Menilik Anomali di Perfilman Indonesia Lewat Budi Pekerti dan Jatuh Cinta Seperti di Film-film

Setelah pandemi berakhir, bioskop Indonesia melakukan rebound yang gemilang. Hingga hari-hari ini kita bisa melihat bahwa layar bioskop tanah air sesungguhnya dikuasai oleh film nasional. Dari catatan Bicara Box Office pada 6 Desember 2023 lalu terpantau showtime di seluruh bioskop masih dipuncaki oleh dua film Indonesia, 172 Days dan Panggonan Wingit. Barulah menyusul di bawahnya Wonka.

Dari data ini juga terbaca bahwa film Indonesia menguasai sekitar 63% layar bioskop di seluruh Indonesia. Tahun ini dari 10 film terlaris ada 4 judul diantaranya adalah film Indonesia. Sewu Dino berada di puncak peringkat box office dengan perolehan 4.886.406 penonton disusul oleh Fast X dengan 4.810.871 penonton dan Transformers: Rise of the Beasts dengan pencapaian 3.551.933 penonton.

Film Indonesia lainnya yang masuk dalam daftar adalah Di Ambang Kematian dengan 3.302.047 penonton, Air Mata di Ujung Sajadah dengan 3.127.671 penonton dan 172 Days dengan 2.520.786 penonton [data per awal Desember 2023].

Begitupun jika mencermati data 16 film Indonesia tahun ini yang berhasil menembus target box office 1 juta penonton; tercatat 11 judul di antaranya bergenre horor. Hanya ada 5 judul non horor yang masuk dalam daftar tersebut yaitu Air Mata di Ujung Sajadah, 172 Days, Petualangan Sherina 2, Ketika Berhenti di Sini ,dan Buya Hamka Vol 1.

Pertanyaan yang muncul sesungguhnya adalah apakah film horor menjamin kelarisan sebuah film dan apakah film non horor masih potensial merebut perhatian penonton di bioskop?

Tidak semua film Horor laku, hingga 7 Desember 2023 setidaknya 101 judul film Indonesia telah dirilis di bioskop dan sekitar 46 judul diantaranya merupakan film horor. Menyimak angka tersebut yang cukup besar dan mendominasi membuat kita bertanya-tanya, apakah film horor memang menjadi jaminan kelarisan sebuah film?

Ternyata tidak juga. Cukup banyak film horor yang juga gagal di box office. Beberapa dari antaranya bahkan beroleh penonton kurang dari 20 ribu. Film horor komedi, Hantu Baru, yang memajang Acha Septriasa cuma beroleh 12.272 penonton, lainnya ada Teman Tidur yang hanya membukukan 18.786 penonton.

Selebihnya sejumlah film horor yang beroleh penonton kurang dari 100 ribu dari antaranya Tasbih Kosong, Jin Qorin, Alena Anak Ratu Iblis, Anak Titipan Setan, Jin & Jun, Janin Iblis Neraka, Tari Kematian, Lantai 4, Kutukan Peti Mati, dan Kutukan Cakar Monyet.

Dengan biaya produksi sekitar 1,5 hingga 2 milyar dibutuhkan setidaknya perolehan 100 ribu penonton untuk balik modal. Jika kurang dari perolehan tersebut dan filmnya pun tak disewa oleh stasiun televisi dan layanan streaming maka potensi kegagalan semakin besar.

Genre drama masih bisa menjual

Air Mata di Ujung Sajadah.
Air Mata di Ujung Sajadah. Sumber: Istimewa

Di balik penguasaan film horor lokal di bioskop tahun ini yang nyaris menyentuh angka 50% maka sesungguhnya justru terbuka peluang bagi penonton dari demografi berbeda. Saya termasuk dalam demografi penonton tersebut yang merasa sangat bosan dengan tampilan film horor lokal yang begitu-begitu saja, juga dengan materi cerita yang sekedar mengulang formula dan tak mencoba lebih inventif. Mungkin ada pula irisan demografi bagi penonton seperti saya
yang menginginkan tontonan berbeda.

Maka tahun ini kita melihat sejumlah kejutan di box office. Air Mata di Ujung Sajadah yang tak pernah digadang-gadang bakal laris luar biasa justru datang di saat yang tepat. Setelah sebelumnya sejumlah film drama religi hancur lebur di box office, film yang disutradarai Key Mangunsong tersebut datang dengan ide cerita sederhana. Sebenarnya ide ceritanya tak istimewa dan sangat mungkin dieksekusi menjadi sinetron, namun materi ini justru dilahap jadi tontonan yang berbeda. Semakin apik dengan dukungan trio pemain bintang, Titi Kamal, Fedi Nuril dan Citra Kirana; bintang dengan fanbase yang loyal.

Dengan menggunakan strategi buy 1 one get 1, strategi ini cukup berhasil dijalankan oleh Beehave Pictures dan membukukan perolehan 56.277 penonton di hari pertama. Pencapaian sedemikian di hari pertama hampir pasti menjadi indikasi bahwa film tersebut potensial menyentuh angka keramat 1 juta penonton. Rupanya, film itu memang menyentuh demografi penonton yang mungkin memang butuh tontonan non horor dengan sentuhan religi maka filmnya pun bekerja maksimal dengan promosi getok tular yang lebih efektif dari
strategi promosi apapun.

