*(SPOILER ALERT) Review film Drifting Home ini sedikit mengandung bocoran yang semoga saja enggak mengganggu buat kamu yang belum nonton.
Berdamai dengan masa lalu memang enggak gampang, apalagi kalau orang yang kamu sayangi udah enggak ada. Inilah premis sederhana yang ditawarkan oleh Drifting Home, film animasi terbaru Netflix yang digarap oleh Studio Colorido.
Meski sederhana, sang sutradara–Hiroyasu Ishida (Penguin Highway, 2018)–menjadikan Drifting Home sebagai kisah petualangan surealis anak-anak yang lingkungannya mulai berubah saat mereka beranjak dewasa. Nah, seabsurd apa petualangan Kosuke, Natsume, dan kawan-kawan di Drifting Home? Simak ulasannya berikut ini!
Review film animasi Drifting Home (2022)
Pembuka yang manis, menyimpan petualangan mengejutkan
Drifting Home dibuka dengan narasi Kosuke, anak laki-laki yang dahulu tinggal di apartemen tua “berhantu” yang akan dirubuhkan. Di awal, kita diajak mengikuti bagaimana tempat itu penuh dengan kehidupan, bersama dengan Kosuke dan Natsume–karakter utama–yang berlari ke arah apartemen mereka.
Apartemen yang dahulu merupakan tempat tinggal yang menyimpan banyak kenangan, kini sudah seperti bangunan rongsok yang tidak layak huni di tengah pembangunan apartemen baru di kawasan tersebut. Apartemen baru yang lebih modern telah dibangun dan para penghuni apartemen tua sudah mulai pindah ke sana. Pada akhirnya, bangunan lama ini jadi dikenal sebagai apartemen berhantu yang tidak lebih dari sekadar bangunan tua tak berpenghuni.
Drifting Home memang enggak langsung mengajak kamu memahami apa yang terjadi di sana, selain fakta bahwa ada sosok Yasuji yang selalu disebut-sebut oleh Natsume dan Kosuke. Berjalan lambat di awal, akhirnya petualangan mereka pun dimulai ketika hujan deras mengguyur mereka yang berada di atap apartemen tua nomor 112 dan akhirnya membawa mereka ke dunia yang hanya berisi lautan.
Tentang beranjak dewasa dan meninggalkan kenangan lama
Apakah Drifting Home adalah film petualangan? Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan di awal karena film ini menyimpan banyak hal untuk diungkap setelah mereka terombang-ambing di lautan dalam apartemen tua. Daripada dibilang film petualangan, Drifting Home sebenarnya lebih menunjukkan bagaimana kenangan seseorang bisa begitu membekas pada sebuah tempat, bahkan setelah tempat tersebut enggak lagi sama.
Tanpa sadar, para karakter yang tengah beranjak remaja ini juga mengalami masa-masa pemberontakan dan penolakan terhadap diri mereka. Banyak keputusan yang diambil terlihat kekanak-kanakan, namun justru itulah yang membuat film ini terasa nyata di tengah absurditasnya. Porsi setiap karakter setara; cukup untuk menunjukkan bagaimana masing-masing dari mereka menghadapi situasi yang tidak terduga di dunia antah-berantah.
Reina yang blak-blakan dan “manja” selalu menyalahkan Natsume atas apa pun yang terjadi. Shuri yang tenang dan anti-konflik selalu bisa jadi “penenang”-nya Reina. Yuzuru yang berkepala dingin dan bisa mengambil keputusan tepat di saat genting jadi sosok yang dewasa di tengah anak-anak sekolah dasar ini. Sementara itu, Taishi yang selalu heboh dan bersemangat jadi sumber hiburan bagi teman-temannya. Terakhir, ada Noppo yang misterius yang selalu mengawasi.
Natsume dan Kosuke pun menjadi karakter yang paling rumit di antara semuanya. Awalnya, jujur aja KINCIR enggak suka sama Natsume yang terkesan palsu dan pura-pura kuat, padahal apa salahnya mengakui kalau dia juga takut, sedih, dan marah. Tapi, seiring apartemen tua mereka semacam ‘ditelan’ suasana perkotaan, kita semua diajak buat memahami apa yang dirasakan Natsume.
Sederhananya, Natsume hanyalah anak perempuan yang kehilangan sandarannya dan merasa kosong setelah kematian Yasuji–kakek Kosuke. Sementara itu, Kosuke justru dengan cepat move on setelah kematian kakeknya sehingga dia jadi enggak bisa relate sama Natsume dan malah menjauh.
