Review Film Dokumenter Downfall: The Case Against Boeing

Downfall: The Case Against Boeing
Genre
  • Dokumenter
Actors
  • Andy Pasztor
  • John Fantasia
Director
  • Rory Kennedy
Release Date
  • 18 February 2022
Rating
3.5 / 5

*Spoiler Alert: Review film dokumenter Downfall: The Case Against Boeing mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.


Ketika pesawat Lion Air JT 610 dikabarkan jatuh di perairan Karawang pada 29 Oktober 2018, seolah seluruh lapisan masyarakat Indonesia tahu siapa yang harus disalahkan. Tentu saja Lion Air selaku maskapai yang sudah kadung terkenal dengan penerbangan murah dan masalah delay.

Berbagai media, bahkan media-media di Amerika Serikat pun sempat menyalahkan Lion Air sebagai pihak yang enggak aware soal keamanan penumpang. Pilot yang mengemudikan Lion Air JT 610: Bhavye Suneja pun tak luput dari cemooh. Sang pilot dikabarkan enggak terlalu mumpuni dan enggak melakukan hal-hal prosedural.

Sayangnya, saat black box ditemukan, kecurigaan kepada Boeing selaku perusahaan pembuat pesawat tersebut mulai tumbuh. Dugaan kelalaian Boeing semakin kuat tatkala lima bulan kemudian, 10 Maret 2019, pesawat Ethiopian Airlines 302 jatuh di dekat kota Bishoftu. Baik JT 610 dan 302 sama-sama menggunakan pesawat Boeing 737 MAX 8.

Review film dokumenter Downfall: The Case Against Boeing

Dokumenter Downfall: The Case Against Boeing  membuka luka lama sekaligus mengingatkan semua orang akan “dosa besar” yang dilakukan oleh Boeing. Film dokumenter Netflix ini dibuka dengan bagaimana nyamannya naik pesawat, terlebih dengan pesawat produksi Boeing. Berdiri sejak tahun 1916, Boeing adalah aerospace manufacture yang paling dipercaya, terbesar, dan memberi jaminan keamanan serta kenyamanan saat terbang.

Maka dari itu, ketika berita kecelakaan JT 610 disiarkan di seluruh dunia, media dan masyarakat sempat enggak berpikir bahwa pihak Boeing-lah yang patut disalahkan. Didukung Boeing sendiri, beberapa media Amerika Serikat justru menyalahkan pilot. Hal ini yang hingga kini mengecewakan Garima Sethi, istri dari pilot Bhavye Suneja.

Via Istimewa
Via Istimewa

Sejak awal, Sethi udah mencium sesuatu yang enggak beres. Ia memahami bagaimana suaminya bertindak saat bekerja. Ia memahami integritas dan jam terbang sang suami. Bahkan, sang suami sudah memegang lisensi dari Amerika Serikat. Kenapa media enggak berhenti menyalahkan ketidakbecusan pilot? Bagaimana seorang pemegang lisensi, dikatakan Boeing, tidak mengikuti aturan.

Kisah dalam dokumenter ini kemudian bergulir ke tragedi Ethiophia Airlines pada bulan Maret. Kesalahan Boeing yang tadinya agak samar kini mulai terlihat semakin jelas. Media dan khalayak mulai memahami bahwa ada sesuatu yang memang enggak beres. Muncul banyak headline yang mempertanyakan dan menduga bahwa, dua kecelakaan ini memang terjadi karena sistem dari Boeing itu sendiri.

Pihak Boeing yang bikin geram

Setelah seperempat perjalanan, film kemudian menyorot bagaimana sedihnya perasaan keluarga korban Ethiopian Airlines yang berasal dari berbagai macam negara. Mulai dari Michael Stumo yang kehilangan anaknya hingga Zipporah Kuria, yang kehilangan sang ayah.

Via Istimewa
Via Istimewa

Penumpang pesawat dari Addis Ababa ke Nairobi itu berasal dari berbagai negara. Identitasnya beragam. Pasalnya, banyak penumpang yang kabarnya pergi ke Nairobi untuk mengikuti sesi ke-empat dari Majelis Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Maka, bisa dimaklumi jika suara protes terhadap Boeing lebih nyaring terdengar dari kecelakaan ini, ketimbang dari tragedi Lion Air

Dua kali kejadian buruk dari satu jenis pesawat yang sama adalah warning. Namun, film ini memperlihatkan betapa ignorant-nya pihak Boeing. Andy Pasztor, seorang wartawan dari The Wallstreet Journal bahkan mengungkapkan bahwa ada banyak dokumen yang disembunyikan.

