Indonesia Dihantui Film Horor Sejak Dulu dan Kejenuhan Penonton Bioskop akan Film Horor Lokal Hari Ini (Part 2)

“Saya selalu terpesona oleh film-film horor dan film genre. Dan film-film horor memikat daya tarik bagi saya dan selalu menjadi sesuatu yang ingin saya tonton dan ingin saya buat.” Edgar Wright.

Setelah berjaya selama 2 dekade di tahun 1970-1980an, perfilman Indonesia mengalami keterpurukan di tahun 1990an. Inilah masa paling kelam dalam sejarah sinema Indonesia dimana bioskop diisi dengan film-film yang hanya mengeksploitasi “sekwilda” (sekitar wilayah dada) dan “bupati” (buka paha tinggi-tinggi). Sebuah periode yang kelak dikenang hanya karena melahirkan bom seks lokal seperti Sally Marcellina, Febby Lawrence hingga Inneke Koesherawati.

Bisa jadi ada hubungannya atau juga tidak, Festival Film Indonesia juga menghilang selama periode ini. Film horor yang pernah menjadi begitu populer juga tergerus oleh merajalelanya film seksploitasi. Menurut riset yang dilakukan Eka Nada Shofa Alkhajar sebagaimana dikutip dari The Finery Report, pada 1992 produksi film Indonesia sangat terpukul mundur dalam segi jumlah dan banyaknya gedung bioskop yang mulai roboh secara tragis.

Ada dua faktor utama dan beberapa faktor lain yang membuat karut-marut perfilman kala itu. Pertama, dari sisi produksi. Kedua, dari sisi peredaran film ke bioskop di seluruh Indonesia.

Era 1990-2000 disebut era kemunduran film horor Indonesia, dalam tulisan Tita Meydhalifah dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (2018), sebagaimana dikutip dari Melek Media. Ia mencatat kualitas film horor Indonesia dianggap lebih rendah daripada film impor tersebab kelonggaran dari Badan Sensor Film (BSF)—mengawali gegap gempita Reformasi.

Pasca-reformasi, BSF relatif lebih toleran hingga film horor memunculkan hantu-hantu berbusana minim bahkan transparan sebagai pemeran utama. Perfilman bahkan sempat gulung tikar oleh krisis ekonomi 1997.

Indonesia dihantui film horor sejak dulu (Part 2)

Jelangkung menulis ulang film horor Indonesia

Film Horor Indonesia
Via Istimewa

Tanggal 5 Oktober 2001 seharusnya tercatat dalam tinta emas sinema Indonesia sebagai hari di mana film horor Indonesia kembali menemukan kekuatannya dan membuat ratusan ribu orang berduyun-duyun kembali memenuhi kursi-kursi bioskop. Tanpa promosi dan sponsor, Jelangkung karya duet sutradara Rizal Mantovani dan Jose Poernomo diputar di salah satu studio di Pondok Indah berkapasitas 140 orang dengan menggunakan proyektor video.

Kala itu film hanya bisa dipertunjukkan di bioskop dengan menggunakan material film sementara Jelangkung diproduksi sepenuhnya secara digital. Produser, Erwin Arnada, berinisiatif melakukan hal itu jauh sebelum revolusi digital dilakukan besar-besaran di bioskop seluruh dunia.

Erwin menuturkan kisah bersejarah ini kepada Tabloid Bintang Indonesia edisi 12 Maret 2016. Hari pertama, Jelangkung hanya ditonton 12 orang. Itu pun teman-teman Erwin sendiri. Pertunjukan kedua disaksikan 20 orang. Hari kedua dan ketiga, sama suramnya. Di balik suramnya jumlah penonton itu, sesuatu tengah terjadi.

Penonton menceritakan apa yang sudah mereka saksikan kepada orang lain: sebuah film yang sangat mengerikan. “Hari keempat, manajer operasional Pondok Indah 21, Pak Teguh, menelepon saya. Dia bilang, banyak pecahan kaca di sini. Kaca loket bioskop pecah gara-gara penonton enggak sabar mengantre tiket Jelangkung? Masa mau menonton film Indonesia, harus beli tiket sehari sebelumnya?” ujarnya.

Erwin menggandakan kopi film dan memutar Jelangkung di Blok M 21. Pada Ramadan 2001, Harris Lasmana, petinggi jaringan bioskop 21, mengusulkan supaya Jelangkung diputar secara nasional. Syaratnya, film yang dibintangi Winky Wiryawan itu mesti diubah dari format digital ke seluloid.

