King Kong, sang kera raksasa bergigi tajam dengan amukan yang menggelegar, adalah satu dari sekian monster legendaris yang menjadi budaya populer lewat dunia perfilman.
Pada tahun 1933, King Kong muncul lewat layar hitam putih, menjadi mitos mengerikan yang mampu memikat para penonton hingga mencapai peraihan $89,931 hanya dalam empat hari. Kesuksesannya membuatnya dirilis kembali pada 1938, 1942, 1946, 1952 dan 1956, dan masih banyak lagi.
Belum lama ini, King Kong akan dirilis oleh Disney + menjadi sebuah serial dalam kemasan yang tentunya lebih modern, dan lebih kompleks.
Ini sekilas terdengar seperti berita biasa saja. Enggak banyak yang tahu jika menyangkut King Kong, selalu ada isu copyright yang membayangi. Kasusnya agak berbeda dengan hak cipta monster lain seperti T-Rex, Godzilla, atau bahkan Predator.
Banyak pihak dan individu mengklaim kepemilikan atas hak cipta King Kong. Apa yang membuatnya menjadi ribet? Mengapa King Kong bisa diklaim oleh banyak orang? Sejarahnya begitu panjang, mari kita cari tahu mengapa isu copyright ini lebih rumit daripada menghadapi King Kong raksasa itu sendiri.
Sebuah simbol yang penuh kontroversi kepemilikan
King Kong adalah sebuah simbol kegagahan, simbol kejayaan negeri Paman Sam usai era The Great Depression. Ia menjadi milestone, juga menjadi budaya populer yang menggelegar di tengah masyarakat. Apalagi saat King Kong naik ke Empire State Building, salah satu tempat kebanggaan Amerika.
Jika menyebut kelahiran King Kong, tampaknya hampir semua pengamat film dan sejarawan mengingat satu nama, yakni Merian C. Cooper. Menurut surat yang Cooper tulis, inspirasi untuk Pulau Tengkorak dan penghuninya yang mengerikan berasal dari cerita seorang teman tentang pertemuannya dengan komodo di Indonesia. Imajinasi bombastis Cooper memunculkan ilustrasi babon dan kera besar yang bertarung dengan kadal sepanjang tujuh kaki, membuat tulisan atas hal itu bersama Edgar Wallace.
Cooper selalu menyatakan bahwa semua ciptaannya tentang Kong mendahului kesepakatan apa pun dengan RKO dan produksi film tahun 1933. Ia sendiri merupakan penulis, co-produser, co-writer, bahkan tampil dalam film King Kong tersebut.
Namun, secara legal RKO melisensikan karakter tersebut kepada Produser John Beck untuk kesepakatan dengan studio Toho dan Universal. Hal ini dilakukan dalam pembuatan King Kong Vs Goklasik tahun 1962.
Cooper enggak setuju dengan hal tersebut. Karena, Cooper mengaku bahwa ia memiliki surat tentang lisensi hak Kong ke RKO untuk King Kong dan Son of Kong saja. Maka, proyek monster vs monster ini enggak sah.
Sayangnya, Cooper enggak memiliki surat-surat itu dan mengaku bahwa surat-surat tersebut dicuri. Untuk itu, pengacara Universal dan Toho pun tetap kukuh pada pendirian mereka bahwa hak Cooper hanyalah beberapa hak publikasi dari buku dan enggak membatasi Toho serta Universal untuk menggunakan sosok King Kong. Ini akan dipertegas pada keributan berikutnya.
Masalah kembali muncul pada tahun 1970an
Masalah yang enggak diselesaikan enggak benar-benar selesai, tetapi hanya dipendam hingga pada akhirnya keluar lagi. Mulai dekade 60-an, Hollywood memang sedang senang-senangnya merilis film-film “monster”. Nah, pada tahun 1975, RKO yang memegang hak lisensi secara legal mengeluarkan izin untuk produser film terkenal Dino De Laurentis yang ingin membuat remake King Kong dengan anggaran besar.
