– Jumlah pemain Dota 2 makin berkurang seiring waktu.
– Meski punya esports yang megah, nyatanya banyak pemain baru sulit memahami game ini.
Bagi para pemainnya, Dota 2 bukanlah sebuah game belaka. Sejak masih dikembangkan sebagai mods di Warcraft III, para pemain bisa dengan bebas memberikan ide kepada para pengembang yang kala itu masih beranggotakan sedikit orang saja. Tanpa komunitas pemainnya, Dota 2 enggak bakal sebesar seperti sekarang.
Sejarah game ini begitu panjang dan turut menyumbangkan tren hingga melahirkan genre game baru bertajuk MOBA. Meski sempat dinobatkan sebagai salah satu game berpengaruh, nyatanya game ini mengalami struggling untuk merengkuh pemain baru dan berangsur kehilangan pemain setianya.
Nah, penasaran bagaimana komunitas pemain Dota 2 lahir dan berkembang serta masalah apa yang membuat komunitas ini terancam keberadaannya? Yuk, simak baik-baik penuturan KINCIR berikut ini!
Komunitas Online yang Mandiri
Usia DotA Allstars bisa dibilang panjang umur. Dikembangkan pertama kali oleh Eul (juga pencipta League of Legends) sejak 2002, mods ini sangat laris di game Warcraft III. Alhasil, dari ribuan karya komunitas di game tersebut, DotA menjadi yang paling laris dan diunduh lebih dari ribuan kali oleh banyak pemain. Untuk selanjutnya, banyak nama pencipta yang masuk mengembangkan DotA seperti Pendragon, Aghanim, hingga yang terakhir memegangnya adalah seorang dengan sebutan IceFrog.
Butuh usaha yang keras jika pemain ingin memainkan DotA selain meng-install Warcraft III. Karena Blizzard enggak menyediakan server khusus, alhasil komunitas membuat sendiri layanannya di masing-masing negara. Meski begitu, distribusi mods ini dikendalikan oleh para penciptanya melalui situs DotA Allstars.
Uniknya, di situs tersebut pemain bisa secara langsung membuka forum dan berkomunikasi dengan para developer. Mulai dari memberikan sugesti item hingga Hero baru yang menurut mereka layak dimasukkan ke dalam permainan. Model seperti ini juga masih dipertahankan di Dota 2 yang memungkinkan pemain bisa memberikan sugesti langsung kepada pengembang lewat laman developer Dota 2.
Pada zaman DotA Allstars, banyak pemain mungkin merasakan hadirnya private server yang dikelola oleh mandiri dari komunitas. Di Indonesia, sebut saja server Indogamers atau penyedia jasa lainnya sering membuatkan server Battle.net yang diakses oleh banyak pemainnya.
Kala itu, belum banyak turnamen esports yang berkembang pesat sehingga skena kompetitif yang dirasakan masih berskala komunitas. “Turnamen warnet”, kira-kira begitu istilahnya untuk menyebut masa periode awal lahirnya komunitas Dota 2 di Indonesia sekitar tahun 2000-an.
Migrasi Besar-besaran ke Steam
Pengembangan Dota 2 sebagai satu judul game sendiri dimulai sejak 2009. Kala itu, salah satu kreatornya bernama Eul sempat mengembangkan League of Legends dan meninggalkan IceFrog untuk memegang kemudi tunggal. Valve, perusahaan game besar yang memiliki platform Steam pun mengajak IceFrog untuk mengembangkan game ini.
Pada mulanya, Dota 2 mendapat banyak kritikan pedas lantaran desain karakter orisinal di dalamnya dinilai jelek. Kala itu, Dota 2 juga hanya bisa diakses lewat pembagian Guest Pass yang sangat terbatas. Pemain yang mendaftar untuk mendapat early access bisa memainkan game ini dan membagikan key kepada 10 orang temannya. Alhasil, hanya orang beruntung yang bisa mengakses Dota 2 sehingga banyak pemain lainnya bertahan di server Battle.Net untuk memainkan “Defense of the Ancient”.
Pada 2011, Valve membuat sensasi dengan mengadakan turnamen esports berhadiah satu juta dolar Amerika untuk Dota 2. Meski game mereka masih dirilis terbatas, akhirnya The International yang diadakan secara tertutup dengan mengundang tim-tim DotA terbaik di seluruh dunia pun digelar dengan megah. Seiring waktu, Dota 2 berhasil mengumpulkan jumlah pemain yang signifikan.
