Perkembangan video game dan esports di Indonesia bisa dikatakan lekat dengan peran Mobile Legends. MOBA ciptaan Moonton ini telah dimainkan ratusan juta orang di dunia. Indonesia pun menjadi pasar terbesar dengan total 70 juta pemain per September 2018.
Harus diakui Moonton selaku developer dan penerbit juga punya peran yang sangat vital untuk tetap mempertahankan pesona game andalannya. Khususnya jika kita melihat dari kacamata esports.
Adanya turnamen-turnamen resmi seperti MPL dan MSC tak ayal membuat komunitas jadi antusias. Menjadi tim dan pemain terbaik pun jadi tujuan mutlak. Apalagi, selama ini Moonton membuka kesempatan bagi semua kalangan untuk bisa berlaga di panggung akbar tersebut.
Baca juga kupas tuntas dominasi ONIC Esports di kancah esports Mobile Legends Indonesia.
Melihat respons positif dari penggemar dan komunitas, Moonton pun mengambil langkah revolusioner untuk musim keempat MPL Indonesia yang bergulir dalam waktu dekat, yakni menerapkan sistem franchise league.
Meski familier di skena global, franchise league bisa dikatakan jadi istilah yang asing di Indonesia. Tidak ada turnamen esports yang pernah menerapkan sistem ini. Pun di ranah Asia Tenggara.
Publik pun merespons negatif, khususnya setelah kabar burung soal “biaya pendaftaran” sebesar Rp15 miliar per tim jadi sorotan. Mereka yang kontra menganggap Moonton serakah dan justru mengeksploitasi negara yang membesarkannya.
Pertanyaannya, apakah dugaan eksploitasi tersebut benar? Ataukah, masih ada yang harus digali lagi dari sistem franchise league yang akan diterapkan Moonton untuk MPL Season 4? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, KINCIR coba menyelidikinya secara mendalam.
Petisi yang Memantik Api
Sebelum masuk ke pembahasan utama, alangkah menariknya jika kita membahas mengapa isu ini menjadi topik hangat.
Saat awal isu franchise league MPL Season 4 beredar, beberapa kalangan masyarakat pun menanggapi hal ini dengan beragam respons. Kebanyakan menanggapinya secara negatif. Tidak terkecuali Erick Herlangga, CEO Louvre Esports, tim yang tak pernah absen mengikuti MPL sejak musim pertama.
Erick pun langsung vokal mengenai persoalan ini. Lewat postingan Instagram Stories di akun pribadinya, dia mengungkap bahwa harga yang harus ditebus oleh satu tim untuk mengikuti MPL Season 4 adalah Rp15 miliar.
Tidak hanya membuka diskusi di akun media sosialnya, dia juga membuat petisi yang bertujuan agar Moonton membatalkan aturan bayar tersebut.
Pada petisi dan pernyataan di akun media sosial pribadinya, Erick mengungkapkan keresahannya mengenai dampak jangka panjang dari kebijakan Moonton. Menurutnya, adanya aturan bayar ini berpotensi menghambat prestasi atlet Mobile Legends Indonesia serta kemungkinan monopoli kompetisi yang dilakukan Moonton.
Ternyata gayung bersambut ke pihak Erick. Petisi yang sudah dibuatnya tersebut telah mencapai angka target dari 35.000 penandatangan. Di petisinya, Erick meminta Pemerintah Indonesia— tepatnya Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, serta Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf— untuk membantu mediasi aturan bayar tersebut.
Balas Pantun Moonton dan Erick
Kelanjutan dari petisi tersebut adalah klarifikasi yang dibuat oleh Moonton. Dalam klarifikasinya, mereka menyatakan bahwa pembayaran yang dimaksud adalah sebuah bentuk investasi untuk mengembangkan esports Mobile Legends menjadi lebih besar lagi.
Akan tetapi, pada klarifikasi tersebut, Moonton juga menyebutkan akan mengambil tindakan hukum bagi penandatangan petisi dan orang-orang yang melanjutkan kampanye pencemaran nama baik Moonton perihal monopoli turnamen Mobile Legends di Indonesia.
Tidak terima dengan pernyataan Moonton, Erick pun membalas balik melalui Instagram pribadinya. Lewat Stories Instagram akun pribadinya, Erick justru menambahkan tiga tuntutan baru kepada Moonton.
