden AMPAS pada saat itu, yaitu Robert Rehme, mengatakan bahwa dia malah menerima reaksi positif yang luar biasa.
Keputusan AMPAS kembali menuai kontroversi saat mereka mengumumkan pemenang “Best Picture” Oscar 2006. Brokeback Mountain (2005) diprediksi bakal membawa pulang piala Oscar pada malam tersebut. Apalagi, sutradaranya, yaitu Ang Lee, berhasil mendapatkan penghargaan “Best Director” Oscar 2006.
Tak disangka-sangka, film yang sama sekali enggak terpikirkan untuk menang yang malah membawa pulang pialanya. Crash (2005) berhasil mendapatkan “Best Picture” Oscar 2006 dan mengalahkan Brokeback Mountain dan nomine lainnya yang dianggap kuat. Enggak hanya penonton yang terkejut, produser, sutradara, sekaligus penulis naskah Crash, yaitu Paul Haggis, sampai mengakui bahwa Crash enggak sefantastis nomine lainnya.
Tiga tahun lalu, Oscar juga kembali membuat kegemparan. Namun untuk tahun tersebut, kegemparan yang terjadi bukan berasal dari keputusannya AMPAS. Aktor senior yang mengumumkan pemenang “Best Picture” Oscar 2017, yaitu Warren Beatty dan Faye Dunaway, sempat keliru saat membacakan nama pemenangnya.
Pada awalnya, Dunaway dan Beatty mengumumkan bahwa La La Land (2016) adalah film yang berhasil mendapatkan “Best Picture” Oscar 2017. Para produser, sutradara, dan pemain La La Land bahkan telah maju ke atas panggung dan memberikan pidato kemenangan mereka. Namun di tengah pidato, terjadi kegaduhan di atas panggung.
Secara mengejutkan, Dunaway dan Beatty salah membacakan nama pemenang “Best Picture” Oscar 2017 yang seharusnya jatuh kepada Moonlight (2016). Dengan situasi yang berubah jadi canggung, salah satu produser La La Land, yaitu Jordan Horowitz, akhirnya memberikan klarifikasi dengan mengumumkan bahwa Moonlight adalah pemenang sesungguhnya.
Setelah diusut, ternyata kru Academy Awards memberikan amplop yang salah kepada Beatty dan Dunaway. Bukannya pemenang “Best Picture”, kru malah memberikan amplop pemenang “Best Actress” kepada kedua aktor senior tersebut. Itulah sebabnya, Beatty terlihat ragu membacakan nama pemenang karena dia malah melihat nama Emma Stone sebagai pemenangnya. Akibat Beatty ragu, Dunaway mengambil inisiatif dengan mengumumkan La La Land sebagai pemenang “Best Picture”.
Oscar, Pencetak Sejarah yang Mampu Mengubah Industri Perfilman Hollywood
Sebagai salah satu acara penghargaan bergengsi di dunia, Academy Awards atau Oscar tentunya punya kuasa untuk mengubah industri perfilman Hollywood ke arah yang lebih baik. Walau banyak kontroversi yang terjadi, Oscar tentunya lebih banyak menunjukkan kebanggan dan prestasi seorang sineas di mata dunia.
Hattie McDaniel memang diperlakukan berbeda saat menerima penghargaannya di Oscar 1940. Namun, kemenangannya tentu punya dampak yang besar kepada Hollywood, terlebih kepada para aktor ras kulit hitam yang sulit berjuang di era kunonya Hollywood. Sebelum 1940, Amerika Serikat mungkin enggak pernah menyangka jika seorang aktor kulit hitam bisa mendapatkan Oscar atau disebut sebagai yang terbaik.
Bisa dilihat bahwa Hollywood pun semakin terbuka dengan sineas ras kulit hitam dari tahun ke tahun. Hollywood bahkan telah meninggalkan praktik blackface yang menyinggung serta menutup kesempatan aktor ras kulit hitam selama berpuluh-puluh tahun. Enggak hanya sebagai aktor pendukung, aktor ras kulit hitam juga kini banyak yang tampil sebagai aktor utama sebuah film.
Sempat dianggap sebelah mata karena dianggap bukan film yang “serius”, siapa sangka bahwa Academy Awards juga mulai memperhitungkan film superhero. Semua berawal ketika Heath Ledger berhasil menjadi pemenang “Best Supporting Actor” Oscar 2009 berkat penampilannya sebagai Joker di The Dark Knight (2008).