Tercatat di Steam Database, sejak dirilis pada bulan Juli 2012 secara early access, game ini langsung diakses oleh ribuan pemain di seluruh dunia lewat platform Steam. Angka ini terus menanjak hingga akhirnya rata-rata harian pemain Dota 2 mencapai ratusan ribu pemain.
Dota Reborn dan Engine Baru
Pada masa early access, Dota 2 menggunakan framework yang masih kaku. Valve pun menggarap Dota Reborn pada Juni 2015, yakni sebuah engine anyar yang menjadi kerangka baru untuk memainkan Dota 2 menggunakan Source Engine. Selain itu, Dota Reborn juga mengusung Arcade yang mana komunitas bisa turut menciptakan mods di dalamnya.
Setelah dilepas pada September 2015, Dota Reborn ditutup dan akhirnya Dota 2 menggelar update besar. Kurang lebih, rasanya seperti meng-install kembali sebuah game lantaran besar file-nya mencapai 15 GB. Hingga saat ini, framework dan engine inilah yang kini dipakai di dalam game.
Berbeda dengan framework sebelumnya, interface serta tampilan di Dota Reborn mengusung tema dan nuansa dari game Valve lainnya. Di sini, komunitas juga bisa menggelar Channel atau membentuk turnamen sendiri. Fitur sosial dalam interface anyar ini membuat para pemain bisa berinteraksi lebih banyak, seperti menonton turnamen secara langsung di dalam game hingga menikmati sajian gameplay berbeda lewat mods lainnya.
Tahun-tahun Gemilang Dota 2
Dari data jumlah pemain yang terekam di Database Steam, grafik playerbase di game ini sempat menyentuh puncaknya, yakni lebih dari 1,2 juta pemain setiap hari pada 2015 dan 2016. Kala itu, jumlah hadiah The International yang naik setiap tahunnya menyentuh progresi yang sangat mencengangkan. Dimulai dari angka 1 juta dolar di 2012, The International 2016 menyentuh angka 20 juta dolar Amerika.
Dalam kurun waktu empat tahun saja, naiknya jumlah hadiah ini tentu menandakan antusiasme pemain. Pasalnya, angka tersebut juga turut disumbang oleh pemain yang membeli Battle Pass dan menyumbangkan 75% uangnya untuk gelaran ini. Setiap tahun, angka hadiah The International selalu naik dan membuktikan bahwa komunitas merayakan skena kompetitif di dalamnya.
Angka yang sama dan lonjakan ini turut berlaku juga di Twitch. Terlihat di Steam Database jika setiap tahunnya, jumlah pemain akan melonjak di musim The International yang jatuh pada bulan Juli maupun Agustus. Sayangnya, selepas 2016, angka jumlah pemain di Dota 2 mulai mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Ancaman Game Lain dan Perubahan Drastis di Dota 2
Anehnya, angka penurunan jumlah pemain enggak disebabkan oleh gameplay yang lesu. Malah, jumlah penurunan terlihat kala update besar-besaran masuk ke Dota 2. Selepas sukses menggelar The International 2016, Dota 2 mengumumkan update besar bertajuk “The New Journey” dan menandai patch note 7.00 yang sangat ambisius.
Setelah lima tahun sejak dikembangkan, Dota 2 berusaha melahirkan sistem baru bertajuk Talent Tree yang akhirnya membuat setiap Hero mendapatkan tambahan status hingga mendukung gaya bermain baru. Misalnya, Hero support bisa dikembangkan menjadi core dengan memilih Talent yang lebih agresif. Meta seperti ini dinilai groundbreaking dan akhirnya membuat draft di dalam game jadi lebih beragam.
Meski update besar ini sangat menarik dari segi gameplay, nyatanya statistik pemain berkata lain. Dari grafik Steam Database, Sejak 2017, Dota 2 kehilangan hampir setengah jumlah pemain hariannya. Pada 2018, angka pemain harian Dota 2 menyentuh 640 ribu pemain saja. Terlebih, di 2019, ketika Valve merilis update besar bertajuk The Outlanders, jumlah pemain Dota 2 enggak bisa mencapai angka 800 ribu pemain setiap harinya.
Enggak hanya sederet perubahan yang dinilai terlalu drastis, nyatanya Dota 2 mendapat banyak ancaman dari hadirnya banyak game dan genre baru. Sejak Playerunknown's Battle Grounds (PUBG) dirilis di Steam pada 2017, game tersebut mendapat popularitas sangat tinggi.