Tiga tuntutan tersebut adalah Moonton harus bayar uang jaminan, mengganti sistem pembayaran, serta menghapus bunga keterlambatan pembayaran.
Seakan gerah dengan tudingan Erick, Moonton pun merilis klarifikasi “jilid kedua”. Dalam klarifikasi tersebut, Moonton mengungkapkan bahwa Louvre sebenarnya setuju dengan sistem franchise league MPL Season 4. Namun, keterlambatan administrasi membuat Moonton memutuskan untuk menutup pintu bagi Louvre.
Dalam klarifikasinya, Moonton menyebutkan delapan tim lain telah melengkapi persyaratan dan administrasi pada 8 Mei 2019. Hal ini pun membuat Louvre dinyatakan masuk sebagai status tim cadangan (waiting list) jika tim yang telah mendaftar batal ikut.
“Gencatan Senjata” 15 Juli 2019
View this post on Instagram
A post shared by Mobile Legends E-Sports (ID) (@mlbbesport.id) on
Dalam klarifikasi tersebut, Moonton menjelaskan bahwa mereka telah bertemu dengan Erick di MSC 2019 untuk membicarakan persoalan ini lebih lanjut. Namun, pertemuan tersebut tidak membuahkan kesepekatan apa pun.
Kedua pihak akhirnya gencatan senjata pada 15 Juli 2019. Mereka sepakat untuk mengakhiri polemik yang tidak berkesudahan ini. Hasil dari pertemuan ini adalah keduanya menyadari bahwa ada kesalahpahaman antarpihak atas permasalahan ini.
Kesepakatan bisa terwujud berkat pernyataan Moonton yang tidak akan melarang penyelenggaraan turnamen lain, terutama yang bersinggungan dengan kepentingan negara. Selain itu, Louvre juga setuju bahwa hanya atlet-atlet terbaik yang pantas berlaga di MPL.
Louvre juga sepakat bahwa adanya franchise league dapat menjadi tolak ukur bagi standardisasi dunia esports di Indonesia. Sistem ini dianggap juga dapat menghasilkan aturan baku terkait sistem liga, larangan poaching, dan standardisasi atlet.
Akan tetapi, ada beberapa catatan juga dari pihak Louvre seperti tidak melarang adanya turnamen berskala nasional lain dan hanya atlet terbaik yang boleh bertanding di MPL sebagai standardisasi kualitas atlet esports di Indonesia.
Liga yang Menjamin Keamanan Finansial
Setelah lama bungkam soal detail turnamen franchise league yang diprakarsainya, Moonton pun akhirnya membeberkan semuanya pada acara konferensi pers MPL Season 4 yang diadakan di Jakarta Barat (23/7).
Melengkapi klarifikasi yang telah dua kali dirilisnya, Moonton menjelaskan bahwa sistem liga waralaba MPL Season 4 merupakan sebuah kejuaraan yang adil serta menjamin keamanan finansial bagi tim atau pun pemain.
Keuntungan finansial menjadi sorotan utama sebagai respons isu "biaya pendaftaran" Rp15 miliar. Seperti yang dijelaskan oleh Dylan Chia, Marketing Director MPL-ID, Rp15 miliar menjadi investasi yang membuahkan keuntungan bagi tim atau pun pemain.
Lewat sistem bagi hasil, delapan tim yang berpartisipasi di MPL Season 4 akan mendapatkan lebih dari 50% pendapatan liga sebelum dikurangi biaya operasional dan biaya pemasaran liga yang ditanggung sendiri oleh liga (MPL).
Tim juga akan mendapatkan peluang komersialisasi. Investasi yang dilakukan bersama oleh Moonton dan para tim memungkinkan liga berkomitmen dalam jangka waktu yang panjang untuk mengembangkan hubungan dengan mitra. Sistem ini pun diyakini dapat menciptakan aliran pendapatan baru dan solusi pemasaran untuk tim, pemain, atau pun merek.
Tak hanya tim, pemain juga menjadi pihak yang kecipratan untung sistem franchise league. Moonton menjelaskan, pemain akan mendapatkan jaminan kontrak selama minimal enam bulan untuk tiap musim.
