Nanti Kita Cerita Tentang Festival Film Indonesia

Nanti Kita Cerita Tentang Festival Film Indonesia

10 November 2011 menjadi bukan sekedar peringatan Hari Pahlawan bagi penggiat film Indonesia. Pada tanggal itu, Usmar Ismail resmi ditahbiskan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo, sebuah gelar yang selayaknya diperolehnya berpuluh tahun sebelumnya.

Nama Usmar tak bisa dilepaskan dari kehadiran Festival Film Indonesia yang diselenggarakan pada trimester akhir setiap tahunnya. Sebuah perayaan yang bisa digunakan untuk melihat kembali pencapaian film Indonesia dalam setahun terakhir. Tahun lalu untuk pertama kalinya ada film nasional berjudul KKN di Desa Penari yang ditonton hingga 10 juta orang. Tahun lalu juga bioskop Indonesia bisa membanggakan diri sebagai tuan rumah di negeri sendiri dengan pencapaian penjualan tiket sekitar 61%. 

Pada tahun 1955, Usmar Ismail menggandeng Djamaluddin Malik menyelenggarakan Festival Film Indonesia pertama. Festival ini diselenggarakan di rumah dinas Walikota Jakarta Raya. Niatnya sederhana dan tulus: mempersatukan para produser film dan menjadi ajang tertinggi bagi insan perfilman Indonesia sebagaimana dikutip dari website resmi Festival Film Indonesia.

Terdapat 12 film yang bertarung di edisi perdana ini: Harimau Tjampa (Perfini), Krisis (Perfini), Lewat Djam Malam (Perfini dan Persari), Tarmina (Persari), Antara Tugas dan Tjinta (PFN), Pulang (PFN), Rentjong dan Surat (GAF Sang Saka), Djakarta di Waktu Malam (Tan & Wong), Burung Merpati (Canary), Rela (Garuda), Debu Revolusi (Ratu Asia), dan Belenggu Masjarakat (Raksi Seni).

Tapi sejak awal penyelenggaraannya, Festival Film Indonesia memang sudah diwarnai kontroversi. Di edisi perdana tersebut terpilih 2 film sekaligus sebagai Film Terbaik yaitu Lewat Djam Malam dan Tarmina. Tapi yang paling menyolok bisa jadi ketika terpilihnya Lilik Sudjio sebagai Sutradara Terbaik untuk Tarmina. SM Ardan dalam bukunya Setengah Abad Festival Film Indonesia (2004) menuding ada campur tangan Djamaluddin yang tak lain adalah produser film Tarmina.

Dan berpuluh tahun setelahnya, kita lantas mafhum bahwa nama Festival Film Indonesia sinonim dengan kontroversi. Tapi untuk apa?

Lahirnya Festival Film Indonesia

Djamaludin Malik, Usmar Ismail dan Budiardjo, menteri penerangan 1968-1973

Cikal bakal lahirnya Festival Film Indonesia dimulai pada tahun 1954. Saat itu Djamaluddin Malik bersama Usmar Ismail mendirikan Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) dan mengajak organisasi tersebut untuk bergabung dengan Federasi Produser Film se-Asia. Hal ini bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat film Indonesia di tingkat internasional.

Dalam tulisannya berjudul Pelopor Festival Film Indonesia yang dipublikasikan di Republika Online pada 20 Desember 2005, Alwi Shihab menulis ada sejumlah hal yang juga menjadi kegundahan dari Usmar dan Djamaluddin sehingga menganggap kehadiran Festival Film Indonesia menjadi sebuah keniscayaan. Pada tahun 1955 nasib perfilman nasional dianggap cukup mengkhawatirkan. Ada sejumlah penyebab penting yang dianggap sebagai pemicu. Film Indonesia kala itu menghadapi persaingan cukup berat dari film Malaya (kini Malaysia). Kemudian digantikan dengan maraknya film India yang menyedot penonton kelas menengah ke bawah. Sementara bioskop-bioskop kelas satu menolak memutar film-film nasional dan dimonopoli film-film dari Amerika Serikat.

