Menonton dokumenter Downfall: The Case Against Boeing memang merupakan pengalaman yang kurang mengenakkan. Hal tersebut justru timbul karena dokumenter ini menjalankan tugasnya dengan baik: mengupas tuntas hal-hal yang disembunyikan di balik permasalahan mesin Boeing Max 737.
Adanya malfungsi dan informasi yang tidak dirilis menyebabkan dua kecelakaan pesawat dalam waktu yang berdekatan. Pertama, kecelakaan Lion Air JT 610 yang terjadi pada bulan Oktober 2018 dan kedua, kecelakaan Ethiopian Airlines 320 yang terjadi pada bulan Maret 2019. Keduanya sama-sama menggunakan pesawat rilis terbaru dari Boeing pada saat itu, yakni MAX 737.
Sebelum menonton dokumenter Downfall: The Case Against Boeing di Netflix, ada baiknya kamu mengetahui bahwa ada banyak informasi yang akan membuat penonton marah. Apa saja poin-poin penting dalam dokumenter ini yang dapat membangkitkan emosi? Ini dia:
Menyorot kondisi istri pilot Lion Air JT 610
Setelah kabar mengenai jatuhnya Lion Air JT 610 menyebar ke seluruh dunia, ada dua pihak yang disalahkan. Yang pertama, paling mudah untuk menyalahkan Lion Air sebagai maskapai murah yang kerap mengalami delay. Yang kedua, menganggap pilot Bhavya Suneja enggak kompeten.
Anggapan terakhir tentu menyakitkan hati sang istri, Garima Sethi, yang baru saja kehilangan suami. Garima tahu betul bagaimana jam terbang sang suami dan bahwa ia enggak mungkin berbuat ceroboh. Namun, media terus menerus menuduh pilot, begitu pula pihak Boeing.
Kendati mencium ketidakberesan dalam pesawat, tetapi anggapan Sethi selalu diabaikan hingga Ethiophian Airlines mengalami kecelakaan pada Maret 2019.
Boeing yang enggan bekerja sama
Dalam dokumenter ini, pihak Boeing, termasuk CEO Dennis Muilenburg, seolah enggan diajak bekerja sama. Mereka kerap menyangkal berbagai macam tuduhan, termasuk dalam sidang.
Sidang yang kemudian dihadiri oleh para keluarga korban Ethiopian Airlines ini seolah enggak menggerakkan hati pihak petinggi Boeing untuk betul-betul mengakui kesalahan mereka. Bahkan, mereka masih menyangkal dan bersikeras bahwa sistem yang mereka gunakan aman.
Film ini juga menunjukkan bahwa dalam rilis berita yang ditulis oleh CNN Business pada tahun 2019, CEO Dennis Muilenburg mengatakan bahwa ‘pesawat didesain dengan baik dan pilot enggak mengikuti prosedur yang berlaku’.
Mengungkap perubahan Boeing
Setelah adegan mengenai sidang Boeing yang dihadiri oleh anggota korban kecelakaan Ethiopian Airlines 320, film pun menyorot perubahan Boeing setelah melakukan merger dengan McDonnell Douglas pada tahun 1997.
Beberapa pegawai Boeing, yang telah lama bekerja di perusahaan, mengakui bahwa ada banyak perubahan yang terjadi setelah Boeing. Budaya kerja berubah dan menjadi lebih profit-oriented.
John Barnett, quality manager dari Boeing, mengatakan bahwa setelah perjanjian miliaran dolar dengan McDonnell Douglas, bos-bos berubah dan banyak pekerjaan mereka yang dianggap salah. Selain itu, idealisme Boeing seolah bergeser lantaran keinginan untuk menjadi lebih profitable. Tentu saja, hal ini agak subjektif, terlebih pihak yang diwawancara hanya dari sisi pekerja. Namun, pengakuan ini seolah membuka kenyataan bahwa memang ada perubahan dalam Boeing, dan perubahan itu enggak sepenuhnya positif.
Hal yang ditutupi dari pesawat Boeing 737 Max
Boeing sendiri sebetulnya memiliki saingan kuat, yakni Airbus, sebuah aerospace company dari Prancis. Pada era modern ini, persaingan memang semakin kuat sehingga Boeing melakukan beberapa manuver. Sayangnya, manuver kali ini dianggap kebablasan.
Ketika merilis model pesawat Boeing 737 Max (yang kemudian digunakan oleh Lion Air dan Ethiopian Airlines), Boeing memberikan catatan bahwa untuk menerbangkan pesawat yang satu ini, pilot enggak perlu melakukan pelatihan simulator khusus.
Pelatihan simulator membutuhkan waktu dua hari dan biaya yang enggak sedikit. Untuk maskapai-maskapai, ini adalah kerugian yang cukup besar. Jadi, mereka pastinya enggan untuk membeli pesawat yang membutuhkan pelatihan tambahan. Karena takut akan risiko ini, Boeing enggak memberi tahu bahwa pilot membutuhkan training tambahan.
Dalam minute of meeting Boeing yang diungkapkan oleh mantan reporter The Wall Street Journal, Andy Pasztor, dituliskan bahwa jika mereka menjelaskan spesifikasi pesawat yang sebenarnya, hal itu akan mengharuskan adanya pelatihan pilot. Untuk menghindari pelatihan dan sertifikasi, mereka memutuskan menutupi beberapa kebenaran. Ya, alih-alih takut mencelakakan penumpang, mereka lebih takut dengan sertifikasi.
Keputusan itu membuat Boeing 737 Max menjadi untung besar. Dalam penandatanganan kontrak, Jim Albaugh, Vice President Boeing, bahkan mengatakan bahwa ini merupakan sesuatu yang bersejarah, baik dari segi nilai penjualan mau pun jumlah pesawat.
Denda yang enggak seberapa
Pada Januari 2021, Department of Justice Amerika Serikat mendakwa Boeing melakukan konspirasi penipuan terhadap FAA. Hasilnya, Boeing diharuskan untuk membayar denda sebesar 2,5 miliar dolar. Jumlah ini memang besar sekali. Namun, setelahnya, Boeing dapat terhindar dari tuntutan pidana.
Kerugian berupa uang dapat digantikan dengan keuntungan pada kuartal-kuartal berikutnya. Namun, nyawa yang hilang dan rasa sakit tentu enggak bisa digantikan begitu saja.
Menonton dokumenter yang disutradarai oleh Rory Kennedy seolah menyadarkan kita bahwa ada banyak perusahaan di luar sana yang menjadikan aspek keamanan pelanggan sebagai jargon saja. Sementara itu, yang mereka utamakan adalah keuntungan semata. Tentu saja, di samping membuat banyak keuntungan, perusahaan tetap harus memastikan aspek keamanan sebagai bentuk tanggung jawab mereka.