Sayangnya, Moonton masih tutup mulut soal upah minimum yang akan didapatkan pemain. Namun, Dylan pada acara konferensi pers sedikit membocorkan upah minimum yang disebutkannya tidak beda jauh dengan peraturan daerah soal upah minimum rata-rata (UMR).
Bicara soal untung, simak juga lipsus kami soal praktik joki Mobile Legends.
Mendorong Sistem Permainan yang Adil
Moonton juga menerapkan sistem salary cap untuk MPL Season 4. Peraturan ini kurang lebih sama dengan sistem yang diberlakukan di liga bola basket Amerika Serikat (NBA). Artinya, setiap tim akan memiliki standar upah maksimal yang dihitung berdasarkan jumlah keseluruhan pemain.
Menurut Moonton, sistem ini diberlakukan untuk mendorong keseimbangan kekuatan antar tim serta terjaminnya biaya operasional berkelanjutan. Sayangnya, lagi-lagi mereka masih bungkam soal berapa batasan maksimal salary cap untuk tiap tim.
MPL Season 4 juga tidak menerapkan sistem degradasi berkat status permanen yang didapatkan dengan mendaftar sebagai investor liga. Jadi, delapan tim akan terus bermain untuk musim-musim selanjutnya. Moonton pun berencana melakukan ekspansi dan memberi kesempatan bagi tim lain untuk ikut ke liga model waralaba ini di musim selanjutnya.
Sayangnya, hingga tulisan ini terbit, Moonton juga enggan menjelaskan lebih lanjut soal bagaimana penerapan aturan jika tim mengundurkan diri dari liga. Begitu juga dengan aturan sanksi bagi tim yang melakukan pelanggaran.
Sebagai penutup, sistem franchise league diyakini Moonton sebagai perbaikan dari sistem yang selama ini mereka jalankan sejak MPL Season 1. Menurut mereka, model liga waralaba ini akan mengatasi masalah seperti ketidakpastian regulasi serta kurangnya standardisasi kontrak antara tim dan pemain.
"Sistem ini (franchise league) bertujuan melindungi semua pihak yang terlibat. Ini juga akan memudahkan kami untuk menciptakan pondasi yang kokoh dengan tujuan jangka panjang demi keberlanjutan esports Indonesia," ujar Dylan.
Upaya untuk Menjangkau Seluruh Kalangan
Selama ini, model liga waralaba (MPL Season 4) dianggap negatif karena tidak menjangkau semua kalangan. Namun, Dylan menampik hal tersebut karena mereka juga menyiapkan program khusus sesuai slogan "Esports for Everyone".
Menurutnya, banyak pihak yang akan mendapat keuntungan dengan penerapan sistem liga waralaba. Enggak hanya Moonton selaku developer, tapi juga kepada seluruh pihak yang terlibat, termasuk komunitas esports yang akan mendapat investasi sebesar 8 juta dolar.
Salah satu upaya yang sudah diterapkan untuk merangkul kalangan amatir adalah dengan diselenggarakannya Mobile Legends Intercity Championship (MIC). Turnamen ini memang diselenggarakan secara khusus untuk tim amatir dari daerah.
Selain itu, mereka juga berkomitmen akan mengadakan turnamen antar kampus sebagai implementasi tujuan tersebut. Dylan juga menekankan akan memberi izin third party untuk menyelenggarakan turnamen selagi sesuai dengan aturan.
“Kami ingin mengembangkan tim-tim esports yang masih amatir. Untuk mengubah itu semua, kami membutuhkan dukungan dari para pemain baik amatir maupun reguler. Harapan kami, seluruh kalender esports yang ada di Indonesia enggak hanya diisi oleh pemain MPL, tapi juga dari turnamen third party,” lanjut Dylan.
Moonton enggak hanya memperhatikan pemain serta timnya. Mereka pun akan mencari talenta-talenta baru yang akan dikembangkan untuk caster atau pembawa acara di ajang esports di Indonesia. Nantinya, mereka akan berkerja sama dengan para partner untuk membuat program magang guna mencari orang di balik layar seperti manajer dan pelatih.
