Pernahkah kalian berpikir, “Kenapa, sih, film harus ada rating? Memangnya kita enggak bebas nonton film apa saja?” Jawabannya jelas, “Ya, iya, Malih!” Soalnya, ada hubungan erat antara rating tontonan dengan perkembangan manusia. Bukan tentang fisik, tapi juga psikis.
Sepanjang hidup, kita tumbuh dan berkembang dari enggak tahu apa-apa sampai kenal realita dunia. Misalnya, kekerasan baik verbal maupun nonverbal atau bagaimana manusia berkembang biak. Namun, hal itu enggak sepantasnya diketahui saat kita masih berada dalam tahap usia tertentu.
Tahap perkembangan ini tentu berdampak pada daya serap seseorang dalam menerima informasi, termasuk tontonan. Biar lebih jelas lagi, simak penjabaran di bawah ini, ya!
Tahap Perkembangan Fisik Manusia
Menurut sebuah studi yang diungkap dalam Hello Sehat, ada beberapa tahap perkembangan psikologis manusia. Pertama adalah tahap kepercayaan di bawah usia 1 tahun. Pada tahap ini, anak-anak membangun kepercayaan terhadap lingkungan sekitar. Jadi, kalau seseorang mengalami kekerasan di tahap ini, besar kemungkinan dia akan tumbuh jadi pribadi yang sulit percaya pada orang lain.
Di tahap usia 1—3 tahun, anak mulai belajar tentang kemandirian dan bagaimana membangun kepercayaan diri. Kemudian, pada usia 3—5 tahun, anak mengenal inisiatif dan rasa bersalah. Di sinilah orangtua wajib mendampingi mereka untuk mempelajari mana yang pantas dan enggak pantas dilakukan.
Nah, pada usia 6—10, anak mulai tertarik dengan ilmu pengetahuan dan produktivitas. Dalam tahap ini, dibutuhkan bimbingan dari orang lain supaya mereka enggak salah langkah.
Lalu, usia 10—20 tahun jadi saat-saat yang cukup kritis. Soalnya, di rentang usia ini, manusia cenderung memberontak terhadap nilai-nilai yang sudah ditanamkan keluarga. Keyakinan pun jadi mudah goyah. Istilahnya, sih, mencari jati diri.
Tahap perkembangan ini menunjukkan kecenderungan daya tangkap seseorang dalam menerima dan menyerap informasi. Jadi, dari sini saja seharusnya kita sudah bisa paham apa yang terjadi bila ada anak 6 tahun nonton Deadpool atau Game of Thrones.
Klasifikasi Rating Tayangan
Di Indonesia, kita mengenal dua jenis rating sebuah tayangan. Pertama adalah jenis rating berdasarkan Motion Picture Association of America (MPPA). Sistem ini berlaku untuk film-film Amerika Serikat, termasuk film-film Hollywood yang kalian saksikan. Karena lain padang lain ilalang, Indonesia punya rating film berdasarkan Lembaga Sensor Film (LSF). Yuk, kenali perbedaannya!
Motion Picture Association of America (MPPA)
G (General Audience)
Kalau ada film yang ditandai dengan rating ini, artinya film tersebut bisa ditonton oleh semua umur. Jadi, saat menonton, kalian enggak perlu takut tiba-tiba ada adegan yang menampilkan ketelanjangan, kekerasan, kata-kata kasar, bahkan hal-hal yang menjijikkan kayak potongan tubuh.
PG (Parental Guidance Suggested)
Film-film dengan label PG merupakan tontonan yang masih bisa disaksikan oleh anak dari semua kalangan umur. Bedanya, anak-anak harus didampingi oleh orangtua. Soalnya, ada beberapa adegan yang butuh arahan. Misalnya, ejekan, perundungan ringan, atau candaan yang bisa disalahartikan.
PG-13 (Parental Guidance Under 13 Years Old)
Sesuai judulnya, tayangan-tayangan dengan label PG-13 enggak disarankan buat anak yang berusia di bawah 13 tahun. Soalnya, walaupun masih “sopan” menurut budaya Amerika Serikat, tetap ada beberapa hal yang sebaiknya enggak diketahui anak-anak. Contohnya cinta monyet, gurauan remaja, dan kegalauan hati masa puber.