Tak hanya dari segi aktor, naskah film superhero pun mulai diperhitungkan di ranah Oscar. Film terakhir Hugh Jackman sebagai Wolverine, yaitu Logan (2017), berhasil masuk nominasi “Best Adapted Screenplay” Oscar 2018. Yang cukup menggemparkan, Black Panther (2018) berhasil menjadi salah satu nominasi “Best Picture” Oscar 2019, loh!
Ini seakan menjadi bukti bahwa film superhero bisa menjadi film yang enggak hanya mengandalkan aksi saja dan terlihat “kekanakan”. Jika digarap dengan benar, film superhero juga bisa menampilkan sesuatu yang berkualitas layaknya berbagai film “serius”. Mungkin saja, ‘kan, film superhero bisa mendapatkan penghargaan “Best Picture” pada beberapa tahun ke depan?
Sejarah Academy Awards yang cukup menggemparkan juga belum lama ini terjadi di Oscar 2020. Selama ini, film non-Hollywood, khususnya film Asia selalu sulit bersaing untuk masuk ke nominasi “Best Picture”. Memang beberapa kali ada film non-Hollywood yang juga berhasil menembus nominasi “Best Picture”. Namun, kebanyakan film internasional biasanya mentok di nominasi “Best International Feature Film”.
Secara mengejutkan, film dari Korea Selatan, yaitu Parasite (2019) berhasil menembus nominasi “Best International Feature Film”, “Best Production Design”, “Best Film Editing”, “Best Original Screenplay”, bahkan dua nominasi paling bergengsi, yaitu “Best Director” dan “Best Picture”, di Oscar 2020!
Setelah sekian lama, film Asia akhirnya bisa bersaing di berbagai nominasi bergengsi Oscar, khususnya di “Best Original Screenplay”, “Best Director”, dan “Best Picture”. Kerennya lagi, Parasite berhasil memenangkan empat dari enam nominasi, hingga memenangkan nominasi paling bergengsi, yaitu “Best Director” dan “Best Picture”!
Dengan kemenangan tersebut, Parasite berhasil menjadi film nonbahasa Inggris pertama yang memenangkan “Best Picture”. Lalu, Bong Joon-ho berhasil menjadi sutradara Korea Selatan pertama yang memenangkan “Best Director”. Siapa sangka Joon-ho bisa mengalahkan sutradara kawakan Hollywood, yaitu Martin Scorsese, Sam Mendes, Todd Phillips, dan Quentin Tarantino.
Sementara, pada Oscar 2021, ada juga beberapa pencapaian yang diraih perfilman Asia. Chloe Zhao contohnya. Dia memenangkan kategori “Best Director” lewat film Nomadland meski mengalami kontroversi di negara asalnya, Tiongkok. Bersama Lee Isaac Chung untuk Minari (2020), keduanya menandai pertama kalinya dua sutradara keturunan Asia Timur dinominasikan dalam satu kategori di tahun yang sama.
Film Parasite, Minari, dan Chloe Zhao membuka mata dunia bahwa film non-Hollywood juga bisa, kok, bersaing di Oscar. Ini bisa jadi motivasi kepada sineas non-Hollywood, termasuk sineas Indonesia, untuk mengembangkan film terbaik sebanyak-banyaknya. Yap, enggak menutup kemungkinan, ‘kan, jika film Indonesia suatu saat nanti bisa bersaing di Oscar seperti Parasite atau Minari?
***
Di balik berbagai kontroversi yang pernah terjadi di Oscar, enggak bisa dimungkiri bahwa acara penghargaan ini bisa menjadi acuan supaya sineas semakin termotivasi untuk menghasilkan karya terbaik sebanyak-banyaknya. Siapa, sih, yang enggak bangga jika karyanya bisa membawa pulang Oscar? Masuk nominasi saja sudah menjadi salah satu prestasi bagi sineas tersebut.
Menurut kalian, apakah sineas Indonesia suatu saat nanti bisa bersaing di Oscar? Kasih tahu pendapat kalian di kolom komentar dan jangan lupa ikuti terus KINCIR buat dapatin berbagai informasi seputar lainnya, ya!