Untuk membuat master film dalam format seluloid, Erwin, Rizal, dan Jose terbang ke Singapura. Hasil penjualan tiket Jelangkung di Pondok Indah 21 mampu menutup beratnya biaya membuat master film, 300 juta rupiah, serta membuat salinannya 15 kopi—per kopi 11 juta. Efeknya luar biasa. Di Pondok Indah 21, Jelangkung bertahan selama tujuh bulan. Di Megaria 21 (kini Metropole XXI), ia menguasai empat dari enam layar.

Jelangkung bercerita tentang Ferdi [Winky Wiryawan], Gita [Melanie Ariyanto], Gembol [Rony Dozer]dan Soni [Harry Pantja] adalah empat sekawan berbeda karakter dari Jakarta yang selalu penasaran mencari pengalaman bertemu dengan makhluk halus di tempat-tempat angker. Mereka telah mendatangi berbagai tempat yang dikabarkan berhantu, tetapi tak kunjung menjumpai yang mereka cari.

Lelah tidak menemukan yang mereka cari, mereka mendapat ide untuk pergi ke sebuah desa bernama Angkerbatu di daerah Jawa Barat yang dikabarkan banyak mendapat kasus penampakan makhluk halus dan orang kerasukan. Kepada Variety edisi 27 November 2001, Erwin menuturkan alasan mengapa Jelangkung menjadi fenonema dan dianggap menulis ulang film horor Indonesia hari ini. “Takhayul masih memainkan peran penting di negara ini. Dan kisah empat mahasiswa (salah satunya perempuan) yang mencoba berkomunikasi dengan roh orang mati di sebuah desa terpencil di Jawa Barat pastilah merupakan kisah nyata bagi mereka.”

Sesungguhnya penggunaan jailangkung dalam film horor bukanlah yang pertama dilakukan oleh Jelangkung. Pada tahun 1975, sutradara M Shariefudin membesut Penghuni Bangunan Tua yang juga mengedepankan tema soal jailangkung.

Hingga hari ini Jelangkung dianggap sebagai tonggak bersejarah bagi film horor lokal. Hanya dengan biaya produksi sekitar 150 juta rupiah, film tersebut bisa mendatangkan pendapatan kotor hingga 15 milyar rupiah.

Pasca Jelangkung, film horor kembali mewabah

Sukses Jelangkung lantas dilanjutkan oleh sekuelnya, Tusuk Jelangkung, berselang 2 tahun setelahnya. Awalnya Erwin Arnada ingin mendaulat kembali duet Rizal dan Jose namun keduanya menolak. Tongkat estafet lantas diberikan pada Dimas Djayadiningrat yang sebelumnya lebih dikenal sebagai sutradara video klip dan iklan.

Dikutip dari Gatra, dengan pendekatan visual khas untuk klip video, Dimas berusaha mengemas film Tusuk Jelangkung dengan visualisasi eksotik dan pencahayaan terjaga namun tanpa menyeret film Tusuk Jelangkung menjadi tontonan permukaan belaka. Dengan syuting yang kali ini dijalankan selama 26 hari di 16 lokasi yang berbeda, film tersebut menghabiskan biaya 2,4 milyar untuk produksinya saja. Kelak total kedua film, Jelangkung dan Tusuk Jelangkung, beroleh 2,8 juta penonton.

Selain Jelangkung dan Tusuk Jelangkung, beberapa film horor lainnya mengikuti kesuksesan kedua film tersebut. Dikutip dari Bicara Box Office, film-film tersebut diantaranya Di Sini Ada Setan (2004, sutradara Purnomo A Chakil) dengan perolehan 600 ribu penonton, Mirror (2005, sutradara Hanny Saputra) dengan perolehan 800 ribu penonton, Pocong 2 (2006, sutradara Rudi Soedjarwo) dengan perolehan 1,2 juta penonton dan Kuntilanak (2006, sutradara Rizal Mantovani) dengan perolehan 1,5 juta penonton.

Selama tahun 2000-2007 dominasi film horor ditunjukkan dengan produksi film horor yang berjumlah sekitar 40% dari total film yang diproduksi di Indonesia. Produksi film horor menanjak—terutama sejak tahun 2006 ketika perfilman Indonesia melahirkan lebih dari 70 judul setahun. Pada tahun 2007, dua film horor bahkan menembus daftar lima besar penonton terbanyak: Terowongan Casablanca dan Suster Ngesot The Movie.