R (Restricted)
Kalau di dalam sebuah tayangan ada keterangan rating R, mending kalian enggak usah nonton kalau masih di bawah 17 tahun. Sudah cukup umur pun, alangkah bijaknya mundur bila merasa kondisi psikologis kalian kurang baik. Soalnya, tayangan dengan label R berisi unsur kekerasan, kata-kata kasar dan intimidatif, atau adegan dewasa lainnya.
NC-17 (No One and Under Admitted)
Lebih ekstrem daripada R, NC-17 bahkan sebaiknya enggak ditonton oleh orang dewasa kalau mereka sedang dalam kondisi psikologis yang kurang baik dan punya trauma tertrntu. Di dalam tayangan-tayangan ini, ada beberapa kekerasan ekstrem, hubungan seksual/ketelanjangan yang frontal, atau justru penyimpangan-penyimpangan yang harus disikapi dengan bijak.
Apakah ada orang yang sudah cukup umur tapi enggak disarankan menonton film berlabel R atau pun NC-17? Ada, dong. Beberapa orang masuk kategori HSP (Highly Sensitive Person) dan menonton film R-rated kayak film gore dan horor bisa bikin jiwa mereka terguncang. Kondisi ini bisa juga disebabkan trauma masa kecil. Ya, meskipun film-film itu fiktif adanya, menyaksikan adegan ekstrem mampu membangkitkan trauma yang terkubur.
Lembaga Sensor Film (LSF)
A/SU (Anak/Semua Umur)
Tayangan dengan rating ini aman banget buat ditonton karena enggak ada muatan konten yang mengancam mental anak/enggak sesuai. Jadi, aman-aman saja kalau adik atau anak kalian dikasih tontonan dengan rating ini sementara kalian sibuk dengan urusan sendiri.
BO/A (Bimbingan Orangtua/Anak)
Tayangan dengan label ini sebenarnya masih bisa ditonton anak-anak. Hanya saja, khusus anak 7 tahun ke bawah membutuhkan bimbingan orangtua karena ada beberapa adegan yang belum mereka pahami.
BO (Bimbingan Orangtua)
Nah, adik-adik kalian yang berada di usia 12 tahun ke bawah harus didampingi sama orang yang lebih tua. Tentu saja, ada banyak adegan yang lebih cocok ditujukan bagi para remaja di sana.
BO – RR (Bimbingan Orangtua)
Remaja juga butuh pendampingan orangtua dalam beberapa film. Ya, film dengan label rating ini bisa ditonton para remaja. Asalkan, ada orang dewasa yang bisa menjaga mereka dan menjadi referensi bila ada beberapa adegan yang aneh di mata mereka.
D (Dewasa)
Nah, kalau suatu tayangan di Indonesia sudah dikasih label ini, sebaiknya enggak ditonton oleh anak di bawah usia 17 tahun, bahkan 21 tahun. Soalnya, mereka belum cukup matang untuk menilai mana yang baik dan buruk dalam memahami sebuah tayangan.
Lemahnya Kesadaran dan Pengawasan
Semua film yang bisa kalian saksikan di tempat publik sudah dilabeli dengan klasifikasi rating. Bisa dibilang, LSF sudah bekerja dengan baik. Memang, sering ada kontroversi karena LSF dianggap “sadis” saat menyensor. Namun, kalau kita meninjau dari perkembangan psikologis manusia, apa yang dilakukan LSF ada benarnya.
Di sinilah tugas LSF berakhir. Namun, itu saja tidak cukup untuk mengalokasikan tayangan-tayangan sesuai usia. Masih dibutuhkan kepedulian dan kerja sama dari pihak-pihak lain.
Masih ingat dengan cerita hebohnya beberapa oknum orangtua yang menginginkan film Deadpool 2 (2018) ditarik dari peredaran? Nah, hal ini disebabkan oleh banyaknya anak kecil yang “kaget” waktu nonton Deadpool di bioskop.
Keinginan mereka sontak dijadikan lelucon (dan disebelin) banyak orang. Apa alasannya? Sudah jelas terlihat bahwa dalam kasus ini yang salah justru orangtua yang memboikot film garapan David Leitch tersebut. Soalnya, mereka enggak seharusnya membawa anak nonton film R-rated.
