5 Paham Sosial yang Disinggung dalam Film Barbie

Film Barbie yang dibintangi oleh Margot Robbie telah resmi di sejumlah bioskop sejak pertengahan Juli 2023 lalu. Film yang diadaptasi dari mainan boneka ciptaan Mattel ini pun mendapatkan respons yang terbilang positif dari kritikus. Sebab, film garapan Greta Gerwig ini dinilai berhasil mengemas cerita Barbie dengan cara yang menyenangkan.

Meski begitu, film ini sebenarnya bukan hanya menghadirkan kesenangan saja, melainkan juga menyisipkan berbagai paham sosial ke elemen ceritanya. Bahkan, enggak menutup kemungkinan kalau lewat film ini kamu jadi bisa lebih memahami berbagai isu sosial yang terjadi pada masyarakat.

Nah, berikut ini KINCIR akan membahas deretan paham sosial yang ada dalam film Barbie. Yuk, simak!

Paham sosial dalam film Barbie

1. Feminisme

Istimewa

Feminisme mungkin menjadi paham sosial yang paling terlihat sepanjang film ini . Buat kamu yang belum tahu, feminisme adalah sebuah gerakan sosial yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan agar bisa memiliki hak yang setara dengan kaum laki-laki pada kehidupan sosial, khususnya pada bidang pendidikan dan profesional.

Paham ini pun sangat tergambarkan sepanjang dalam film ini. Pada awal filmnya, kita bisa melihat anak-anak perempuan yang memainkan boneka bayi. Hal ini sebenarnya menggambarkan kondisi kaum perempuan pada zaman dulu yang diwajibkan hanya memiliki peran untuk mengurus anak atau melayani kaum pria.

Namun, semua berubah ketika ada boneka Barbie. Sebab, kehadiran boneka ini membuat anak-anak perempuan jadi bisa bermimpi untuk berprofesi sebagai apapun. Pada Barbieland bahkan profesi seperti presiden, ilmuwan, dan sebagainya dimiliki oleh kaum perempuan. Jadi, kehadiran Barbie bisa dibilang menjadi gebrakan feminisme yang menguntungkan bagi kaum perempuan.

2. Patriarki

Istimewa

Patriarki mungkin bisa disebut sebagai ‘musuh’ dari feminisme. Pasalnya, patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaaan tertinggi pada berbagai bidang, termasuk hak sosial serta sebuah jabatan. Bahkan, patriarki turut digambarkan sebagai sebuah masalah besar yang kemudian jadi salah satu konflik utama dalam filmnya.

Hal ini pun tergambarkan ketika Ken sedang berkunjung ke dunia nyata yang secara umumnya masih lekat dengan sistem patriarki. Ken yang terbiasa hidup di Barbieland dengan kaum perempuan yang berkuasa pun terkejut dengan keberadaan sistem patriarki ini. Ken pun mencoba membawa sistem sosial itu ke Barbieland.

Hasilnya, Barbieland pun berubah menjadi Kendom, sebuah dunia yang dikuasai oleh kaum laki-laki, yaitu para Ken. Pada momen ini, para Barbie juga terkesan menjalani kewajiban kaum perempuan pada zaman dulu, yaitu hanya menjadi pelayan bagi laki-laki. Makanya, tak heran kalau paham patriarki jadi isu utama yang dijadikan konflik dalam filmnya.

3. Matriarki

Istimewa

Selain patriarki, film ini juga sebenarnya menghadirkan paham matriarki. Paham matriarki pun sebenarnya adalah kebalikan dari patriarki, yaitu sistem sosial yang menempatkan kaum perempuan sebagai sebagai pemegang kekuasaaan tertinggi pada berbagai bidang. Kondisi di sistem matriarki mungkin terkesan sebagai ‘kemenangan’ bagi gerakan feminisme, tapi kenyataannya hal ini juga punya sisi buruk.

Sistem matriarki pun bisa kita lihat lewat kondisi Barbieland yang pada awalnya dikuasai oleh kaum perempuan, sementara itu laki-laki hanya jadi pemanisnya saja. Sistem ini mungkin digambarkan sebagai kondisi yang ideal bagi sang protagonis.

Namun, sistem matriarki ini jugalah yang kemudian membuat Ken yang selama ini merasa hidupnya tidak sejajar dengan Barbie akhirnya mengubahnya menjadi patriarki. Beruntungnya, menjelang akhir filmnya, sistem sosial pada Barbieland mulai melibatkan para Ken dalam tatanan pemerintahnya.

4. Maskulinitas toksik

Istimewa

Sistem patriarki juga memunculkan berbagai permasalahan sosial lain, salah satunya adalah maskulinitas toksik. Buat kamu yang belum tahu, maskulinitas toksik adalah kondisi di mana seorang laki-laki harus kuat secara fisik, bertindak tanpa perasaan, serta punya perilaku agresif. Kondisi ini pun enggak hanya berdampak buruk bagi kaum perempuan, tetapi juga buat kaum laki-laki.

Kondisi maskulinitas toksik pun tergambarkan dari para Ken yang harus selalu bertindak macho dihadapan kaum perempuan. Kondisi ini pun semakin para ketika mereka sudah mempelajari sistem patriarki pada filmnya.

Maskulinitas toksik pun membuat para Ken enggak boleh menunjukkan emosi yang mereka anggap terlalu ‘feminim’, seperti menangis. Namun, kondisi ini juga berhasil dihilangkan pada akhir filmnya, dengan menampilkan Ken yang menangis cukup kejar dan menceritakan berbagai keluh kesahnya kepada Barbie.

5. Standar kecantikan

Istimewa

Pada dunia nyatanya, boneka Barbie terkadang sering digambarkan sebagai ikon feminisme karena menggambarkan perempuan lewat berbagai macam profesi. Namun, tak jarang juga ada perempuan yang mengecam keberadaan boneka tersebut. Sebab, mereka menilai bahwa boneka tersebut telah menciptakan standar kecantikan bagi kaum perempuan di dunia nyata.

Yap, boneka Barbie memang sering digambarkan sebagai perempuan yang memiliki tubuh langsing, rambut pirang, berkulit putih, dan lain semacamnya. Penggambaran ini kemudian menciptakan gambaran penampilan ideal atau bahkan sempurna dari seorang perempuan cantik di kehidupan sosial adalah seperti Barbie. Padahal, kenyataannya tidak.

Standar kecantikan yang diciptakan oleh bonekanya ini pun sempat disinggung dalam filmnya. Hal ini terjadi ketika Barbie bertemu dengan Sasha serta sejumlah temannya. Sasha pun mengaku tidak suka dengan sang boneka karena telah menciptakan sebuah standar kecantikan yang tidak realistis bagi kaum perempuan di dunia nyata.

***

Nah, itulah sejumlah paham sosial yang sempat disinggung dalam film Barbie. Bagaimana tanggapan kamu dengan kehadiran sejumlah isu sosial tersebut? Share pendapat kamu dan ikuti terus KINCIR untuk kabar terbaru seputar film lainnya, ya!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.