Suka-duka Atlet Esports: Mengejar Impian, Dikejar Tuntutan

Kini, bermain game sudah tidak lagi menjadi aktivitas yang membuang-buang waktu. Entitas game sebagai hiburan alternatif telah berubah menjadi industri yang sangat menjanjikan. Pasalnya, industri ini menawarkan uang berjuta-juta dolar bagi para penggiatnya, terutama pro player. Tidak ayal jika saat ini banyak orang yang terjun ke skena esports untuk menjadi atlet profesional.

Di sisi lain, gemerlap esports ternyata punya dampak yang besar bagi pemain. Iming-iming popularitas dan uang membuat mereka terjebak dalam berbagai tuntutan. Guna memenuhi tuntutan tersebut, tidak sedikit pengorbanan yang mereka berikan dalam proses meraih kesuksesan baik bagi tim atau individu.

Di balik ingar-bingar yang mewarnai skena esports, KINCIR akan menelisik seberapa besar tuntutan yang dirasa oleh para pemain beserta dampaknya. Tanpa berlama-lama lagi, langsung simak artikel berikut.

Industri yang Terlalu Menggiurkan Bagi Para Gamer

Seperti yang telah disebutkan di atas, industri esports telah menarik perhatian banyak individu dengan tawaran popularitas dan uang. Tentunya, dua hal tersebut terdengar sangat menggiurkan. Para penggemar game yang tadinya hanya iseng-iseng kini punya kesempatan untuk mengubah hobi menjadi ladang pekerjaan yang mampu menghasilkan pundi-pundi uang.

Pasalnya, dalam satu turnamen esports pemain bisa mendapatkan hadiah jutaan dolar. Contoh paling besarnya adalah The International 2019 yang tercatat sebagai turnamen esports dengan hadiah paling besar sepanjang sejarah. Dalam satu gelaran, Valve selaku penyelenggara menyediakan total hadiah sebesar 34 juta dolar Amerika (Setara Rp500 miliar).

Tidak heran jika OG yang merupakan pemenang dari turnamen ini langsung menjadi tim esports dengan pendapatan terbesar. Begitu juga pemainnya, lima punggawa mereka, yaitu Ceb, notail, Ana, Topson, dan JerAx menempati posisi teratas di jajaran atlet esports terkaya di dunia.

Selain dari hadiah yang ditawarkan turnamen, industri esports juga menciptakan atlet profesional sebagai bidang pekerjaan baru. Pasalnya, para pemain bisa mendapatkan kontrak dan digaji perbulan. Bahkan, ada aturan khusus mengenai persoalan pembayaran pemain ini.

Via istimewa

Contohnya Riot Games yang menerapkan aturan bahwa dalam turnamen LCS, setiap tim harus menggaji para atlet minimal 75 ribu dolar Amerika (sekitar Rp1 miliar) per tahun. Sang Komisaris, yaitu Chris Greeley mengungkapkan bahwa rata-rata atlet profesional League of Legends bahkan digaji sekitar 320 ribu dolar Amerika (sekitar Rp4 miliar) per tahun.

Berpindah ke dalam negeri, rata-rata gaji para atlet profesional Indonesia memiliki kisaran yang lebih beragam. Tergantung dari seberapa besar nama tim di skena kompetitif. Hal ini dibeberkan oleh General Manager EVOS, yaitu Aldean Tegar. Pada sebuah wawancara, dirinya membocorkan gaji pemain EVOS yang berada di kisaran Rp5-6 juta per bulan. Belum lagi ditambah dengan bonus dari prestasi di turnamen.

Via istimewa

Yurino “Donkey” juga pernah membeberkan gaji beberapa tim esports di Indonesia. Dari video di akun YouTube miliknya, Louvre punya tawaran gaji paling tinggi yaitu Rp35 juta per bulan. Itu pun belum termasuk bonus tambahan dari turnamen, sponsor, dan penyelenggara turnamen

Kita bisa lihat betapa menjanjikannya ranah esports untuk para atlet profesional. Tawaran uang jutaan menciptakan sebuah magnet besar yang mampu menarik perhatian para gamer untuk berubah haluan terjun ke industri olahraga elektronik ini.