Oleh majalah Sunday Courier terbitan 13 April 1955 lantas terungkap bahwa tujuan utama penyelenggaraan festival adalah untuk mengembangkan usaha-usaha seni film di Indonesia. “Tudjuan daripada terutama festival film Indonesia ini tidak lain ialah untuk memperkembangkan usaha-usaha seni film di Indonesia dan jang terpenting ialah untuk meningkatkan nilai-nilai seni film-film Indonesia.”

FFI dan PKI

Pada tahun 1960-an, perfilman Indonesia terpecah menjadi 2 kubu: kubu yang dikomandoi Usmar Ismail dkk dan kubu lainnya yang disebut-sebut beraliran kiri. Dan penyelenggaraan Festival Film Indonesia yang kedua pun kembali diwarnai kontroversi. Film Pedjuang karya Usmar Ismail harus takluk pada film Turang besutan Bachtiar Siagian. Sutradara kelahiran Binjai, Sumatera Utara, itu merupakan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan yang dianggap dekat dengan Partai Komunis Indonesia.

Usmar pun menyatakan kekecewaannya melalui tulisan panjang berjudul Masa Pra Gestapu: Sedjarah Hitam Perfilman Nasional yang dipublikasikan dengan nama samaran SM Ameh di Sinar Harapan edisi 6 Oktober 1970. “Tahun 1964-1965 adalah masa hitam bagi perfilman nasional. Dunia film dipecah menjadi dua blok yang akibatnya sekarang pun masih idrasakan, karena justru pada masa sesudah 30 September 1965, perpecahan itu telah dieksploitasi oleh pihak-pihak tertentu untuk memenangkan kebijakan di bidang film. Sampai saat sekarang pun, orang-orang yang benar-benar berjuang di atas rel Pancasila pada waktu pra-Gestapu masih merasakan perlunya kena ganyang orang-orang PKI dan antek-anteknya yang notabene dewasa ini ada lagi yang tampil ke depan dengan segala gaya, seolah-oah tak terjadi apa-apa, “ sebagaimana dikutip dari Cinema Poetica.

FFI Versus Film Jiplakan

Festival Film Indonesia juga pernah diterjang isu seputar jiplakan. Pada FFI tahun 1981 ditetapkan film berjudul Perempuan Dalam Pasungan karya Ismail Soebardjo sebagai Film Terbaik. Namun ternyata beberapa bulan kemudian terbongkar isu seputar film tersebut adalah jiplakan dari film Mandarin. Sebagaimana dikutip dari Antara News edisi 23 November 2010, seorang wartawan melaporkan bahwa Perempuan Dalam Pasungan tak lain adalah jiplakan dari film Mandarin berjudul Perempuan Muda, 18 Tahun Dalam Kurungan.

Padahal film ini tercatat sebagai film layar lebar pertama yang menggambarkan tradisi suku Jawa kuno yang akan memasung orang yang dianggap mengalami gangguan kejiwaan, walaupun orang tersebut adalah anggota keluarga mereka sendiri. Tradisi pasungan ini sendiri telah dilarang untuk dijalankan di Indonesia sejak tahun 1976

Perempuan Dalam Pasungan juga mendapat special acknowledgement di Berlin International Film Festival tahun 1981. “Sebuah prestasi tersendiri karena jalan ceritanya yang menarik dan unik. Ketika mengikuti Festival Fim Berlin 1981 mendapat spesial ‘acknowledgement’ sebagai film dengan konten budaya tradisional,” kata sang sutradara Ismail Soebardjo sebagaimana dikutip dari Republika.

Dalam laporan Festival Film Indonesia yang diterbitkan Departemen Penerangan RI tahun 1983, sutradara Arifin C Noer mengungkapkan pandangannya soal film jiplakan. “Khusus mengenai jiplakan, saya tidak membela yang menjiplak. Tapi saya harus mengatakan, bagaimanapun itu adalah masalah etis. Saya setuju suatu karya seni: apakah itu film, puisi, cerpen bahkan novel, kadang-kadang lahir dari pengaruh inspirasi-inspirasi dan ide-ide sebuah karya yang lain. Masalahnya, mbok ya (kalau orang Jawa bilang), sebaiknya sumber inspirasi atau sumber idenya itu dicantumkan, jadi itu masalah etika saja.”