Seks kembali mewarnai horor lokal

Seperti sebuah siklus, trend seksploitasi pun kembali menghampiri skena horor lokal Indonesia di tahun 2009. Entah siapa yang pada awalnya memulai sehingga film horor bercampur baur dengan aroma seks yang kental kembali menghantui perfilman negeri ini. 

Dikutip dari makalah Fajar Aji dari Institut Seni Indonesia bertajuk Sejarah Genre Film Horor di Indonesia, film-film horor yang diproduksi setelah tahun 2008 mulai “dibumbui” dengan adegan yang sensual. Bentuk sensualitas yang ditonjolkan tersebut sudah tecermin di dalam pembuatan judulnya.

Pada tahun 2009 dan 2010 film-film yang menyelipkan adegan tersebut dan sudah terlihat pada pemberian judulnya saja diantaranya Hantu Binal Jembatan Semanggi (2009), Darah Perawan Bulan Madu (2009) dan Raped by Saitan (Diperkosa Setan) (2010). Dari beberapa film horor yang menyelipkan adegan sensualtersebut, pun mendatangkan bintang film porno dari manca-negara.

Bintang film porno yang ikut andil di dalam film horor tersebut antara lain Miyabi dan Kin Sakuragi (dari Jepang) yang ikut beradu akting di dalam film Suster Keramas dan Hantu Tanah Kusir. Keadaan ini seakan mengulang kembali film-film horor pada dekade 1990-an.

Namun dekade ini lebih berani mendatangkan bintang film porno sebagai daya tarik komersil pada film. Sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah film horor setelah tahun 2008 ini film di Indonesia akan kembali terpuruk dan mengalami mati suri seperti dekade 1990-an?

Tapi ternyata bumbu seks sejatinya memang tak pernah memperbaiki iklim perfilman nasional, bahkan malah memperburuknya. Rerata perolehan penonton per judul film horor justru terus menurun. Pada tahun 2008 tercatat 19 judul film horor dirilis dengan total perolehan 7,6 juta penonton.

Artinya rerata per judul film horor beroleh sekitar 400 ribu penonton. Pada tahun 2009 tercatat 22 judul film horor dirilis dengan total perolehan 7,23 juta penonton. Artinya rerata per judul film horor beroleh sekitar 328 ribu penonton. Pada tahun 2010 tercatat 19 judul film horor dirilis dengan total perolehan 4,53 juta penonton.

Artinya rerata per judul film horor beroleh sekitar 238 ribu penonton. Dan pada tahun 2011 tercatat 10 judul film horor dirilis dengan total perolehan 2,42 juta penonton. Artinya rerata per judul film horor beroleh sekitar 242 ribu penonton.

Kejenuhan film horor lokal hari ini

Film Horor Indonesia
Via Istimewa

Pandemi sempat memukul banyak elemen bisnis di seluruh dunia, tak terkecuali sektor bioskop. Film Indonesia pun beroleh dampak yang signifikan. Saat pandemi melanda di tahun 2020 tercatat jumlah penonton hanya menyentuh angka 12,8 juta, bandingkan dengan tahun sebelumnya yang beroleh hingga 51,9 juta penonton. Setahun setelahnya, film Indonesia semakin terpuruk dengan perolehan total penonton sepanjang tahun hanya 4,5 juta penonton.

Dan memang tak ada yang menyangka bahwa film Indonesia akan bisa bangkit begitu cepatnya dari keterpurukan. Dikutip dari Republika edisi 25 Januari 2023, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, total penonton film Indonesia di bioskop mencapai 54.073.776 orang sepanjang 2022. Hal itu merupakan capaian tertinggi yang belum pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Film horor KKN di Desa Penari juga mengukir sejarah dengan menumbangkan film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 yang sudah bertahan sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa selama 6 tahun. Menurut Manoj Punjabi yang memproduseri KKN di Desa Penari, penonton bioskop Indonesia bisa jadi memang terobsesi dengan film horor sebagaimana diutarakannya kepada VOA Indonesia edisi 15 Juli 2023.

Horror is very relatable (bagi masyarakat masyarakat Indonesia). Mereka percaya kejadian ini. Mereka mungkin pernah melihat kesurupan, meski mereka percaya atau tidak percaya. Jadi gampang dicerna. Coba lihat film action, susah sekali menarik penonton di Indonesia,” komentarnya.