Rp15 Miliar sebagai Investasi Jangka Panjang
Penjelasan Moonton di atas pun membuka wawasan konsep investasi ke dalam liga. Namun, pertanyaan selanjutnya pun muncul. Akankah model tertutup ini membuat esports Mobile Legends berkembang? Atau, justru monopoli turnamen membuat skena turnamen menjadi lesu?
Di skena esports global, sistem franchise league bukanlah format yang asing. Skena esports League of Legends menerapkannya pada gelaran League Championship Series (LCS) sejak 2018. Begitu juga Activision Blizzard untuk Overwatch League.
Mereka yang paham atau sekadar tahu dengan sistem franchise league tentu menanggapi rencana Moonton dengan nada positif. Mereka yang setuju menganggap publik tidak mengindahkan “paham” investasi di balik aturan bayar Rp15 miliar tersebut.
Tak perlu mencari jauh-jauh pihak yang pro dengan konsep ini. Mereka adalah kedelapan tim yang telah resmi berlaga di MPL Season 4: Alter Ego, Aura, Bigetron, EVOS, Geek Fam ID, Genflix Aerowolf, ONIC, dan RRQ.
KINCIR pun berkesempatan menemui Vice President EVOS, Yohannes Siagian. Pria yang lebih akrab dipanggil dengan nama Joey ini setuju jika sistem franchise league mulai diterapkan di skena esports Indonesia. Baginya, semua akan berjalan lancar jika Moonton selaku penyelenggara turnamen mampu menjalankan semuanya dengan baik.
“Sistem franchise league enggak bisa dilihat jangka pendeknya. Tim-tim yang terlibat pun saya rasa setuju melihat ini sebagai investasi jangka panjang. Tentu semua balik lagi ke Moonton. Patokan kesuksesan franchise league ini ada di mereka,” ujar Joey kepada KINCIR.
Joey pun mematahkan anggapan bahwa franchise league akan mematikan komunitas, khususnya dari kalangan amatir. Menurutnya, franchise league justru menjamin kesejahteraan pemain dengan aturan yang lebih jelas.
Menurutnya, biaya daftar Rp15 miliar tersebut enggak hanya akan Moonton gunakan untuk mendanai turnamen MPL. Dana yang akan masuk nantinya juga akan menghadirkan program-program untuk komunitas Mobile Legends.
“Akan ada keuntungan ganda untuk esports Indonesia dengan adanya franchise league, enggak hanya para pro player yang merasakan, tapi juga pemain amatir,” lanjutnya.
Franchise League sebagai Upaya Mendewasakan Esports
Shin Xu, General Manager Aura Esports, juga senada dengan pernyataan Joey soal keuntungan jangka panjang sistem franchise league. Menurutnya, franchise league adalah sistem yang dapat mendewasakan komunitas esports di Indonesia.
Sistem tersebut dianggap sebagai pembelajaran bagi pemain untuk lebih bertanggung jawab tentang pilihannya berkarier di esports. Sebab, saat sudah memasuki sistem franchise league, esports bukan lagi hiburan semata, tapi juga pilihan karier untuk masa depan.
“Kami mau mengedukasi para pemain bagaimana cara melakukan ini secara profesional. Harapannya, anak-anak akan mengerti apa yang belum mereka pahami di dunia kerja,” ujar Shin kepada KINCIR.
Tak hanya bagi pemain, sistem franchise league juga dapat menjadi proses pendewasaan bagi tim dan Moonton sebagai penyelenggara turnamen. Tim dianggap harus memperbaiki manajemen serta bertanggung jawab kepada pemain yang ingin berkarier secara serius.
Sementara itu, Shin menjelaskan Moonton juga dapat belajar dari pengalaman bagaimana menyelenggarakan kompetisi dengan baik. Terutama jika turnamen sudah menggunakan konsep franchise league yang artinya penyelenggara harus lebih presisi.
“Kami mau mengikuti MPL Season 4 karena turut ingin membenahi ekosistem esports di Indonesia, baik untuk komunitas, pemain, tim, maupun Moonton sebagai developer,” ungkapnya.
Menjawab soal kesiapan penyelenggara, Joey juga tak lupa mengkritik langkah Moonton yang dianggapnya terlambat dalam mengedukasi publik. Menurutnya, kisruh soal Rp15 miliar seharusnya bisa dihindari jika Moonton memberikan edukasi publik soal konsep dan sistem franchise league sejak awal.