Tuntutan di Balik Gemerlap Esports

Via istimewa

Industri esports yang telah berkembang pesat seperti menjadi sebuah tambang emas besar bagi para penggiatnya meraup keuntungan. Keberhasilan pemain dari gelar juara akan punya efek domino bagi proses perkembangan tim. Sederhananya, jika sebuah tim rajin menjuarai turnamen, tentunya tim tersebut akan semakin berjaya. Sebaliknya, tanpa prestasi mereka bisa terpuruk bahkan mengalami kebangkrutan.

Seperti yang dialami oleh salah satu tim profesional Dota 2, yaitu Forward gaming. Tim yang dibentuk pada September 2018 ini jadi contoh nyata pentingnya menjadi juara dalam turnamen. Minim prestasi membuat umur Forward Gaming tidak berlangsung lama. Setahun kemudian, tim ini gulung tikar dan melepas semua pemainnya jelang The International 2019.

Selain pembubaran tim, pemecatan pemain juga bisa terjadi jika mereka tidak menampilkan performa yang maksimal. Lagi-lagi, minimnya gelar juara jadi parameter manajemen tim untuk menentukan apakah pemain layak untuk dipertahankan atau tidak. Kasus ini terjadi pada tim Alliance yang dilepas tugaskan pada September 2019.

Sejak keberhasilannya menjuarai The International 2013, tim asal Eropa ini masuk ke jajaran tim raksasa di kancah internasional. Beberapa tahun kemudian mereka mulai menunjukkan penurunan performa di setiap turnamen. Bahkan, pasca kegagalan mereka di The International 2019, tim ini merombak seluruh pemainnya dengan dalih regenerasi.

Dari kasus-kasus tersebut, tidak heran jika tiap tim memberikan tuntutan besar kepada pemain. Bahkan beberapa tim memiliki proses latihan yang dirasa sangat berlebihan. Tujuannya hanya satu, agar pemain dapat tampil maksimal dan menghasilkan gelar juara bagi tim yang dinaunginya.

Salah satu tim Dota 2 asal Tiongkok, yaitu PSG.LGD bisa dijadikan contoh yang sangat berambisi dalam mengejar gelar juara. Menjelang turnamen The International 2019, tiap pemain menjalani latihan berat selama bootcamp. Selain punya durasi latihan lama, tiap pemain juga harus mematuhi beberapa peraturan ketat yang dibuat oleh sang pelatih.

Via istimewa

Mereka berlatih selama enam hari dari Senin hingga Sabtu yang dimulai dari pukul 13:00- Selama durasi latihan berlangsung para pemain dilarang menggunakan handphone. Kalau ada pemain yang melanggar ada denda yang dibebankan kepada pemain. Denda yang paling mencengangkan adalah ketelatan. Kalau pemain datang tidak tepat jam satu siang. Maka mereka harus membayar 145 dolar Amerika (Rp2 juta).

Apakah latihan seberat ini sebanding dengan hasil? Untuk kasus PSG.LGD jawabannya tidak. Pasalnya, PSG.LGD hanya mampu sampai di peringkat tiga setelah berhasil dikalahkan oleh Liquid di Final Lower Bracket dengan skor 2-1.

Lantas, apakah latihan sekeras ini perlu dilakukan? Adakah dampak yang dialami oleh pemain? Mengutip kata Singsing yang mengatakan bahwa “Remember! It’s just a game”, sepertinya latihan keras seperti PSG.LGD terlalu berlebihan.

Fisik dan Mental yang Terdampak

Berbicara soal dampak, ternyata terdapat isu kesehatan yang dialami oleh pemain esports. Salah besar bila kita menganggap atlet esports tidak terancam fisiknya. Mereka juga bisa mengalami masalah kesehatan, atau bahkan cedera layaknya atlet olahraga lain.