Film Horor Indonesia. Via Istimewa

Salah satu yang juga menarik dari bangkitnya kembali trend film horor tahun lalu adalah pencapaian 2 film horor, Qodrat dari sutradara Charles Gozali dan Inang dari sutradara Fajar Nugros. Keduanya membuat standar baru di industri atas pencapaian artistik maupun isi filmnya sendiri.

Qodrat dianggap mendefinisikan ulang film horor dengan memberi tempat pada ustadz menjadi tokoh utama dan mendorong filmnya memaksimalkan unsur aksi sehingga menjadikan Qodrat terasa menyegarkan. Sementara Inang yang mencampurkan horor dan thriller dianggap berhasil karena menyajikan komentar sosial secara menarik dalam sebuah film.

Sayangnya memang pencapaian kedua film di atas tak diikuti kebanyakan film horor lainnya yang rilis di tahun ini. Setelahnya bermunculan puluhan judul film horor dengan kualitas buruk, bahkan sebagian diantaranya sesungguhnya tak layak tayang di bioskop.

Akun Twitter @kripikfilm memberi komentar atas film “Alena Anak Ratu Iblis” sebagai berikut: “Bagaikan mimpi buruk berlapis-lapis yang berisikan gado-gado adegan dan dialog-dialog rubbish, lalu terbungkus visual efek yang terlihat tak murahan, terutama CGI bagian opening sekaligus juga endingnya yang TOP ABIEZ!!”

Dari Letterboxd yang berisi review film dari seluruh dunia meluncur komentar atas film “Iblis Dalam Darah” dari akun ridhofkr: “film buatan mahasiswa masih lebih bagus dari film ini.” Sementara Youtube Channel Cine Crib yang cukup sering melontarkan kritik pedas untuk film berkualitas buruk memberi penilaian untuk “Tulah 6/13” sebagai berikut: “Ingin tampil beda tapi cara menceritakannya ajaib banget. Tidak tahu cara menceritakannya dan malas menceritakannya. Yang penting ada setannya dan yang penting ada plot twist.”

Yang selalu menjadi masalah di tengah trend adalah bermunculannya pedagang film berkedok produser film. Mereka yang sekedar menunggangi tren semata untuk kepentingan komersial, memproduksi film berkualitas buruk tanpa memikirkan keberlangsungan dan kepercayaan masyarakat terhadap film lokal.

Mereka yang memproduksi film berbiaya murah hanya untuk mengeruk puluhan hingga ratusan ribu penonton agar bisa balik modal. Dan akhirnya seperti lingkaran setan, produksi film horor sampah pun seakan tak berhenti karena ternyata masih ada saja penonton yang menyaksikannya di bioskop.

Bisa jadi juga karena over supply, penonton bioskop pun mulai jenuh dengan film horor lokal. Bisa terbaca dari melambatnya perolehan jumlah penonton film horor lokal di box office. Film dengan IP (intellectual property) yang kuat seperti Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul yang membukukan 153.778 penonton di hari pertama butuh waktu hingga 8 hari untuk berhasil menembus target box office 1 juta penonton. Film Aku Tahu Kapan Kamu Mati: Desa Bunuh Diri yang juga punya IP yang kuat ternyata hanya bisa membukukan kurang dari 300 ribu penonton. 

Apa yang kita lihat dari film horor lokal hari-hari ini memang sejatinya sebagian besar adalah repetisi demi repetisi yang semakin lama terasa semakin membosankan. Sedikit sekali film horor yang berani mencelat dari pakem dan menjadi pionir.

Saya sendiri sudah punya ide membuat film horor dengan menjadikan alien sebagai pengganti setan/iblis/hantu sejak 3 tahun lalu namun masih susah betul menjajakan ide tersebut hingga tiba-tiba Hulu/Disney Plus merilis film No One Will Save You yang kuat dari sisi cerita dan metafora dan bahkan tanpa dialog sekalipun sepanjang durasi filmnya.

Tapi kita bisa berharap film horor lokal masih berani mendobrak. Seperti yang pernah dilakukan Jelangkung. Dan 22 tahun setelahnya kita masih butuh energi besar untuk keluar dari lingkaran setan kemalasan kreatif yang melanda sebagian besar film horor Indonesia.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.