FFI Versus Penggunaan Musik Ilegal

Pada 9 Januari 2007 produser film, Mira Lesmana dan penulis/penggiat budaya sekaligus salah satu juri FFI 2006, hadir di program Liputan 6 Pagi yang disiarkan SCTV. Kehadiran Mira mewakili Masyarakat Film Indonesia menjadi follow up dari dikembalikannya sekitar 30 Piala Citra sebagai bentuk protes atas kemenangan Ekskul sebagai Film Terbaik FFI 2006. Masyarakat Film Indonesia juga berhasil menghimpun ribuan tanda tangan dukungan dari penggiat film Indonesia. Saya salah satu yang ikut menandatangani.

Para sineas memprotes kemenangan Ekskul bukan karena rasa iri namun karena kemenangan itu justru mencemari integritas Festival Film Indonesia. Pasalnya Ekskul menggunakan ilustrasi musik dari 4 judul film populer secara ilegal (tanpa ijin) yaitu Gladiator (2000) karya Ridley Scott, Munich (2005) karya Steven Spierlberg, Bourne Supremacy (2004) karya Paul Greengrass dan Tae Guk Gi: The Brotherhood of War (2004) karya Je-kyu Kang. “Ini memang entry point kami dan bukan sekedar alat untuk masuk (membenahi sistem perfilman Indonesia),” ujar Mira sebagaimana dikutip dari Liputan 6.

Himawan Pratista dalam tulisannya yang berjudul Eksklul dan Ilustrasi Musik Gladiator yang dipublikasikan di situs Montase Film menjabarkan lebih detil mengenai penggunakan musik yang melanggar hak cipta tersebut. “Suara “vokal” Gladiator setidaknya digunakan beberapa kali. Seperti pada adegan menit-menit awal saat penonton diperlihatkan pertama kali ruang sandera dan beberapa kali ketika Joshua selesai dipukuli teman-temannya. Suara “vokal” Munich terdengar pada adegan ketika seorang guru berkomunikasi dengan Joshua melalui HT. Sementara ilustrasi musik film aksi, Bourne Supremacy, paling sering digunakan dalam film ini. Seperti misalnya ilustrasi musik menghentak pada adegan awal ketika polisi-polisi berloncatan dari truk dan berjaga-jaga di sekitar sekolah, sama persis dengan adegan klimaks dalam Bourne Supremacy ketika adegan kejar-mengejar mobil dalam terowongan.”

Lembaga Badan Pertimbangan Perfilman Indonesia (BP2N) akhirnya mengeluarkan surat keputusan pada 19 Juni 2007 yang menyatakan mencabut kemenangan Ekskul sebagai Film Terbaik FFI 2006. Pencabutan ini sekaligus membatalkan kemenangan 4 Piala Citra yang diraih oleh film tersebut sebelumnya.

FFI dan isu LGBTQ

Salah satu hal yang paling menarik perhatian di Festival Film Indonesia tahun ini adalah masuknya nama Asha Smarra Dara dalam daftar nominasi kategori Pemeran Utama Perempuan Terbaik untuk film berjudul Sara. Bukan karena Asha adalah nama yang terdengar asing di telinga pecinta film Indonesia namun karena Asha menjadi transpuan pertama yang menjebol kategori bergengsi di Festival Film Indonesia. 

Asha terlahir dengan nama Oscar Septianus Lawalata dan sebelumnya lebih dikenal sebagai desainer berbakat. Pada tahun 1999 ia menjadi juara dua dalam ajang Asian Young Fashion Designer Contest. 10 tahun setelahnya ia kembali beroleh pengakuan internasional dalam ajang International Young Creative Entrepreneur yang digelar British Council di London. 