“Sebuah organisasi besar seperti Moonton harusnya bisa merangkul komunitas. Jangan lupa bahwa mereka besar karena player dan komunitas. Jadi, kalau kita mengharapkan sesuatu yang positif dari komunitas, berikan mereka edukasi yang jelas supaya enggak terjadi salah paham,” ungkap Joey.
Franchise League, Sudah Tepat atau Masih Prematur?
Model franchise league yang tengah dibangun Moonton tentu menghadapi pertaruhan. Apakah sistem liga waralaba ini memang sudah saatnya untuk diselenggarakan, atau justru masih prematur?
Eddy Lim selaku Ketua Umum IeSPA (Indonesian Esports Association) memberikan tanggapannya. Saat ditemui di acara konferensi pers MPL Season 4, dia berkata bahwa cepat atau lambat, sistem liga waralaba pasti akan diterapkan.
“Ini (MPL Season 4) bagus sistemnya. Moonton terlihat well prepared dan serius. Makanya, kalau memang persiapannya sudah matang, kenapa enggak (untuk mengadakan franchise league)?” ujar Eddy kepada KINCIR.
Dia juga tidak setuju jika sistem franchise league dianggap merugikan kalangan amatir. Sebab, jika turnamen sudah jalan, baginya tim yang berpartisipasi akan membutuhkan suplai pemain.
“Semua ada benang merahnya. Jika yang di atas (MPL Season 4) berjalan, yang di bawah (turnamen amatir) otomatis jalan. Makanya, Moonton dan komunitas bakal berperan besar terhadap kesuksesan MPL Season 4.
Selain itu, KINCIR juga meminta tanggapan dari Tommy Mualim, “pemain lama” di industri esports dalam negeri yang saat ini dikenal sebagai referee.
Tommy bercerita bahwa kompetisi esports telah berkembang sangat pesat. Kini banyak tim profesional sudah punya struktur manajemen yang lebih solid. Apalagi angka hadiah yang semakin besar dan membuat nilai jual turnamen esports juga semakin tinggi. Wajar kalau Moonton bisa menghargai “tiket” pendaftaran hingga Rp15 miliar.
Ketika ditanya soal pendapatnya mengenai franchise league, Tommy beranggapan bahwa usaha ini tentu semacam inovasi. Mengenai berhasil atau tidaknya, Tommy tidak mau berbicara lebih banyak. Menurutnya, yang patut dirayakan adalah hadirnya inovasi di turnamen esports seiring waktu.
“Sekarang, kita lihat ada turnamen yang bahkan babak finalnya disiarkan di televisi. Harusnya lebih banyak yang berinovasi agar esports dilirik banyak pihak,” ujar Tommy kepada KINCIR.
Saat ditanya soal prospek pemain, dirinya berpendapat bahwa kompetisi yang dibatasi seperti ini ditakutkan bisa menghambat regenerasi pemain. Ketakutan ini masuk akal lantaran MPL yang digelar Moonton sempat menggelar babak kualifikasi yang panjang serta mencakup banyak talenta lokal.
“Nantinya hanya tim besar lawan tim besar saja. Pemain berbakat yang enggak main buat tim profesional jadinya susah buat masuk,” ujar Tommy.
Jangan Buru-buru Harap Sukses
Di balik semua harapan para petinggi tim esports akan premis franchise league, tetap saja masih ada keraguan yang muncul. Terlebih soal tingginya biaya investasi serta kesiapan ekosistem/industri dengan pelaksanaan sistem yang baru.
Bagi Joey yang melihat dari sudut pandang tim dan manajemen, biaya investasi sebesar Rp15 miliar tetaplah dianggap sangat besar. Maka dari itu, keliru jika format franchise league diharapkan sukses dalam kurun waktu singkat.
“Saya juga enggak bisa memastikan sistem ini akan berhasil atau enggak. Mungkin kita akan tahu pada putaran ketiga atau keempat di franchise league MPL. Bagi tim-tim yang terlibat pun melihat ini sebagai investasi jangka panjang. Enggak ada tim yang mengharapkan balik modal dengan cepat,” jelas Joey saat ditanya soal keraguan dari sistem franchise league.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Edwin Chia selaku CEO Bigetron. Meski yakin dengan premis franchise league, Edwin menilai sistem ini masih prematur untuk diterapkan di Indonesia.