Masih dengan sentuhan religi namun diangkat dari kisah nyata, 172 Days juga menjadi kejutan menarik di tahun ini. Mulai tayang 23 November lalu, di hari pertamanya film yang dibintangi Bryan Domani tersebut langsung membukukan perolehan 185.250 penonton. Dengan pencapaian sedemikian, hanya perlu 6 hari bagi film produksi Starvision Plus tersebut menyentuh angka box office 1 juta penonton. 172 Days telah mencatat perolehan lebih dari 2,5 juta penonton.

Film dari ide orisinal masih bisa populer

Ketika Berhenti di Sini.
Ketika Berhenti di Sini. Sumber: Istimewa.

Sebagaimana dengan membanjirnya film horor dan juga film yang diadaptasi dari thread viral di Twitter, game populer, film ulang buat, sekuel hingga kisah nyata, sebagian produser akan mencoba mereplikasi “formula” tersebut. Namun sekali lagi dengan semakin heterogennya penonton bioskop maka sebenarnya produser perlu jeli melihat peluang dari sekadar trend yang ada.

Selain Air Mata di Ujung Sajadah, tahun ini juga ada Ketika Berhenti di Sini yang sama-sama merupakan cerita orisinal. Sinemaku Pictures yang sebelumnya juga sukses dengan film perdana, Ku Kira Kau Rumah, belajar banyak dari produksi pertamanya dan mencoba memperbaiki sejumlah kelemahan di film kedua mereka, Ketika Berhenti Di Sini. Mengandalkan cerita mendayu-dayu dengan sentuhan teknologi toh ramuan ini terbukti disambut positif oleh penonton.

Sekitar 115 ribu penonton membanjiri bioskop demi menyaksikan film yang dibintangi Prilly Latuconsina dan lagi-lagi Bryan Domani itu. Di akhir penayangannya, film yang kini bisa ditonton via Netflix tersebut membukukan 1.511.005 penonton.

Beberapa film non horor yang diangkat dari cerita asli dan cukup berhasil di box office di antaranya film Makassar, Mappacci: Malam Pacar, dengan perolehan 328.608 penonton, Sleep Call dengan 335.786 penonton, Budi Pekerti dengan 575.074 penonton dan Gampang Cuan dengan 702.171 penonton.

Dari sejumlah judul di atas bisa jadi yang paling menarik perhatian adalah suksesnya Budi Pekerti yang menembus perolehan 500 ribu penonton. Budi Pekerti bukanlah jenis film komersial dengan pendekatan generik dan karenanya kesuksesannya justru memberi sebuah insight akan adanya demografi penonton yang tak lagi ingin mengonsumsi film lokal dengan materi cerita dan pendekatan sinematik yang begitu-begitu saja.

Budi Pekerti dan cyber bullying

Di tahun 2023 sutradara muda, Wregas Bhanuteja, kembali datang dengan film yang mengedepankan isu yang relevan dengan apa yang terjadi di hari-hari ini. Setelah Penyalin Cahaya yang mengemas isu pelecehan seksual, Budi Pekerti datang dengan isu cyber bullying. Kita dipetemukan dengan pusat semesta ceritanya, Prani.

Prani seorang guru BK dan tak pernah pamer kemewahan di media sosial. Dunianya sedang runtuh. Usaha suaminya yang merosot membuat Didit, suaminya, mengalami depresi dan akhirnya didiagnosis mengidap bipolar. Maka Prani mengambil alih tanggung jawab suaminya menjadi kepala keluarga untuk dua anaknya, Tita dan Muklas.

Pada suatu hari Prani menegur seorang pengunjung saat sedang mengantri kue putu. Tapi tegurannya tidak diterima baik oleh pengunjung tersebut. Seharusnya seperti Luluk, masalahnya bisa berakhir dengan damai. Tapi seseorang merasa perlu merekam momen pertengkaran Prani dengan pengunjung itu dan mengabarkannya kepada dunia luas.

Kita tahu tindakan ini ibarat menyiram bensin ke api yang menyala. Kita juga tahu dari data yang dipublikasikan Microsoft tahun 2021, Indonesia menjadi negara dengan tingkat kesopanan di
dunia maya paling rendah di Asia Tenggara. Pada akhirnya Prani mengalami apa yang dialami oleh Luluk, bahkan jauh lebih brutal.

Profesinya sebagai guru BK justru menjadi titik lemah dari peristiwa itu. Sikapnya yang membentak si pengunjung tersebut dianggap tak mencerminkan sejatinya seorang guru. Dan kita lupa Prani tak mengenakan bajunya sebagai guru. Dalam peristiwa itu, Prani adalah seorang manusia biasa yang juga bisa marah kala melihat seseorang yang bisa seenaknya saja melupakan etika antri di ruang publik.