Di sisi lain, Noppo yang menjadi representasi dari apartemen tua yang menyimpan banyak kenangan Natsume, Kosuke, dan Yasuji. Ia menjadi sosok yang mengawasi dan menginginkan mereka bersama.
Dengan terungkapnya identitas Noppo, semuanya pun menjadi jelas. Apartemen yang mengapung di lautan tanpa batas, tempat-tempat lainnya yang juga sudah hancur dan mengapung di sana, semua adalah wujud dari kenangan yang masih tersimpan. Semuanya kenangan yang mengapung, lalu tenggelam menjadi penggambaran dari memori yang hilang seiring waktu.
Animasi yang halus dan enggak berlebihan
Yap, kemajuan teknologi memang bikin industri anime juga berkembang jauh. Teknologi grafis 3D CG membuat animasi di dalam film anime terasa lebih kaya dan realistis. Namun, KINCIR sama sekali bukan penggemar anime dengan efek CG yang berlebihan (sebut aja Kimetsu no Yaiba: Mugen Train).
Nah, di Drifting Home ini, teknologi CG yang digunakan buat gambar latarnya terasa menyatu dan natural. Dari Penguin Highway dan A Whisker Away memang Studio Colorado kelihatan juga bukan penggemar visual yang over realistic. Selain itu, guratan gambarnya yang halus cukup berhasil memanjakan mata. Gerakan demi gerakan karakternya pun nyaman dilihat tanpa terasa dilebih-lebihkan. Perubahan suasana yang drastis pun berhasil dilakukan. Perubahan suasana dan ceria menjadi horor adalah salah satu yang bikin KINCIR bisa menikmati film anime surealis ini.
Terlalu larut dalam eksplorasi perasaan Natsume dan Kosuke
Sayangnya, Drifting Home pada akhirnya terjebak dalam premisnya sendiri. Hubungan Natsume dan Kosuke yang rumit pada akhirnya menjadi satu-satunya kekurangan dari film ini. Oke, Natsume memang punya personal attachment terhadap apartemen itu karena kenangan bahagianya bersama Yasuji dan Kosuke di masa lalu. Namun, pada akhirnya Natsume hanyalah anak perempuan yang sangat sensitif dan sok kuat. Meski terungkap alasan kenapa Natsume bersikap menyebalkan selama ini juga enggak bisa membenarkan kelakuannya.
Sebenarnya, Drifting Home adalah tentang mengantarkan kenangan ke pemberhentian terakhir agar orang-orang yang mengenangnya bisa melanjutkan hidup mereka dan beralih dari masa lalu. Drifting Home adalah tentang mengucapkan selamat tinggal kepada kenangan berharga, berdamai dengan masa lalu, dan melanjutkan hidup.
Sayang, pada akhirnya ini malah enggak tercerminkan karena emosi karakternya yang terasa datar, terutama sosok pasif agresif Natsume dan hubungannya yang rumit dengan Kosuke. Sudah begitu, pada akhirnya permasalahan keduanya juga selesai tanpa adanya konflik yang berarti.
Drifting Home jadi hanyut begitu saja setelah selesai ditonton. Gambaran surealis tentang apartemen yang mengapung dan gimana anak-anak ini bertahan di sana pada akhirnya serasa jadi tempelan aja buat penyelesaian yang enggak terasa tadi.
Film ini punya potensi buat jadi film yang bisa dinikmati cuma di seperempat bagian pertama saja. Sisanya, narasi yang enteng–karena kerumitannya beneran cuma di hubungan Natsume dan Kosuke yang sebenarnya bisa loh, dipendekin!–bikin film ini jadi mudah dilupakan.
***
Buat kamu yang pengin nonton sesuatu di waktu luang, Drifting Home bisa jadi pilihan. Namun, film ini kurang cukup untuk kamu yang mencari film petualangan fantasi dengan kisah filosofis.
Buat kisah surealis tentang drift away ke dunia lain, KINCIR masih lebih merekomendasikan Sonny Boy yang emang seaneh dan seabsurd itu. Drifting Home jadi terasa serba nanggung: absurdnya nanggung, emosionalnya nanggung, petualangannya juga nanggung.
Kamu bisa nonton Drifting Home di Netflix. Kalau udah nonton, coba bagikan pendapat kamu tentang film anime ini di kolom komentar, ya!