– Dalam pekan Hari Film Nasional, mari kilas balik perfilman Indonesia melalui film Tiga Dara.
– Versi restorasinya bisa kalian tonton legal di Bioskop Online.
Meskipun film pertama Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng (1926) tetapi Tiga Dara (1956) dianggap sebagai tonggak perfilman Nusantara. Film besutan Usmar Ismail ini dianggap kreatif dan memberikan warna segar dalam perfilman Indonesia.
Konsep musikal, salah satunya. Konsep tersebut menjadi alasan mengapa film ini legendaris. Di Hollywood, konsep film musikal memang sudah pernah ada, tetapi di Indonesia, Tiga Dara yang pertama.
Tiga Dara berkisah tentang tiga kakak beradik –Nunung, Nana, dan Neni– yang hidup bersama ayah dan neneknya setelah sang ibu meninggal dunia. Sang Nenek takut jika dia enggak bisa melihat pernikahan sang cucu pertama, Nunung, karena usia. Dia pun akhirnya getol menjadi mak comblang bagi Nunung yang udah hampir berusia 30 tahun.
Suatu hari, Nunung enggak sengaja diserempet oleh seorang pengendara sepeda motor, Toto. Alih-alih menerima maaf Toto, Nunung malah selalu berlaku ketus kepadanya. Toto pun seolah enggak menyerah: dia sering menyambangi rumah Nunung dan membawakan bunga, sebagai wujud permintaan maaf dan pernyataan suka. Nah, pada saat inilah sang adik, Nana, mengambil kesempatan untuk merebut hati Toto.
Mengetahui premis film ini, menarik jika diulas mengenai konflik yang disampaikan, apresiasi, hingga restorasinya yang kini bisa disaksikan di Bioskop Online.
Apa yang Ingin Disampaikan oleh Tiga Dara?
Konflik yang ada di dalam film ini bukan sekadar konflik cinta segitiga saja. Layaknya anak sulung pada umumnya, beban Nunung cukup berat. Dia mengambil peran pengganti ibu yang mengurus rumah tangga sekaligus mengurus adik-adiknya. Sementara itu, adik-adik Nunung adalah sosok-sosok yang glamor, manja, dan hobi berpesta.
Meskipun merupakan film hitam-putih yang menceritakan kisah dekade 1950-an, isu di dalam Tiga Dara masih bisa relevan sama kejadian di masa kini. Ada banyak beban yang ditanggung oleh anak sulung, terutama jika orangtua mereka sudah enggak lengkap.
Selain itu, wanita yang mendekati usia 30-an udah sering diburu-buru sama keluarga dan orang sekitar buat menikah. Padahal, enggak semua orang bisa dengan mudah menemukan jodohnya. Jika dipaksakan, bukankah bisa berujung pada pernikahan yang buruk?
Konsep “melangkahi” ini juga masih dianggap tabu oleh banyak keluarga di Indonesia. Ada adik-adik yang dilanda kegalauan karena mereka udah siap menikah, tetapi kakak mereka masih jomlo. Beberapa keluarga bahkan berpikir kalau ini pamali.
Antara Penghargaan dan Idealisme
Tiga Dara sukses mendapatkan Piala Citra dari Festival Film Indonesia (Tata Musik Terbaik – Sjaiful Bahri). Bahkan, film ini diputar di Capitol, sebuah bioskop yang biasanya cuma mau memutar film-film Hollywood.
Film drama ini juga pernah mendapatkan kesempatan untuk tayang di Venice Film Festival, kendati enggak banyak penontonnya karena ketiadaan subtitle. Harus diakui bahwa semua privilese ini datang karena nuansa Hollywood-esque yang ada di dalamnya.
Walaupun sarat akan budaya Indonesia, mulai dari busana kebaya, sopan santun terhadap orang tua, sampai dengan batas pergaulan cowok-cewek, tetapi vibe, musik, tema, hingga dinamisnya adegan demi adegan memang mendapatkan pengaruh kuat dari drama-drama Hollywood.
Sayangnya, Tiga Dara bukanlah film “favorit” Usmar Ismail, walaupun dia mendapatkan peran yang cukup penting sebagai paman dari mereka bertiga. Film ini seolah menjadi proyek untuk “mendulang uang”.
