5 Dosa Besar EA Sports Ketika Membuat Game Olahraga

Electronic Arts sebagai salah satu publisher game ternama, memiliki beberapa divisi yang khusus untuk membuat berbagai game dari segala genre. Mereka memiliki sebuah divisi khusus untuk mengembangkan serta mem-publish game olahraga yang mereka beri nama EA Sports.

EA Sports telah merilis berbagai judul game olahraga yang cukup populer dan meraup banyak sekali keuntungan. Namun di balik semua itu, Electronic Arts dan EA Sports memiliki catatan kelam yang membuat mereka mendapat cap sebagai salah satu perusahaan terburuk di Amerika Serikat.

Beberapa waralaba andalan mereka seperti FIFA, Madden, UFC, dan kini Formula 1 kerap mendapat kritik tidak hanya dari para kritikus, tetapi juga dari para pemain game itu sendiri. Perusahaan asal Amerika Serikat tersebut terbilang sering mengecewakan penggemarnya, akibat game-game mereka yang tidak sesuai ekspektasi orang-orang.

Ternyata masih banyak dosa-dosa yang EA Sports lakukan selama mereka mengembangkan game olahraga. Penasaran? Simak artikel KINCIR berikut ini!

Dosa yang EA Sports buat selama mengembangkan game olahraga

1. Monopoli lisensi berbagai jenis olahraga

EA Sports kerap kali memonopoli lisensi berbagai game olahraga.
EA Sports kerap kali memonopoli lisensi berbagai game olahraga. Via Istimewa.

Sebagai salah satu perusahaan game terbesar, EA Sports tidak segan-segan untuk menggelontorkan uang dengan jumlah besar untuk mengambil lisensi demi mendapat hak untuk membuat game olahraga. Melansir sportsbusinessjournal, EA Sports mengeluarkan uang sebesar US$85 juta atau setara dengan Rp1,2 triliun supaya menjadi partner eksklusif dari Premier League.

Kerja sama tersebut membuat game sepak bola lain seperti Football Manager atau Pro Evolution Soccer tidak boleh menggunakan nama Premier League. Tidak hanya itu, EA Sports juga memegang kontrak eksklusif dengan NFL yang membuat perusahaan lain tidak boleh membuat game American Football yang berhubungan dengan NFL.

Berkat monopoli yang EA Sports lakukan, penggemar Premier League atau NFL tidak memiliki alternatif untuk memainkan game selain game buatan EA Sports tersebut.

2. Merilis game yang masih banyak bugs

Sadar tidak adanya alternatif untuk memainkan game olahraga, EA Sports nampak setengah hati dalam mengembangkan game-game buatan mereka. Banyak sekali game mereka yang rilis ke pasaran, namun masih memiliki bug dan glitch yang mengganggu.

Beberapa di antaranya bahkan merupakan aturan-aturan yang sangat mendasar dari tiap-tiap olahraga. Misalnya dalam game FIFA, seorang kiper masih tidak bisa mendapat kartu merah dalam pertandingan online yang kompetitif. Contoh lainnya dalam game F1 22, peraturan tentang Red Flag masih belum bisa mereka implementasikan.

Itu masih soal aturan-aturan dasar olahraga yang mereka gagal terapkan. Masih banyak juga bugs dan glitch lain yang sangat mengganggu, seperti misalnya bola yang bisa menembus kaki pemain dalam game FIFA.

3. Fitur single player yang minim inovasi

EA Sports sering mengabaikan fitur-fitur single player yang mereka miliki.
EA Sports sering mengabaikan fitur-fitur single player yang mereka miliki. Via Istimewa.

Tidak hanya merilis game yang masih memiliki bug atau glitch, EA Sports juga terkenal sering mengabaikan fitur single player dalam game buatan mereka. Dari tahun ke tahun, fitur seperti Career Mode dalam berbagai game olahraga buatan mereka jarang memiliki inovasi yang berarti.

Misalnya saja fitur Career Mode dalam game FIFA 19 yang terbilang sama persis dengan apa yang ada dalam game FIFA 18. Kemudian fitur Driver Career dalam game F1 2021 juga sama persis dengan yang ada dalam F1 22.

4. Mikrotransaksi dan sistem pay-to-win yang kental

game-game olahraga terkenal memiliki unsur pay-to-win yang kental
game-game olahraga terkenal memiliki unsur pay-to-win yang kental Via Istimewa.

Salah satu alasan mereka mengabaikan berbagai fitur single player adalah keuntungan luar biasa yang mereka dapatkan dari fitur-fitur online buatan mereka. Misalnya saja fitur seperti FIFA Ultimate Team dan Madden Ultimate Team yang membuat mereka untung besar. Semua berkat adanya sistem mikrotransaksi yang kental.

Kehadiran mikrotransaksi tentunya membuat kedua fitur tersebut sangat pay-to-win, tidak hanya untuk pemain biasa melainkan juga untuk para pro player yang bertanding secara kompetitif. Melansir Dexerto, seorang pemain profesional FIFA bernama Ivan Lapanje mengaku jika ia harus menghabiskan setidaknya Rp25 juta agar bisa bersaing dalam turnamen esports game tersebut.

5. Server yang lambat dan sering disconnect

Meskipun meraup banyak keuntungan dari mikrotransaksi, namun server yang terdapat dalam berbagai game buatan EA Sports masih jauh dari kata layak. Banyak sekali pemain yang mengeluhkan jika server EA terasa sangat lambat. Mereka merasakan adanya delay yang sangat besar dari saat tombol ditekan sampai pemain bergerak di layar ketika bermain online.

Belum lagi adanya kasus server EA yang sering disconnect ketika berada di tengah-tengah pertandingan. Sudah banyak pemain FIFA atau Madden yang harus dianggap kalah dalam sebuah pertandingan, lantaran server EA yang sering disconnect walaupun koneksi internet dari sang pemain terbilang lancar dan tidak ada masalah.

***

Sukses secara komersil, ternyata tidak menjamin jika game yang EA Sports kembangkan memiliki kualitas yang bagus. Sudah banyak kejadian-kejadian yang membuktikan jika EA Sports kerap kali mengecewakan penggemarnya, dan lima alasan di atas hanyalah segelintir dari dosa-dosa yang EA Sports sering perbuat.

Jangan lupa untuk terus kunjungi KINCIR untuk mendapatkan informasi terbaru seputar video games dan esports ya!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.