Salah satu pro player yang sempat mengalami kendala kesehatan adalah Yosua “Kido” Pratama saat masih berseragam Louvre. Sebelum menjalani pertandingan MSC 2019, Kido masuk rumah sakit karena adanya gangguan kesehatan dan harus dirawat di rumah sakit Filiphina.

Contoh lain, ada lagi kasus yang menimpa Uzi. Dirinya mengalami cedera bahu kanan yang dirasakan ketika berlatih bersama timnya, yaitu Royal Never Give Up. Efek latihan berjam-jam memang tidak menutup kemungkinan adanya cedera atau isu kesehatan bagi para pemain

Menyikapi hal ini, beberapa tim esports mulai menyediakan tim medis khusus, seperti halnya yang dilakukan ONIC Esports. Chandra Wijaya selaku Managing Director dari ONIC Esports mengatakan bahwa mereka terinspirasi dari Astralis dalam penyediaan tim kesehatan.

“Kami sangat memperhatikan kesehatan pemain, dari pola tidur hingga asupan gizi. Kami terinspirasi dari Astralis yang merekrut Mia Stellberg sebagai dokter mental. Sekarang di dalam tim juga sudah ada bagian khusus yang bertugas menjaga stabilitas mental para pemain,” ungkap Gerard.

Kasus yang dialami oleh mantan punggawa OG, yaitu JerAx juga bisa jadi acuan bahwa selain kesehatan fisik, mental juga harus diperhatikan. Pasalnya, sebagai pemegang gelar juara The International dua kali berturut-turut, ada semacam tuntutan di dalam dirinya untuk tetap menjaga gengsi tersebut dan terus berusaha menjadi pemain yang lebih baik. Dia menuangkan curhatannya lewat video Red Bull.

Dalam video berdurasi 14 menit tersebut, JerAx mengungkapkan salah satu alasan mundurnya dia dari skena kompetitif. Menurutnya, usaha menjaga gelar sebagai tim terbaik di esports menghilangkan “kesenangan” bermain game dan membuat frustrasi. Tekanan yang diberikan juga membuat dirinya semakin yakin bahwa mundur adalah keputusan terbaik demi dirinya sendiri dan juga tim.

Dari deretan kasus di atas, sepertinya ranah esports masih butuh perhatian terhadap kesehatan mental dan fisik pemain Di balik beratnya tuntutan pihak tim, memang harus ada tim khusus yang menangani hal tersebut seperti yang dilakukan oleh Astralis dan ONIC Esports.

Menghalalkan Segala Cara agar Menjadi Juara

Via istimewa

Selain berdampak pada kesehatan fisik, tuntutan dari tim kepada pemain mampu mendorong mereka melakukan berbagai hal. Dari fokus ini, sudah banyak skandal di ranah esports yang cukup mencengangkan. Bahkan beberapa dari mereka sampai ada yang menggunakan doping agar selalu tampil prima, ada juga yang menggunakan cheat, hingga kecurangan lainnya.

Skandal besar di ranah esports yang pertama adalah yang dilakukan oleh Nikhil “Forsaken” Kumawat. Pada ajang Extremeland Zowie Asia CS:GO 2018 dirinya dipergoki oleh panitia sedang menggunakan cheat. Karena terlalu berambisi untuk meraih gelar juara, Forsaken mengaktifkan aim bot di tengah-tengah jalannya pertandingan.

Pihak panitia yang mengetahuinya langsung mengintervensi pertandingan dan menyambangi meja OpTic India. Lucunya, karena takut ketahuan, Nikhil sempat mencoba untuk menghilangkan cheat tersebut. Namun, kesigapan panitia menggagalkan usahanya dan akhirnya OpTic India didiskualifikasi dari turnamen. Bahkan Nikhil juga dipecat langsung oleh timnya setelah turnamen selesai.