Nah, keributan ini kemudian muncul enggak hanya dari pihak Cooper, tetapi juga dari Universal. Universal mengklaim bahwa mereka memiliki hak tunggal untuk membuat film Kong, sehingga mereka mengajukan gugatan hak cipta di pengadilan federal terhadap RKO, Dino De Laurentis, dan Richard Cooper (putra Merian C. Cooper).
Universal, yang merasa kasus mereka lemah, meminta pengadilan untuk menemukan pernyataan jika King Kong berada dalam domain publik. Seperti sebelumnya, mereka menegaskan jika skenario asli yang ditulis oleh Merian C. Cooper dan Edgar Wallace tidak pernah memiliki hak cipta yang diperbarui berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta tahun 1909 dan bahwa buku telah menjadi domain publik pada tahun 1960.
Berdasarkan definisi dari Creative Commons Indonesia, domain publik merujuk kepada kumpulan ciptaan yang enggak dibatasi oleh hak cipta pada suatu yurisdiksi tertentu. Suatu ciptaan dapat menjadi bagian dari domain publik karena persyaratan hak cipta yang berlaku telah kedaluwarsa, pemegang hak cipta melepaskan hak cipta pada ciptaan dengan perangkat seperti CC0, atau karena ciptaan enggak memenuhi standar penerapan hak cipta.
Richard Cooper, sang anak, menyangkal cerita itu dan mengajukan klaim silang terhadap RKO. Sama kayak pernyataan sang ayah, Cooper hanya melisensikan karakter King Kong ke RKO untuk dua film: King Kong dan Son of Kong.
Kemudian, pengadilan Los Angeles memutuskan bahwa novelisasi King Kong sebenarnya berada dalam domain publik dan bahwa Universal dapat membuat film dengan tokoh tersebut selama enggak menggunakan unsur-unsur dari film tahun 1933 dan hanya menggunakan materi dari novelisasi tersebut.
Perbedaan yang signifikan antara film dan novelisasi secara efektif menghalangi Universal membuat sesuatu yang dapat dikenali sebagai remake King Kong.
Hakim juga memutuskan bahwa karakter sebenarnya dari King Kong dan cerita dasarnya adalah milik Cooper. Maka, waktu RKO memperbarui hak mereka atas film tahun 1933, mereka bertindak sebagai “wali yang konstruktif”, memulihkan hak Cooper ke Kong juga. Hakim juga menemukan bahwa RKO berutang kepada Cooper bagian dari keuntungan dari semua lisensi Kong sejak Son of Kong. Keputusan ini dikenal sebagai “Cooper Decision”.
Tokoh baru dalam gugatan Kong
Polemik Kong enggak berhenti sampai di sana, bahkan aktornya berkembang. Bukan cuma Cooper, RKO, de Laurentis, dan Universal, gugatan akhirnya tertuju kepada Nintendo.
Pada akhir 1970-an, perusahaan video gim Jepang Nintendo mengalami kesulitan menembus pasar Amerika Utara. Salah satu strategi mereka adalah membuat gim berdasarkan karakter yang familiar bagi penonton Amerika. Programmer mereka sedang mengembangkan game berdasarkan komik strip terkenal dan karakter animasi Popeye the Sailor Man. Sayangnya untuk Nintendo, lisensi untuk Popeye terbukti terlalu mahal.
Perancang game muda Nintendo Shigeru Miyamoto mulai merancang karakter asli berdasarkan kisah segitiga cinta Popeye. Popeye si Pelaut menjadi Mario, Olive Oyl menjadi pacarnya, Pauline. Kemudian, terinspirasi oleh film King Kong 1933, Miyamoto mengubah Bluto menjadi kera yang dikenal sebagai Donkey Kong. Pada tahun 1981, gim arcade Donkey Kong dirilis di Amerika Serikat.
Gim ini sukses besar, bahkan menghasilkan hingga $180 juta untuk Nintendo. Keberhasilan ini menarik perhatian Universal yang menggugat Nintendo dan memerintahkan penghentian semua lisensi Donkey Kong pada tahun 1982. Nintendo mengajukan gugatan balik terhadap Universal sebagai tanggapan.