Rp15 miliar turut dirasa Edwin sebagai angka yang sangat tinggi. Maka dari itu, tantangan baginya adalah bagaimana caranya meyakinkan investor untuk menyuntikkan modal bagi timnya.
“Tantangan bagi saya adalah menaikkan reputasi tim Mobile Legends Bigetron agar investor percaya kepada kami. Tentunya investor juga tahu risiko dan efek jangka panjang dari franchise league,” jelas Edwin saat diwawancarai KINCIR.
“Hanya untuk Kalangan Tertentu”
Walau sudah mengetuk palu soal delapan tim yang akan mengikuti MPL Season 4, bukan berarti Moonton enggak menawarkan tim lain untuk berinvestasi. Dranix Esports pun menjadi salah satu tim yang ditawarkan investasi franchise league.
Kwee Rissyo, manajer Dranix, menuturkan bahwa tim tempatnya bernaung sempat ditawari untuk ikut berinvestasi di MPL Season 4. Namun, mereka memutuskan untuk enggak ambil bagian dari franchise league ini.
Rissyo turut setuju dengan rencana Moonton yang ingin menjaga ekosistem esports Indonesia melalui konsep franchise league. Namun menurutnya, konsep tersebut kurang ramah terhadap tim-tim kecil Mobile Legends yang ada di Indonesia.
“Saya setuju dengan rencana Moonton. Namun, konsep franchise league hanya untuk kalangan tertentu. Hanya tim dengan finansial kuat yang bisa ikutan. Lain halnya jika biaya investasinya dibuat terjangkau. Tim mana, sih, yang enggak ingin merasakan liga tertinggi di Mobile Legends?,” ujar Rissyo kepada KINCIR.
Besarnya biaya investasi jadi salah satu alasan mengapa Dranix memutuskan untuk melewatkan kesempatan mengikuti MPL Season 4. Selain itu, tim asal Kota Surabaya ini juga ingin melihat dulu bagaimana perkembangan konsep franchise league hingga MPL season selanjutnya.
“Sambil menunggu MPL Season 5, kami ingin berbenah dulu agar nantinya kami bisa memberikan yang terbaik. Daripada harus buang-buang uang banyak tapi enggak maksimal, lebih baik kami menahan diri dulu sambil memperkuat tim.” ujarnya.
Dranix enggak sendiri. Daylen Reza, CEO Saints Indo, juga berpendapat bahwa konsep franchise league dirasa belum adil buat tim yang sedang berkembang. Bahkan menurutnya, konsep ini bisa mematikan tim-tim yang baru.
"Siapa, sih, pemain yang enggak mau main di MPL? Namun, jadi hilang kesempatannya. Yang bakal kelihatan, ya, cuma tim itu-itu saja di Mobile Legends," ujar Daylen kepada KINCIR.
Daylen pun mengakui bahwa Saints Indo turut ditawari untuk ikut berinvestasi di MPL. Sayang, masalah biaya membuat Saints Indo urung untuk ikut berinvestasi di liga ini. Jika ada yang tertarik untuk partnership, Daylen enggak menutup kemungkinan jika Saints Indo bakal berpartisipasi di MPL season selanjutnya.
"Dua tahun ke depan, tim yang sudah membayar bakal hilang atau turun. Lalu, tim yang tadinya di bawah bisa naik ke atas untuk kualifikasi," ujarDaylen memprediksi prospek franchise league MPL Season 4.
Perbandingan dengan Game Sebelah
Anggapan dan kekhawatiran bahwa franchise league akan lebih “tertutup” bukannya mengada-ngada. Sebab, developer game esports lain yang lebih besar seperti Valve justru tidak pernah menerapkan sistem investasi ke liganya.
The International sebagai gelaran esports terakbar yang digelar oleh Valve untuk Dota 2 malah menggelar rangkaian kualifikasi serta mengundang tim terbaik dengan sangat terbuka. Meski The International pertama yang digelar pada 2011 lalu tertutup, untuk delapan tahun berikutnya, Valve memperluas jumlah peserta dengan raihan total hadiah yang makin besar.