Via istimewa

Tidak hanya Forsaken, kasus serupa juga pernah dialami oleh Hovik Tovmassian. Meskipun tidak menggunakan cheat di skena kompetitif, dirinya di-ban oleh Valve karena terdeteksi curang dalam public match. Pihak timnya, yaitu Tim Titan, menginvestigasi Hovic dan langsung memecatnya. Dalam proses investigasi tersebut, pihak tim mendapatkan pernyataan yang cukup mencengangkan.

“Akhir Agustus (2014), saya dikontak oleh seorang programmer supex0 untuk memberikan akses masuk ke program cheat miliknya. Dia juga mengatakan sudah banyak atlet pro yang menggunakannya. Saya terlalu penasaran dan jadi bodoh hingga akhirnya ikut memakainya di ranah publik.” jelas Hovic.

Dari penuturan Tovmassian, budaya penggunaan cheat ini dilakukan oleh banyak atlet profesional ketika bermain di publik. Ternyata, latihan berjam-jam pun tidak cukup untuk menjaga kualitas seorang atlet profesional. Para oknum ini menggambarkan bahwa mereka harus tetap tampil sempurna ketika bertanding meskipun harus menggunakan cheat.

Ada lagi pernyataan menarik dari skena profesional esports. Salah satu mantan punggawa tim CS:GO Cloud9, yaitu Kory “Semphis” Friesen membeberkan fakta yang mengejutkan. Dalam wawancara bersama dengan tim jurnalis dari ESWC 2015, dirinya mengungkapkan bahwa tren penggunaan doping sudah merebak di kalangan pro player.

Bahkan Kory juga mengatakan bahwa pada saat turnamen ESL One Katowice 2015 seluruh anggota tim Cloud9 menggunakan doping, yaitu Adderall. Dilansir Webdm, ketika obat ini diminum, si pengguna akan merasakan peningkatan fokus dan mempercepat refleks otak. Jika dilihat dari efeknya, tentunya sangat mendukung para pro player di dalam turnamen.

Apakah bisa dibilang curang? Jelas iya! Mereka tidak bertanding dengan kemampuan murni dari diri sendiri. Padahal jelas tertera di buku peraturan yang dikeluarkan oleh ESL. Pada poin 2.5, penggunaan doping yang masuk daftar obat terlarang WADA, sangat diharamkan. Entah bagaimana caranya mereka bisa lolos dari pihak kesehatan penyelenggara dalam proses pengecekan.

Skandal-skandal yang timbul ini bisa jadi bukti bahwa untuk memenuhi tuntutan meraih gelar juara, mereka rela melakukan hal-hal yang jelas dilarang. Dari penggunaan cheat hingga doping ternyata masih menjadi budaya di ranah esports. Padahal, mereka juga telah melakukan latihan setiap harinya tapi masih saja menggunakan cara haram agar mendapatkan kemenangan.

***

Menjadi atlet esports profesional memang tidaklah mudah, selain membutuhkan kemampuan bermain di atas rata-rata, mereka juga harus punya mental juara yang tinggi. Di balik semua gemerlap skena esports, ada tuntutan berat yang mengharuskan pemain untuk meraih gelar juara dan membawa nama tim menjadi yang terbaik di dunia.

Hasilnya, pemain pun merasa tertuntut untuk meraih prestasi dan kesuksesan. Tuntutan tersebut pun berujung pada masalah kesehatan yang juga bisa berujung gangguan psikis. Bahkan, tuntutan berat menjadi yang terbaik juga membuat pemain menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan.

Namun, tak bisa dimungkiri di dalam industri ini juga banyak konsekuensi yang harus para atlet profesional tanggung, baik pribadi atau bersama rekan tim. Setidaknya beberapa kasus di atas bisa menjadi pelajaran bahwa masih banyak hal yang harus diperhatikan di skena esports. Bukan hanya soal uang dan ketenaran, tapi sisi lain dari pemain juga patut menjadi fokus agar industri ini dapat berkembang dengan baik.

Bagaimana tanggapan kalian soal pembahasan di atas? Ikuti terus topik menarik lainnya seputar esports cuma di KINCIR!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.