Di luar dugaan, film dengan isu sepenting Budi Pekerti yang biasanya justru tak diindahkan oleh penonton bioskop kita justru disambut meriah. Sebelumnya Budi Pekerti banyak dipuji selebritas hingga influencer dan saya rasa ini menjadi hal generik dilakukan sebagai bagian dari promosi.

Tapi penonton hari ini tidak begitu saja mempercayai puja-puji selebritas dan influencer dan ingin membuktikannya sendiri. Maka sense of urgency untuk menyaksikannya di bioskop sesegara mungkin menjadi PR besar dari tim promosi dan marketing dari film manapun.

Budi Pekerti berhasil mengelola ekspektasi penonton umum yang bisa terbaca dari pujian mereka yang membanjiri media sosial seperti Twitter hingga layanan aplikasi film seperti Letterboxd. Pencapaian Budi Pekerti di box office bisa jadi tak terbayangkan sekitar 5-10 tahun lalu namun sekali lagi ada pergeseran demografi penonton yang membuat kita bisa melihat bahwa sejumlah film dengan target “niche” market pun ternyata bisa menguntungkan secara bisnis.

Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film dan target niche market

Terakhir kali kita menyaksikan film lokal hitam putih tayang di bioskop saat Siti dirilis. Film besutan Eddie Cahyono tersebut memang sukses secara artistik dari antaranya dengan berhasil menjadi Film Terbaik di Festival Film Indonesia 2015.

Sayangnya memang secara komersial, Siti bahkan tak mampu beroleh 5000 penonton. Setelah 9 tahun berlalu Imajinari yang sukses tahun lalu dengan Ngeri-Ngeri Sedap nekat memproduksi film kedua Yandy Laurens berjudul Jatuh Cinta Seperti di Film-Film. Seperti Siti, Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film juga disajikan hampir seluruhnya dalam format warna hitam putih. Namun warna hitam putih tersebut ternyata tak menjadi persoalan besar bagi penonton justru karena cerita yang disajikan di dalamnya bisa dibilang baru di perfilman nasional.

Yandy membawa kita memasuki semesta berpikir cerita yang ada di film-film. Kita diajak berkenalan dengan Bagus (Ringgo Agus Rahman yang semakin matang berakting), seorang penulis skenario. Sepanjang kariernya Bagus menulis skenario adaptasi, entah dari sinetron sukses atau materi-materi lainnya.

Pada satu titik dalam hidupnya, Bagus ingin bercerita. Sebuah kisah yang datang dari dirinya. Sebuah kisah romansa. Juga sebuah rencana baginya untuk menjadikannya kado bagi pujaan hatinya.

Dalam kisah yang ditulisnya, Bagus bertemu pujaan hatinya di sebuah hari biasa di salah satu supermarket. Namanya Hana (dimainkan Nirina Zubir yang berpeluang besar membawa pulang Piala Citra yang kedua tahun depan).

Sebagai penonton laki-laki, sejak pertama kali kita bertemu Hana, saya paham mengapa Bagus menyukainya. Saya tak bisa menjelaskannya dengan gamblang dan skenario yang ditulis Yandy pun rasanya memang tak perlu menjelaskannya.

Bagus tak berbinar-binar menatap Hana, Hana pun bersikap biasa saja terhadap Bagus. Tapi daya magis film bekerja di film ini yang membuat kita tahu ada api yang masih menyala dalam dada Bagus. Maka sejak itu Bagus dan Hana semakin sering bertemu, Hana pun membiarkan dirinya yang baru saja menjanda membuka dirinya perlahan. Hal yang Hana tak pernah tahu sejak awal bahwa Bagus akan menuliskan semua yang mereka jalani ke dalam skenario film yang kelak akan disutradarainya sendiri.

Sebagaimana Budi Pekerti, Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film juga menjadi kejutan
menarik tahun ini. Dengan jumlah layar yang tak banyak, di hari pertamanya film
tersebut beroleh 31.170 penonton. Film yang diproduseri Ernest Prakasa itu sudah berhasil menembus perolehan lebih dari 600 ribu penonton. Bukan angka yang buruk untuk sebuah film hitam putih.

Kesuksesan Budi Pekerti dan dilanjutkan dengan Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film bisa jadi mengindikasikan sejumlah hal positif: adanya demografi baru penonton bioskop yang mengapresiasi film dengan isu penting dan pendekatan sinematik yang segar, menarik dan berbeda, juga masih adanya demografi penonton yang percaya pada kekuatan ide orisinal.

Dengan pencapaian kedua film di atas, kita bisa berharap tahun depan bioskop diwarnai film-film Indonesia yang lebih berani menyajikan ide cerita orisinal, isu-isu yang penting dan tak takut tampil dengan pendekatan segar, menarik dan berbeda.

Bisa jadi penonton akan semakin bosan dengan formula yang begitu-begitu saja dan penyajian yang tak inventif. Semoga rumah produksi besar pun bisa melihat bahwa demografi penonton film Indonesia di bioskop terus bergerak menjadi semakin heterogen dan menjadi semakin tak mempan diserbu tontonan formulaik.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.