D. Djajakusuma, teman Usmar di Perfini, lewat buku Salim Said mengatakan bahwa Usmar ‘malu’ dengan film ini, karena bukan film semacam itu yang sebetulnya dicita-citakan Usmar. Dari Darah dan Doa (1950) dan Enam Djam di Djogja (1951), kita bisa melihat bahwa arah Usmar sebetulnya cenderung ke neorealisme Italia.
Usai runtuhnya fasisme, sinema-sinema Italia cenderung menampilkan potret-potret Italia yang lebih nyata dan benar-benar ditemui dalam keseharian. Ini tentu berkebalikan dengan sinema-sinema sebelumnya yang dipenuhi mimpi-mimpi Hollywood.
Harus diakui bahwa sulit melupakan film Three Smart Girls (1936) saat berbincang tentang Tiga Dara. Three Smart Girls adalah film musikal Hollywood tentang tiga bersaudara wanita broken-home yang mencoba untuk menghentikan ayah mereka untuk menikah kembali. Kisahnya berbeda jauh sama Tiga Dara, tetapi nuansa musikal dan keceriaan tiga gadis ini memang setipe.
Kendati dianggap bukan film kebanggaan Usmar, nyatanya film ini menjadi legendaris dan berharga seiring dengan berjalannya waktu. Di awal pemutarannya, ia menjadi film yang laris dengan pendapatan bersih Rp3 juta di zaman itu. Kini, ia dianggap sebagai tonggak perfilman Indonesia, khususnya drama.
Konsep Restorasi dan Pengikut Tiga Dara
Pada 11 Agustus 2016, Tiga Dara direstorasi dan tayang di bioskop Indonesia. Langkah ini merupakan sesuatu yang amat fenomenal. Pasalnya, seluloid film itu udah rusak secara fisik dan kimiawi. Jika diputar lagi tanpa proses restorasi, tentu hasilnya akan enggak karuan.
Proses restorasi film ini berjalan di Indonesia dan di studio L’Immagine Ritrovata Italia. Pembersihan seluloid film dan digitalisasi dilakukan di Indonesia. Sementara itu, proses restorasi dilakukan di Italia. Seluruh proses ini berbiaya hingga Rp2,5 miliar. Angka yang fantastis, tetapi ketika melihat hasilnya, sangat memuaskan dan bikin kita seolah naik mesin waktu ke masa lalu.
Selain restorasi, terdapat juga film yang terinspirasi dari Tiga Dara berjudul Ini Kisah Tiga Dara yang dirilis pada 1 September 2016. Film yang satu ini berkisah tentang tiga kakak beradik yang pindah ke Flores bersama sang ayah dan melakoni passion mereka masing-masing. Sementara itu, sang Oma khawatir karena cucu pertamanya belum menikah.
Secara garis besar, tema Tiga Dara dan Ini Kisah Tiga Dara itu sama banget. Namun, Nia Dinata selaku sutradara enggan kalau Ini Kisah Tiga Dara disebut sebagai remake dari Tiga Dara. Menurut Nia Dinata, dia hanya terinspirasi dan film Tiga Dara karya Usmar Ismail sama sekali tidak tergantikan
Jadi, sebuah kesalahan besar kalau membanding-bandingkan mana yang lebih baik antara keduanya, karena toh Tiga Dara dan Ini Kisah Tiga Dara adalah dua film berbeda yang punya sisi keunikannya sendiri.
***
Seperti layaknya anggur, film Tiga Dara semakin lama semakin dianggap berharga. Kendati dulu dianggap sebagai film komersial penyelamat keuangan Perfini belaka, nyatanya Tiga Dara mampu dengan cantik menghibur para penonton dan memberikan gambaran mengenai kehidupan muda-mudi di masa itu. Intinya, setiap film, komersial maupun idealis, punya nyawa dengan caranya sendiri.
Buat kalian yang sudah nonton film Tiga Dara versi restorasi? Bagaimana pendapatmu? Buat yang belum nonton, mumpung masih pekan Hari Film Nasional, bisa jadi rekomendasi tontonan akhir pekan, lho!