*Spoiler Alert: Review film Balada si Roy mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.
Sutradara Fajar Nugros bisa dibilang cukup aktif melahirkan karya terbaru selama setahun belakangan. Setelah merilis Srimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama (2022) dan Inang (2022), Fajar kembali hadir dengan karya terbaru yang berjudul Balada si Roy. Ini menjadi film ketiganya Fajar yang dirilis di bawah naungannya IDN Pictures.
Kamu yang tumbuh di akhir 1980-an atau 1990-an mungkin enggak asing dengan Balada si Roy. Soalnya, Balada si Roy merupakan film yang diadaptasi dari novel berjudul sama yang rilis di era tersebut. Film ini menghadirkan deretan aktor muda ternama, di antaranya Abidzar Al Ghifari, Febby Rastanty, Bio One, Zulfa Maharani, dan aktor lainnya.
Berlatar pada 1987, Balada si Roy berkisah tentang seorang anak SMA asal Bandung, bernama Roy, yang terpaksa pindah ke Serang bersama ibunya. Saat baru pindah ke sekolah barunya, Roy jatuh hati dengan teman sekolahnya yang bernama Ani. Di sisi lain, Ani disukai oleh Dullah, anak pejabat Serang yang merasa berkuasa di sekolah. Perselisihan Roy dan Dullah malah mengungkapkan permasalahan lain yang lebih kompleks.
Review film Balada si Roy
Kisah remaja bernama Roy yang mencari jati diri
Seperti judulnya, Balada si Roy jelas berfokus pada kehidupan seorang remaja Bandung bernama Roy, yang harus pindah ke Serang mengikuti ibunya karena kondisi keluarganya yang tidak kondusif, apalagi sejak kematian ayahnya. Roy yang sudah terlalu betah dengan Bandung jelas sempat merasa berat hati ketika harus pindah ke Serang.
Roy pun enggak perlu waktu lama untuk bisa beradaptasi di Serang. Begitu masuk ke sekolah barunya, karisma Roy langsung bikin kelepek-kelepek banyak cewek. Roy juga langsung mendapatkan dua teman baru, yaitu Andi dan Toni, yang mana dia membuat geng bernama RAT bersama kedua temannya tersebut. Ditambah lagi, Roy jadi satu-satunya orang yang berani menentang Borsalino, geng penguasa sekolah yang dipimpin anak pejabat Serang.
Balada si Roy berhasil menghidupkan kembali nuansa 1987 dengan begitu apik, khususnya lewat dandanan para karakternya yang style-nya begitu 1980-an. Selain dari penampilan, tutur kata yang diucapkan juga bisa dibilang jadul banget. Ketika mendengar Roy menggoda cewek, kamu mungkin bakal dibuat merinding karena cara menggodanya terlalu old school, yang sebenarnya cocok dengan latar waktu filmnya.
Pencarian jati diri seorang remaja bisa dibilang menjadi tema utama yang diangkat dari film ini. Roy ingin menjadi sosok yang bisa diandalkan oleh ibunya, terlebih setelah ayahnya meninggal. Namun di sisi lain, Roy memiliki berbagai keresahan dan pemberontakan yang ingin dia tuntaskan. Pada akhirnya, film ini memperlihatkan bagaimana perjalanan Roy sebelum memutuskan jalan hidupnya yang ingin bebas.
Terlalu banyak konflik dalam satu film
Saya menonton Balada si Roy dalam keadaan sama sekali belum pernah membaca novelnya. Saya juga tidak bisa memastikan apakah film adaptasi ini benar-benar akurat dengan novelnya atau tidak. Namun dari sudut pandang orang yang belum pernah membaca novelnya, saya merasa bahwa Balada si Roy menyajikan terlalu banyak konflik sekaligus dalam satu film.
Pada bagian awal film, kamu pasti menduga bahwa Balada si Roy adalah film cinta-cintaan remaja pada umumnya. Namun semakin berjalannya film, kamu bakal menemukan konflik politik yang berhubungan dengan masa lalu ayahnya Roy, bagaimana Roy ingin membebaskan sekolahnya dan Serang dari pengaruh kekuasaan pejabat, bahkan sampai hal-hal mistis.
Dengan terlalu banyaknya konflik yang dihadirkan di film ini, Balada si Roy jadi film adaptasi yang kurang ramah bagi penonton yang belum pernah membaca novelnya. Cukup membingungkan melihat seorang anak remaja harus mengalami konflik yang terlalu berat untuk usianya. Pesan yang ditampilkan di film juga terlalu usang untuk diarahkan ke generasi muda saat ini.
Karakter Roy yang kurang menarik simpati
Pemilihan Abidzar Al Ghifari sebagai Roy sebenarnya cukup pas dari segi penampilan. Abidzar benar-benar berhasil membangkitkan kembali gaya khas remaja 1980-an, seakan dia benar-benar menjalani SMA pada masa itu. Walau secara penampilan cukup meyakinkan, sayangnya penggambaran karakter Roy kurang berhasil bikin penonton jatuh cinta kepadanya.
Roy sendiri diceritakan sebagai anak SMA asal Bandung, yang seharusnya membuat dia fasih berbahasa Sunda atau setidaknya punya logat Sunda yang begitu kental. Ditambah lagi, Roy pindah ke Serang yang mana warganya juga menggunakan bahasa Sunda. Lantas, mengapa Roy malah memiliki gaya bicara Jakarta yang begitu kental dan berkata “gue-lu” kepada teman-temannya yang berlogat Sunda?
Lalu, ada satu hal mengganjal lainnya dari Roy di film ini. Roy sempat merasa kesal dengan Ani karena kematian anjing peliharaannya yang bernama Joe. Padahal, Dullah adalah orang yang membunuh Joe. Lantas, apa alasan Roy marah kepada Ani? Lalu, kenapa Ani malah merasa begitu bersalah seakan dialah orang yang bertanggung jawab atas kematiannya Joe? Kemarahan Roy kepada Ani tersebut malah membuat Roy terlihat sebagai karakter yang menyebalkan.
***
Layaknya remaja yang sedang mencari jati dirinya, fokus cerita Balada si Roy juga kurang jelas arahnya ke mana. Film dibuka dengan cinta-cintaan remaja, lalu muncullah remaja yang ingin mendobrak sistem politik sekolah maupun kotanya, dan tiba-tiba kamu bisa menemukan elemen mistisnya. Rasanya terlalu banyak yang terjadi di dalam film ini, yang pastinya bakal kurang ramah buat penonton yang belum pernah membaca novelnya.
Setelah baca review film Balada si Roy, apakah kamu jadi tertarik menonton film drama ini? Buat yang sudah menonton, jangan lupa bagikan pendapat kamu tentang film ini, ya!