Inilah kesalahan yang sering dilakukan oleh banyak orangtua. Mereka menganggap bahwa film kartun dan pahlawan super sudah pasti cocok buat anak-anak. Padahal, film-film kartun kayak Family Guy atau American Dad memuat berbagai kata kasar, kekerasan, bahkan ketelanjangan.
Begitu pula dengan film pahlawan super kayak Wonder Woman (2017) atau Avengers: Endgame (2019). Film-film ini dinilai mengandung adegan yang enggak cocok buat anak-anak. Makanya, orangtua perlu melek rating untuk memilih film mana yang tepat untuk ditonton bareng keluarga.
Bahkan, kita kerap kali mendengar cerita tentang orangtua yang membawa bayi ke bioskop. Perilaku ini tentu merugikan sang bayi. Pendengaran dan penglihatannya bisa terancam karena tingkat suara dan cahaya ekstrem dalam ruang bioskop. Si bayi akan merasa enggak nyaman dan akhirnya menangis rewel. Alhasil, penonton lain pun terganggu.
Kalau ada orangtua yang gegabah memilih tontonan, di sinilah pihak bioskop perlu ikut mengawasi. Pasalnya, anak enggak mungkin sampai ke kursi bareng orangtuanya kalau pihak bioskop bisa melarang mereka menonton film dengan rating remaja dan dewasa.
Seperti yang diungkap dalam situs Hukum Online, pihak LSF bisa memberikan sanksi bagi mereka yang bergerak di usaha perfilman dan melanggar aturan rating. Kenyataannya, di berbagai bioskop, hampir enggak pernah ada aturan eksplisit yang memberi peringatan kepada penonton di bawah umur.
Apakah kalian pernah melihat petugas bioskop dengan tegas melarang anak-anak di bawah umur memasuki studio penayangan film dewasa?
Apa Jadinya kalau Nonton Enggak Sesuai Rating?
“Ya elah, film, 'kan, durasinya paling banyak tiga jam doang. Memangnya, bisa sebegitu berpengaruh sama hidup kita?”
Kalau dipikir sekilas, memang, durasi dua sampai tiga jam itu pendek banget dalam hidup kita. Namun, penelitian Carrie Shrier dari Universitas Michigan menegaskan bahwa paparan tayangan negatif selama dua puluh detik saja sudah bisa membuat anak meniru perilaku buruk. Contohnya adalah merusak mainan yang diberikan.
Filter anak belum cukup bagus untuk menyaring mana hal yang bisa dia lakukan dan mana yang enggak. Bahkan, anak-anak cenderung mengamati apa pun yang dia lihat, berapa pun lamanya. Contoh kasus ini ada pada kejadian perundungan anak SD di Bukittinggi kepada temannya. Menurut pemeriksaan, kekerasan itu disebabkan oleh pengaruh permainan daring dan tontonan yang mengandung unsur kekerasan.
Bukan hanya anak-anak, remaja juga bisa kena dampak tayangan tidak sesuai umur. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nando Pandjaitan dan Nurmala Katrina dari IPB, film berunsur kekerasan atau horor juga bisa meningkatkan potensi perilaku agresi remaja yang mendorong tindakan-tindakan mencelakakan orang lain.
Jadi, apakah tayangan-tayangan dewasa harus diboikot? Tentunya, itu suatu simpulan yang naif. Sebenarnya, yang merusak anak bukanlah tayangannya, melainkan lemahnya penyaringan orang dewasa terhadap apa yang boleh dan enggak boleh mereka saksikan.
***
Pihak bioskop memang belum memberlakukan aturan dan pengawasan ketat. Jadi, alangkah baiknya kita mulai dari diri sendiri untuk memfiltrasi tayangan dengan cara mengenali betul rating yang diusung. Jangan pernah bawa anak atau adik untuk menonton tayangan yang enggak sesuai dengan rating umurnya. Ada baiknya lakukan riset dulu terkait film untuk ditonton bersama keluarga.
Bagaimana pendapat kalian soal lemahnya pengawasan terhadap rating film? Yuk, diskusikan di kolom komentar!