Menambahkan hal tersebut, Richard Reed, insinyur dari FAA menyebutkan bahwa Boeing menutupi masalah MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System), sebuah program penyeimbang baru di pesawat tipe MAX 737 kurang lebihnya karena satu alasan: supaya enggak perlu ada pelatihan pilot.

Mengatakan bahwa sebuah program baru dalam pesawat membutuhkan training ulang bagi pilot berarti mengatakan bahwa pesawat tersebut saat ini enggak dapat dikemudikan oleh pilot mana pun. Ini enggak baik untuk branding dan bisnis, kurang lebih begitu yang ada di pikiran pihak Boeing.

Maka, alih-alih mengantisipasi hal terburuk, Boeing malah menutupinya dan mengatakan bahwa itu program Speed Trimming biasa. Sudah dapat ditebak ada banyak hal buruk yang terjadi. Pilot enggak tahu apa yang harus dilakukan dan kesempatan mereka hanya sepuluh detik, tentunya karena enggak ada pelatihan tentang hal itu.

Membingungkan, menyedihkan, dan mengintimidasi

Film ini bukan film yang ramah, terutama untuk keluarga korban. Begitu banyak hal yang menyakitkan dan membangkitkan luka lama, terutama setelah mengetahui bahwa Boeing seolah rela bertaruh untuk banyak nyawa demi keuntungan dan reputasi.

Bagi pihak Boeing, para korban dan keluarga hanyalah data manifes pesawat. Kepanikan di wajah para penanggung jawab, terutama Dennis A. Muilenburg, seolah seperti enggak disebabkan karena perasaan bersalah. Rasa takut ini lebih kepada kekhawatiran masalah ini akan menghancurkan nama Boeing dan karier mereka. Sekadar itu saja.

Boeing “mengubah prinsip” dari sebuah perusahaan aviasi yang berfokus pada karya terbaik hingga perusahaan yang melantai di bursa saham, dan berfokus kepada keuntungan. Rasanya kita disajikan kenyataan pahit: sesungguhnya kenyamanan dan keamanan penumpang hanyalah jargon belaka. 

Fokus utamanya, tentu saja profit. Terlepas dari perusahaan membutuhkan uang untuk tetap berjalan, fakta bahwa Boeing bahkan mengambil langkah berisiko untuk tetap mempertahankan hal itu adalah sesuatu yang sangat mengganggu.

Hal lain yang mengganggu bagi penonton awam adalah masalah teknis. FIlm ini dengan lengkap menjelaskan bagaimana kecelakaan bisa terjadi lewat simulasi 3D yang nyaris seperti nyata dan mewawancara para ahli.

Namun, beberapa keterangan sangat membingungkan bagi penonton tanpa pengetahuan aviasi. Rasanya, jadi sulit membayangkan apa yang betul-betul fatal dari sistem baru Boeing itu.

Selain itu, beberapa keterangan pada bagian tengah film terasa bertele-tele, seolah seperti presentasi daring bagi mahasiswa. Jika penjelasan mengenai cacatnya fitur MCAS dibuat dengan bahasa yang lebih mudah dipahami atau dengan analogi, mungkin penonton awam enggak akan mengantuk di awal.

Namun, bagian akhir, kendati sederhana, berhasil mengembalikan ketertarikan penonton kepada film. Apa yang didapatkan oleh keluarga korban? Kelelahan setelah menjalankan banyak sidang, atensi publik, uang ganti rugi yang enggak akan menggantikan keluarga yang pergi, dan tentu saja trauma.

Sementara itu, apa ganjaran bagi Boeing? Sekadar uang denda yang enggak akan membuat perusahaan bangkrut dan diturunkannya Dennis Muilenburg dari kursi CEO dengan pesangon saham puluhan juta dolar. 

Gimana, setelah baca review film dokumenter Downfall: The Case Against Boeing ini, apakah kamu jadi tertarik untuk nonton? Share pengalaman nonton kamu ke KINCIR, ya!

 

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.
Baca Juga