Pengadilan menolak gugatan Universal. Universal mengajukan banding atas keputusan tersebut dan juga kalah. Pengadilan menemukan bahwa hak yang telah dibeli Universal dari Richard Cooper enggak menjadi masalah dalam pembuatan video game.
Pengadilan beralasan bahwa sifat Kong yang ada di mana-mana ditambah fakta bahwa ia memiliki banyak pemilik meniadakan klaim apa pun yang dimiliki Universal terhadap Nintendo. Dilansir dari Phasrmedia, enggak seperti Mickey Mouse, yang jelas terkait dengan Walt Disney Company, Kong enggak memiliki asosiasi dengan grup mana pun. Ia adalah sebuah tokoh bebas yang bisa dipakai siapa aja.
Masalah yang enggak selesai
Tahun 1980an, RKO menjual pustaka filmnya ke Turner Media yang kemudian diakuisisi oleh Time Warner yang pada akhirnya juga diakuisisi oleh AT&T. Warner Bros pun mengambil alih kepemilikan King Kong (1933) dan Son of Kong (1933). Setiap aspek cerita Kong yang berasal dari film aslinya dimiliki oleh AT&T/Warner Brothers.
Cooper Estate masih memiliki hak penerbitan ke Kong dan telah bermitra dengan berbagai penulis dan seniman selama bertahun-tahun untuk membuat buku dan komik yang berhubungan dengan Kong. The De Laurentiis Company mempertahankan kepemilikan atas remake 1976 dan sekuel 1986, King Kong Lives. Universal memiliki apa pun yang enggak tercakup dalam pemegang hak tersebut. Misalnya, seperti remake King Kong pada tahun 2005 oleh Universal.
Novelisasi Kong milik Cooper dan Wallace berada dalam domain publik. Namun, beberapa bagiannya dimiliki oleh banyak pihak.
Bayangkan sebuah kue besar bergambar King Kong, di mana setiap bagian yang berbeda dimiliki oleh pihak yang berbeda. Itulah yang terjadi pada King Kong. Orang-orang berhak memakai gambar King Kong di kue, tetapi bagaimana bisa bebas jika beberapa bagiannya sudah dimiliki oleh orang lain?
Bagaimana nasib King Kong Disney+?
Serial tentang King Kong tetap akan dirilis oleh Disney + dengan menggandeng James Wan dan kreator Paper Girls Stephany Folsom. Alih-alih mengklaim membuat cerita baru atas hal itu, Disney +. memang mengambilnya dari King Kong Original alias King Kong tahun 1933. Memang belum ada keributan mengingat keputusan Los Angeles, California, menyebut bahwa King Kong berada pada domain publik.
Sosok King Kong sendiri memang rumit. Kiwari, banyak orang yang menganggap kalau King Kong adalah istilah untuk kera besar layaknya kita menyebut gorila, misalnya. Padahal, King Kong adalah nama dari sebuah monster rekaan. Nama King Kong sendiri telah melebur saat merujuk pada gorila berukuran raksasa, seperti saat kita menyebut odol untuk merujuk kepada pasta gigi, padahal Odol sendiri adalah sebuah jenama.
***
Keributan akan lisensi King Kong ini enggak lain terjadi karena kurangnya dokumentasi hukum pada masa itu. Cooper sendiri mengaku bahwa surat-surat lisensi mereka hilang, membuat posisinya menjadi lemah. Sementara itu, RKO telah menjual beberapa lisensi kepada Universal, menjadi awal mula dari rumitnya masalah lisensi kera besar itu.
Yang jelas, masalah ini mungkin enggak akan terjadi di era modern. Pada masa itu, kesadaran dan kejelasan lisensi jelas lebih rendah, apalagi Amerika Serikat baru keluar dari Era Depresi Besar.
Berada pada domain publik, sebenarnya pembuatan kembali King Kong diperbolehkan. Hanya saja, pembuatannya harus hati-hati karena jika menyentil “bagian” yang dimiliki oleh beberapa pihak, bisa saja kreator kena masalah hukum.