Pada tahun 1950-an, impian perempuan untuk menjadi ilmuwan ditentang oleh masyarakat yang menganggap perempuan hanya berhak berada di ranah domestik. Elizabeth Zott menerima pekerjaan di program acara memasak di televisi dan bertekad untuk mengajar bangsanya yang banyak ibu rumah tangganya terabaikan lebih dari sekadar resep.
Premis Lesson in Chemistry yang tertulis di IMDb tersebut di atas menjadi pemahaman awal bagaimana miniseri ini menjadi berbeda dan tak sekedar segar dan menarik. Keterlibatan Brie Larson yang memenangkan Oscar di tahun 2016 untuk perannya dalam Room sebagai produser eksekutif dan aktris utama dalam miniseri ini juga membuat episode demi episodenya ditunggu-tunggu.
Dua episode perdana Lesson in Chemistry mengudara di Apple TV pada 13 Oktober lalu.
Review Serial Lesson in Chemistry (2023)
Duo Elizabeth mendobrak kesetaraan perempuan
Tahun 1833, setelah menyelesaikan sekolahnya, Elizabeth Cady memutuskan menemui sepupunya, Libby Smith. Pamannya, ayah Libby, seorang abolisionis yang percaya bahwa seseorang harus diperlakukan setara dan tidak ada manusia yang bisa mengendalikan sesamanya.
Elizabeth lantas bergabung dalam kelompok abolisionis yang mempertemukannya dengan suaminya kelak, Henry Stanton. Berkat Henry, Elizabeth semakin berani menyuarakan pemikirannya soal kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Elizabeth lantas dipertemukan pula dengan sesama aktivis perempuan, Lucretia Mott dan Susan B Anthony. Ketiganya akhirnya menjadi simbol diawalinya sebuah gerakan feminisme yang lantas bergemuruh berpuluh tahun setelahnya.
Tapi perjuangan ini adalah perjuangan tanpa henti. Memerlukan energi luar biasa besar, memerlukan edukasi yang terus menerus dilakukan dan terutama mengubah mindset dari para laki-laki sendiri untuk menghargai keberadaan perempuan.
Para laki-laki terdidik pun di masa itu terbiasa meremehkan perempuan. Seorang pemikir yang dikagumi, Jean Jacques Rosseau, bahkan pernah berpendapat bahwa “seorang perempuan yang cerdas (yaitu pandai bicara) merupakan bencana bagi suami, anak-anak, handai taulan, pembantunya dan seluruh dunia. Dan karena terangkat oleh nilai kecerdasannya, kaum perempuan enggan membungkukkan diri melakukan tugas-tugasnya dan ini pasti mengawali konflik dengan laki-laki.”
Lebih dari 100 tahun kemudian, Elizabeth Zott masih terperangkap dalam pemikiran yang sama oleh laki-laki terhadap perempuan. Akirnya ia mencari cara keluar dari perangkap stereotype itu.
Bagaimana keberadaan perempuan dalam ilmu pengetahuan?
Berbeda dengan Elizabeth Cady Stanton, sosok Elizabeth Zott adalah karakter fiksi dari novel berjudul Lesson in Chemistry. Novel yang ditulis mantan direktur kreatif sebuah agensi iklan, Bonnie Garmus, ini terbit pada 2022. Premisnya yang menarik langsung menarik perhatian peraih Oscar, Brie Larson, yang lantas mengambil alih hak adaptasinya menjadi miniseri berjudul sama.
Lesson in Chemistry yang tayang di Apple TV dengan mudah menarik perhatian karena isunya yang memperlihatkan bagaimana seorang perempuan dengan latar belakang studi kimia mencampurbaurkan ilmunya dengan keterampilan memasak. Begitu menelisik lebih jauh ke dalam, kita akan semakin jatuh cinta karena kisah ini begitu kompleks dengan beragam isu dari soal kesetaraan perempuan, kekerasan seksual dan terutama bagaimana sesungguhnya keberadaan perempuan dalam ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1950-an tak cukup banyak sosok perempuan yang menjadi ilmuwan. Hanya satu nama yang muncul di kepala: Marie Curie. Dialah perempuan pertama yang memenangkan hadiah Nobel, bahkan bisa dimenangkannya hingga dua kali. Marie dikenal luas setelah berhasil menemukan unsur radium dalam kimia.
Elizabeth Zott mencoba mengikuti jejak Marie. Ia tak pernah berusaha tampak menonjol sebagai seorang perempuan. Ia tak gemar bersolek, membiarkan dirinya apa adanya. Ia tak gemar bersosialisasi dan menjatuhkan dirinya ke timbunan pekerjaan. Dan ia mendedikasikan waktunya sepenuhnya untuk ilmu pengetahuan.
Sebagaimana Elizabeth Cady yang beruntung bertemu dengan Henry Stanton yang mendukungnya, Elizabeth Zott juga beruntung bertemu dengan Lewis Pullman. Lewis adalah seorang laki-laki yang menghargainya sebagai seorang kolega, bukan sebagai asisten yang hanya bertugas membuatkannya kopi di laboratorium atau mengurusi segala tetek bengek yang tak ada hubungannya dengan penelitiannya yang dikerjakannya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Elizabeth merasa dihargai. Untuk pertama kalinya ia melihat perempuan dalam gerbong masa depan ilmu pengetahuan. Akhirnya memang ia tak hanya berbagi kecintaan pada ilmu pengetahuan dengan Lewis, keduanya pun saling mencintai. Untuk pertama kalinya, berkat Lewis, Elizabeth tahu keberadaan dan posisinya dalam ilmu pengetahuan.