Belum lagi, game bertema MOBA dirilis di platform mobile dan menjadi trending sejak 2016. Salah satu yang cukup signifikan tentunya merupakan Mobile Legends yang sangat populer di Indonesia dan merengkuh jumlah pemain hingga tiga juta orang di 2018. Angka ini belum termasuk pencapaian game lainnya seperti Vain Glory serta Arena of Valor yang sangat populer di Tiongkok.
Di sisi lain, rival mereka yakni League of Legends justru mendapatkan jumlah pemain yang lebih stabil. Dilansir PC Games pada 2019, Riot Games melaporkan jika jumlah pemain rata-rata mereka mencapai angka delapan juta. Tahun lalu, mereka berhasil mengumpulkan hingga seratus juta pemain. Meski angka prize pool gelaran League Worlds Championship enggak sebesar The International, skena esports mereka berhasil tampil megah lewat musim liga tahunan yang dikelola dengan sangat baik.
Dota 2 Susah Rangkul Pemain Baru
Pada 2019 dan 2020, jumlah pemain Dota 2 semakin menunjukan angka yang memprihatikan. Salah satu hal yang membuatnya kekurangan jumlah pemain adalah kenyataan bahwa game ini enggak ramah bagi pemula. Belum lagi komunitas pemain juga sangat toxic sehingga enggak jarang para pemain baru merasa tersisihkan. Enggak hanya pemain congkak, banyak juga pemain smurf alias orang berpengalaman yang memakai profil rendah untuk mem-bully para pemain anyar.
Dibanding MOBA lainnya seperti League of Legends, Dota 2 punya tingkat kompleksitas yang lebih tinggi. Semua berkat update baru yang nyatanya makin membuat game ini sangat distingtif. Enggak hanya bagi para pemain lama, nyatanya pemain baru sangat kesulitan untuk mengikuti gaya main yang terus berubah seiring waktu ini.
Selepas The Outlanders, ada 116 Hero di Dota 2. Jumlah ini memang lebih sedikit ketimbang League of Legends yang punya sekitar 148 Champions. Namun, Dota 2 mengusung kemampuan Hero yang begitu kompleks. Selain item yang disematkan kepada Hero, kini ada 66 neutral items yang juga harus dihafalkan oleh pemain. Untuk bisa menguasainya, bisa jadi seseorang butuh ratusan jam bermain karena satu pertandingan Dota 2 umumnya punya rata-rata durasi hingga 40 menit.
Enggak hanya dari permainannya, Dota 2 juga mengusung Ranked Mode yang sangat sulit untuk dipanjat. Setiap kemenangan hanya dihargai 25 poin. Dari sistem medal yang mereka usung, butuh sekitar 1.000 poin untuk memanjat Ranked Mode. Artinya, butuh 40 kemenangan beruntun jika pemain ingin mendapatkan medali yang lebih tinggi. Jika memahami gamenya saja enggak mudah, bisa bayangkan bagaimana jadinya para pemula jika berniat ingin memanjat tangga Ranked?
Dengan model permainan yang sangat sulit, para pemula butuh lebih dari niat yang bulat jika ingin belajar Dota 2. Rasanya, butuh keajaiban jika komunitas pemain Dota 2 bisa kembali berkembang. Jika minat pemain baru sangat sulit dibentuk, bukan enggak mungkin jika umur game ini bakal pendek. Hal ini akan berujung pada masalah regenerasi pemain baru yang akan menghantui komunitas dalam beberapa waktu ke depannya.
***
Seperti yang peribahasa bilang, “hidup segan mati tak mau”, rasanya hal ini sangat pantas dikatakan kepada Dota 2. Setelah melalui perjalanan panjang untuk mengembangkan ekosistem yang menarik bagi pemainnya, kini mereka tersandung kemampuan untuk mencuri perhatian pemain baru. Akankah komunitas pemain Dota 2 bertahan menghadapi gameplay yang terus berubah secara dratis?
Skena kompetitif Dota 2 memang sangat megah. Sayangnya panggung ini sangat berjarak bagi pemain pemula. Butuh ratusan bahkan mungkin ribuan jam main untuk bisa menguasai game ini dan karenanya, enggak banyak pemain baru yang berani berkomitmen. Di masa depan, tampaknya regenerasi pemain bakal menjadi ancaman yang besar dan karenanya bisa membuat game ini jadi mati kutu.
Apakah kalian juga pemain Dota 2 yang merasakan hal sama? Jangan sungkan untuk bagikan kesan dan mungkin pesan yang bisa kalian bagikan di kolom komentar bawah, ya! Terus ikutin juga berita seputar game dan tulisan menarik lainnya hanya di KINCIR.