Sesungguhnya Festival Film Indonesia sudah tak asing film-film yang mengusung isu LGBTQ. Pada FFI 1988, film Istana Kecantikan garapan Wahyu Sihombing dinominasikan sebagai Film Terbaik dan Mathias Muchus sebagai pemeran utamanya pulang membawa Piala Citra sebagai Aktor Terbaik.

Lantas pada FFI 2004, Arisan! besutan Nia Dinata membawa pulang 5 Piala Citra dari 11 nominasi termasuk untuk kategori Film Terbaik dan Aktor Terbaik untuk Tora Sudiro dan Aktor Pendukung Terbaik untuk Surya Saputra. Tora dan Surya berperan sebagai pasangan gay dalam film tersebut. 

Lima belas tahun setelah Arisan!, film dengan isu LGBTQ kembali menjadi Film Terbaik. Kucumbu Tubuh Indahku yang mengetengahkan topik menarik seputar penari Lengger Lanang dari Banyumas meraih 8 Piala Citra termasuk untuk Muhammad Khan sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik.

Dikutip dari djakarta.id, Ismail Basbeth sebagai penulis dan sutradara Sara menyatakan bahwa melalui film ini, ia ingin bercerita tentang ingatan-ingatan seorang manusia setelah pergi merantau dan kembali ke rumah, yakni keluarga. “Film ini sangat personal bagi saya. Jika di film Mencari Hilal (2015) itu seputar kehidupan seorang anak dengan ayahnya, di film Sara ini tentang seorang anak dengan ibunya. Dua film ini adalah gambaran saya dengan kedua orang tua. Ide film SARA tercetus ketika saya berada di perantauan dan merasa seolah kehilangan jati diri, kemudian berusaha mencari kembali ketika pulang ke rumah, yakni keluarga saya. Saya ingin menceritakan pencarian tersebut melalui kacamata seorang transpuan bernama Sara di mana ia berusaha menghidupi cerita yang dibuatnya sesuai dengan keyakinan dan pemahamannya atas tubuhnya serta identitasnya sendiri. Untuk apa? Ya untuk mempertahankan hidup dan martabatnya sendiri, termasuk ketika ia harus berhadapan dengan ingatan ibunya yang pudar beserta luka-luka yang dideritanya.”

Ketika menginformasikan seputar nominasi Asha dan identitasnya sebagai transpuan di akun instagram KINCIR sontak kolom komentar riuh. Ratusan omentar yang telah dilayangkan. Sebagian besar diantaranya bernada mencibir, tak sedikit yang menjatuhkan bahkan merisak. 

Ada pertimbangan tersendiri dari Ismail ketika memilih seorang transpuan untuk memerankan transpuan dalam film terbarunya itu. “Banyak teman-teman dekat yang aku ajak konsultasi dan ngobrol. Akhirnya bilang ‘ngga bisa Il, zaman sudah berubah. Jangan sampai yang main transgender itu aktor, ya harus transgender’. Karena aku yang berada di luar komunitas mereka menjadi ngga pas. Buat cegah masalah baru muncul setelah filmnya tayang, “ ujarnya sebagaimana dikutip dari lasak.id 

Academy Awards yang menjadi puncak penghargaan insan film dunia sendiri belum pernah sekalipun memasukkan seorang transpuan dalam daftar nominasi. Ellen Page sempat masuk dalam nominasi tahun 2007 melalui film Juno namun saat itu ia belum bertransformasi menjadi seorang laki-laki. 

Hingga tulisan ini diturunkan belum ada komentar dari Asha terkait pencapaiannya sebagai transpuan pertama yang sukses menjebol nomine Pemeran Utama Wanita Terbaik FFI 2023. 

Dengan segala kontroversi yang melekat pada nama Festival Film Indonesia dari tahun ke tahun, apakah integritasnya sebagai puncak penghargaan tertinggi bagi insan perfilman nasional juga dipertaruhkan? Hanya pecinta film Indonesia yang bisa menjawabnya.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.