Dinding patriarki dan trauma
Tapi hidup memang penuh misteri. Ternyata Elizabeth masih harus terus menatap dinding tinggi yang sama. Dinding patriarki itu masih berdiri kokoh di hadapannya dan terasa mustahil diterobosnya. Brie Larson yang memerankan Elizabeth memberi kedalaman dimensi bagi karakter tersebut ketika kita melihat hidupnya bisa terjungkir balik seketika hanya dalam semalam.
Di satu saat ia begitu optimis dengan masa depannya dalam ilmu pengetahuan, keesokan harinya optimisme itu bisa musnah begitu saja bak ditiup angin puyuh. Tak berbekas sedikitpun. Brie yang juga menjadi produser eksekutif dari miniseri ini memberi kita keleluasaan untuk melihat banyak hal di balik dinding patriarki, juga di balik dinding tebal yang dibangun Elizabeth. Sebuah dinding bernama trauma.
Elizabeth hidup di masa ketika kebanyakan perempuan dipandang sebagai obyek dan sebagian besar diantara mereka pun tak merasa keberatan. Ada masa dimana Elizabeth yang memang berwajah cantik diperlakukan tak senonoh oleh dosennya sendiri.
Ada masa ketika Elizabeth merasa tak berdaya dengan perlakuan itu dan memilih membangun dinding tinggi bernama trauma selama bertahun-tahun. Ada masa dimana Elizabeth tak pernah nyaman dengan pintu ruangan yang tertutup dan selalu merasa seakan-akan monster bernama laki-laki selalu bisa menerkamnya kapanpun.
Bayangkan kita adalah Elizabeth yang hidup di tengah-tengah dinding patriarki dan dinding trauma. Tentu saja kita memahami bagaimana sesaknya Elizabeth sewaktu-waktu terhimpit di dua dinding tinggi ini. Dan bagaimana Elizabeth mencoba berkelit agar tak terus terjepit di tengah-tengahnya. Pada suatu masa, tak banyak pilihan untuk perempuan namun Elizabeth akhirnya memilih berdiri tegak memperjuangkan dirinya sendiri.
Ketika kimia dan masakan bertemu di dapur
Salah satu faktor paling menarik dari Lesson in Chemistry adalah bagaimana karakter utamanya mencoba memadukan ilmu kimia yang dikuasainya ke dalam berbagai resep masakan yang memang selalu diujicobanya setiap malam. Dalam sebuah kesempatan, Elizabeth bahkan mencoba menguji salah satu resep masakan hingga 78 kali!
Tahun lalu kita sempat memirsa serial Julia yang tayang di HBO. Serial tersebut kembali memperlihatkan sosok perempuan perintis, Julia Child, yang memperkenalkan masakan Prancis melalui acara memasak yang diasuhnya di televisi. Julia membuat kita percaya bahwa program masak-memasak di televisi bisa disajikan dengan sederhana dan menghibur. Tanpa kompetisi, tanpa drama, tanpa bumbu-bumbu yang sejatinya kurang perlu.
Sejatinya bumbu yang diperlukan dalam program masak-memasak hanyalah kecintaan kita pada esensi memasak. Bahwa masakan bukan cuma sekedar makanan untuk menghilangkan rasa lapar kita. Tapi masakan juga tentang diplomasi, tentang budaya dan juga tentang bagaimana kita menghargai apa yang diberikan bumi. “Food is everything we are. It’s an extension of nationalist feeling, ethnic feeling, your personal history, your province, your region, your tribe, your grandma. It’s inseparable from those from the get-go, ” kata Anthony Bourdain.
Berbeda dengan Julia, Elizabeth menggunakan acara memasak di televisi bukan sekedar sebagai sarananya mencari nafkah. Ia juga menggunakannya sebagai salah satu bentuk “silent revolution”: mempengaruhi perempuan untuk menggunakan kapasitasnya untuk berubah.
Dengan jargonnya “chemistry is change”, Elizabeth menggunakan platform yang dimilikinya agar perempuan menyadari bahwa mereka bisa lebih dari sekedar seorang istri dan seorang ibu. Bahkan mereka bisa menjadi apapun yang mereka inginkan.
Dalam novelnya, Bonnie Garmus menggunakan mulut Elizabeth untuk meneriakkan soal perubahan. Sesuatu yang dirasakan darurat dan krusial untuk terjadi di tahun 1950-an.
“Kapan pun kamu merasa takut, ingatlah. Keberanian adalah akar dari perubahan – dan perubahan adalah hal yang secara kimiawi dirancang untuk kita lakukan. Jadi ketika Anda bangun besok, buatlah janji ini. Tidak perlu lagi menahan diri. Tidak perlu lagi mengikuti pendapat orang lain tentang apa yang bisa dan tidak bisa Anda capai. Dan tidak lagi mengizinkan siapa pun untuk memasukkan Anda ke dalam kategori jenis kelamin, ras, status ekonomi, dan agama yang tidak berguna. Jangan biarkan bakatmu terbengkalai wahai perempuan. Rancang masa depanmu sendiri. Saat Anda pulang hari ini, tanyakan pada diri Anda apa yang akan Anda ubah. Lalu mulailah.”
Lebih dari 70 tahun kemudian, sejumlah perempuan masih terperangkap di tengah himpitan dinding patriarki dan trauma. Semoga mereka kelak bisa berkelit keluar dari himpitan itu dan bangkit berdiri tegak.