Dota 2 bahkan mengundang komunitas untuk bisa menyumbangkan total hadiah. Angka ini didapat dari partisipasi pemain untuk membeli Battle Pass yang 25% penghasilannya turun langsung ke prize pool The International. Sistem yang diberlakukan sejak 2014 ini berhasil menaikkan raihan The International dari 1 juta dolar di tahun 2011 hingga lebih dari 25 juta dolar Amerika di tahun 2018 lalu.
Dengan berhasilnya Dota 2 menggelar turnamen Internasional yang punya raihan sangat mencengangkan ini, kehadiran franchise league enggak membuktikan bahwa para tim harus melakukan investasi besar-besaran untuk benar-benar sukses.
Bukan berarti sistem franchise league tidak akan sukses. League of Legends serta Overwatch jadi dua game yang berhasil menciptakan ekosistem liga berbasis investasi lantaran punya nilai pasar dan pembagian hasil yang jumlahnya terus bertambah.
Sejak pertama kali diimplementasikan pada 2017, harga franchise dari game Riot, League of Legends berada pada angka 10 juta dolar Amerika. Liga terbesar League of Legends di Amerika Utara, League Championship Series (LCS) juga sempat menjual satu slot seharga 1,.8 juta dolar Amerika yang dibeli oleh pemilik tim basket Milwaukee Bucks untuk timnya, Flyquest.
Dilansir Sport Business Journal, Jarred Kennedy, kepala esports dari Riot Games mengatakan bahwa angka ini bakal kembali dalam jangka waktu tiga tahun setelah media deal serta pendapatan rangkaian turnamen.
Di sisi lain, Activision dan Blizzard yang menggelar Overwatch League (OWL) untuk game first person shooter mereka, Overwatch, menjual harga waralabanya di angka 20 juta dolar Amerika. Mereka bahkan membatasi revenue sharing hingga 2021 sejak digelar pada 2018 lalu.
Meski musim pertama mereka dipenuhi kontroversi, pada 2019 ini harga satu slot di OWL diprediksi mencapai angka 60 juta dolar Amerika. Delapan tim termasuk Vancouver Titans dan Toronto Defiant membeli slot ini pada musim kedua OWL.
Di musim kedua, Blizzard membagi wilayah OWL menjadi dua divisi, Atlantik dan Pasifik. Pesisir Barat Amerika dan Kanada bakal bertemu dengan tim Asia sementara Pesisir Timur Amerika Utara bakal bertemu tim besar di Eropa. Dengan harga franchise yang sangat besar ini, pada 2020 Blizzard bakal membuatkan stadion untuk 20 tim yang berlaga di Overwatch League.
Besarnya harga franchise league dari OWL ini bisa ditutupi dengan partisipasi banyak investor. Kebanyakan tim yang berlaga punya sokongan dana dari pemilik tim olahraga hingga perusahaan game terkenal, seperti NetEase dengan tim Shanghai Dragons. Beberapa dari pemilik tim ini tentu tahu nilai turnamen dan jangka investasi di dalamnya.
***
Banyak tantangan yang harus dihadapi Moonton dengan sistem franchise league MPL Season 4. Kesiapan mereka untuk menjalankan liga patut dipantau. Mereka juga harus meyakinkan komunitas bahwa liga investasi adalah sistem yang benar-benar mampu menjangkau semua kalangan.
Siapa tahu, Moonton ternyata juga sudah punya rencana untuk merangkul tim amatir supaya bisa berkompetisi di ajang bergengsi esports Mobile Legends ini. Mungkin saja nantinya ada sistem "divisi" sebagaimana konsep liga dalam sepak bola.
Sekali lagi, niatan Moonton untuk menerapkan franchise league patut diapresiasi. Terlebih jika hal tersebut benar-benar sesuai dengan tujuan mereka untuk mendewasakan ekosistem esports di Indonesia. Semua balik lagi ke Moonton sebagai penyelenggara untuk dapat menjalankan kompetisi dengan sebaik-baiknya.
Bagaimana tanggapan kalian soal MPL Season 4? Apakah memang sekarang memang waktu yang tepat untuk menjalankan kompetisi berbasis franchise league, ataukah masih terlalu dini? Ikuti terus perkembangan terbaru dari dunia Mobile Legends serta pembahasan menariknya cuma di KINCIR!