Apakah KPI yang harusnya disalahkan karena sensor kartun yang konyol? Ketahui di sini, yuk, siapa yang bertanggung jawab di antara tugas KPI, LSF, dan Stasiun TV!
Setiap kali ada kontroversi yang menyangkut sensor tayangan, masyarakat selalu menganggap KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) sebagai pihak yang bertanggung jawab. Enggak berhenti di situ, bahkan, ada beberapa pihak yang juga menyalahkan KPI atas kualitas film yang ada di bioskop.
Nah, fungsi KPI memang erat kaitannya sama apa yang kita lihat melalui siaran TV. Meski begitu, pemikiran bahwa KPI memegang kendali atas sensor semua karya visual itu salah besar. Masih ada peran LSF (Lembaga Sensor Film) dan juga TV terkait. Biar enggak bingung sama tugas-tugas mereka, pahami dulu, yuk, di sini!
Tugas KPI, LSF, dan Stasiun TV soal Sensor
Sensor Acara TV, Bukan KPI
Pada saat KPI mendapatkan pemberitaan buruk akibat oknum-oknum pegawainya yang melakukan perundungan, netizen menyindir KPI soal tayangan sensor bikini Sandy SpongeBob SquarePants. Namun, yang bertanggung jawab dalam penyensoran itu bukan KPI, lho!
Dalam siaran podcast Close the Door bersama Deddy Corbuzier, Agung Suprio, ketua KPI menegaskan bahwa tugas KPI hanya mengawasi siaran pascatayang. Jadi, penyensoran yang “aneh-aneh” itu di luar kendali KPI.
Ya, tuduhan bahwa KPI bikin Sandy “Tupai” berbikini atau putri duyung disensor adalah tuduhan yang salah besar. KPI cuma menyediakan standar mengenai penayangan, yang kemudian bisa diinterpretasikan secara berbeda-beda oleh para stasiun TV dan pihak lain.
Tugas KPI bukanlah menyensor, tetapi menetapkan standar program siaran, menyusun pedoman perilaku penyiaran, mengawasi pelaksanannya, memberikan sanksi kepada pihak yang melanggar, dan melakukan koordinasi dengan pihak pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.
Jadi, kalau ada censorship ngaco di acara TV, tentu pihak yang tertuduh harusnya bukan KPI. KPI itu seperti dewan pengawas yang bikin SOP dan mengawasi pihak lembaga penyiaran supaya mematuhi SOP itu.
Kalau Bukan KPI, Siapa yang Melakukan Sensor Konyol?
Jadi, ada banyak stasiun TV yang takut melanggar aturan KPI. Soalnya, kalau sampai mereka melanggar, mereka akan dikritik sama KPI. Program pun berpotensi dihentikan sementara atau bahkan selamanya. Jadi, itulah alasan kenapa censorship bisa berbeda-beda antara satu stasiun TV dan stasiun TV lainnya. Contohnya, ada stasiun TV yang menyensor darah, tetapi ada yang enggak.
Jadi, censorship pada kartun adalah tindakan stasiun TV, bukan KPI. Dalam sebuah wawancara, Yuliandre Darwis, ketua KPI periode 2016—2019, pernah ketawa saat melihat sensor patung dalam dokumen Titik Peradaban di Trans7. Ia juga memberi contoh bahwa keberadaan darah pada acara TV bisa aja enggak perlu disensor dalam konteks tertentu.
Terus, Apa Tugas LSF?
Nah, selain KPI, ada lagi, nih, lembaga yang juga berdiri untuk menjaga kualitas tayangan visual: LSF atau Lembaga Sensor Film. Sesuai dengan namanya, LSF bertugas buat menyeleksi bagian-bagian mana di dalam sebuah film yang pantas buat dikonsumsi, mana yang enggak. Standarnya tentu berdasarkan nilai-nilai dan norma di Indonesia dan juga digolongkan berdasarkan kelayakan usia tonton.
Kenapa, sih, harus ada LSF? Bukannya karya visual itu adalah karya seni yang enggak boleh dibatasi? Hmm, dalam konteks penelitian dan seni, sebuah karya visual mungkin enggak boleh dibatasi. Namun, jika dilepas ke masyarakat awam, tentunya film enggak bisa dilempar seenaknya.
Contohnya, nih, ketelanjangan. Dalam menyikapi adegan ini, persepsi penonton Prancis pasti beda, dong, sama penonton Indonesia. Perbedaan ini dilandasi sama budaya dan nilai-nilai. Tentunya, kita enggak bisa mengutak-atik itu karena, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Apa yang enggak memberi dampak di suatu negara, bisa aja memberi dampak buruk di negara lain.
Nah, yang disensor sama LSF bukan sekadar film yang beredar di bioskop dan kemudian TV, tetapi juga iklan dari film itu, baik berbentuk video (teaser dan trailer), poster, still photo, dan sebagainya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014.
Pengawasan dan Sensor Itu Penting Enggak, Sih?
Tentunya penting banget, dong! Di Amerika Serikat juga ada, lho, fungsi pengawasan itu, salah satunya yang berupa rating. Sistem rating berguna supaya penonton sebelumnya tahu, siapa saja yang boleh menonton film tersebut. Contohnya, kayak kartun Family Guy. Tanpa sistem rating, penonton mungkin awalnya mengira kalau kartun itu aman ditonton anak, padahal, itu adalah kartun dewasa.
Pengawasan stasiun TV penting banget dilakukan supaya mereka enggak seenaknya dalam membuat konten demi iklan yang banyak. Ingat kasus makan kodok hidup-hidup di sebuah talkshow komedi? Tanpa adanya KPI, tayangan seperti itu bisa bebas berkeliaran di TV, padahal enggak semua penonton cukup paham buat membedakan mana yang layak dilakukan, mana yang enggak. Penyimpangan sosial tetap harus dikontrol supaya enggak terjadi konflik.
Layaknya pengawasan, sensor juga penting. Bayangkan kalau ada ketelanjangan di dalam film luar yang ditayangkan di Indonesia? Tentunya selain bikin geger, mungkin hal itu enggak sesuai aja sama budaya masyarakat Indonesia secara umum. Lagipula, penonton di bioskop –yang mayoritas memegang nilai-nilai norma dan adat tertentu– bisa awkward.
Namun, harus diakui kalau fungsi keduanya mungkin makin tergerus di era modern. TV dan bioskop mungkin enggak bisa seenaknya menayangkan hal-hal yang enggak sesuai norma dan aturan, tetapi, orang-orang bisa melihatnya di internet.
Film-film di platform video-on-demand, misalnya, enggak menuruti aturan LSF, karena platform-nya sendiri udah di luar ranah LSF. Hal ini pernah diajukan oleh Ahmad Yani Basuki (Ketua LSF 2015—2019) yang kukuh mengatakan film-film yang beredar di Indonesia, termasuk dari layanan streaming mesti menjalani prosedur sensor. Hal yang sama berlaku jika kita melihat streaming stasiun TV luar.
***
Jadi, meskipun KPI tengah disorot karena masalah perundungan, sebagai masyarakat kita enggak boleh salah kaprah. Enggak boleh menyalahkan satu pihak dengan kesalahan yang bukan mereka perbuat. Setuju?