*Spoiler Alert: Review film The Next 365 Days mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.
The Next 365 Days, atau sekuel ketiga dari film erotis Polandia 365 Dni atau 365 Days dirilis untuk melanjutkan akhir dari sekuel kedua yang enggak jauh beda dari sekuel pertama.
Film ini panen kritik. Apakah sekuel ketiganya akan mengalami nasib yang sama. Setelah dua kali disajikan film erotis yang “kopong”, para reviewer film dan kritikus sepertinya sudah malas untuk menelanjangi film ini habis-habisan.
Sebelum membaca resensi sekuel ketiga ini, KINCIR mau mengingatkan tentang premis waralaba ini. Laura Biel, seorang eksekutif muda. Ia diculik oleh anak mafia bernama Don Massimo Torricelli dan memberikan dia waktu satu tahun untuk jatuh cinta kepadanya.
Dalam satu tahun itu, ada begitu banyak adegan panas dan hubungan seks berlandaskan sadomasokisme dan masokisme yang ditampilkan agak gamblang di layar. Dalam 1 tahun itu, Laura pun jatuh cinta kepada Massimo.
Setelah mengakhiri film pertama dengan akhir yang menyedihkan, sekuel kedua memberi jawaban bahwa nasib Laura enggak seburuk itu. Film pun berlanjut masih dengan ramuan panas yang klise, hubungan seks penuh “kekerasan”, dan lika-liku kehidupan mafia yang penuh drama.
Review film The Next 365 Days
Bukan satu, tetapi dua
Dalam semesta 365 Days, kita juga diperkenalkan pada satu karakter yang penting banget bagi hidup Laura: Nacho. Nacho adalah tukang kebun di rumah Massimo yang lebih gagah dan tampan dari tukang kebun pada umumnya. Namun, ada plot twist. Ya, beberapa saat setelah kamu berpikir bahwa, “Enggak mungkin, nih, ada tukang kebun model begini!”, kamu akan dihadapkan pada fakta bahwa Nacho memang bukan tukang kebun, melainkan anak dari bos mafia saingan Massimo.
Laura yang sebelumnya mengira bahwa Massimo berselingkuh, kemudian jatuh hati (atau bernafsu?) dengan Nacho. Laura bahkan kerap membayangkan mereka berdua melakukan adegan seks panas. Fantasi Laura ini kemudian ditampilkan ke layar, seolah menjadi variasi jika penonton sudah mulai bosan dengan hubungan seks antara Laura-Massimo yang “gitu-gitu aja”.
Maka, dengan adanya cinta segitiga ini, tentu film menjadi lebih panas. Ini mengingatkan kita pada hubungan cinta Jacob-Bella-Edward dalam Twilight Saga. Ini seakan mewujudkan mimpi liar beberapa perempuan tentang bagaimana berada di dekat dua laki-laki hot yang memiliki sifat berbeda. Massimo, dingin dan keras. Sementara itu, Nacho yang hangat dan lebih memperlihatkan romantismenya.
Masih kosong dan membosankan
Nah, kalau film diberi rating bagus hanya berdasarkan adegan panas, The Next 365 Days mungkin bisa mendapatkan banyak bintang. Namun, film adalah kombinasi dari premis yang konsisten, penokohan, plot, akting, sinematografi, dialog, dan masih banyak lagi. Dilihat dari dialog, film ini memang akan bikin panas kuping kritikus film.
Massimo masih saja setia dengan dialog-dialog kosongnya. Kekosongan ini juga ditampilkan saat ia mengancam mafia lain. Di dunia nyata, jika pemimpin keluarga mafia bertingkah seperti Massimo, ia hanya akan ditertawai atau mungkin diberi death kiss layaknya yang dilakukan Michael Corleone terhadap Fredo Corleone, saudaranya sendiri. Bayangkan, Massimo mengancam keluarga mafia saingan hanya dengan mengatakan bahwa apabila keluarga itu menginjakkan kaki di tempatnya, ia akan menjadikan tempat itu sebagai makam.
Dialog klise ini juga terjadi pada Laura. Seperti film-film terdahulu, obrolan Laura dan teman-teman perempuannya sangat membosankan. Entah mengapa pertemanan semacam ini bisa dimiliki oleh perempuan yang dulunya adalah eksekutif muda. Enggak ada resolusi, enggak ada inspirasi, hanya ada pujian dangkal dan kata-kata yang kosong beserta makanan-makanan mewah dan anggur-anggur mahal.
Perkembangan karakternya pun enggak ada. Laura masih tetap cewek labil enggak jelas yang pikirannya hanya diisi oleh seks di mana pun ia berada. Entah di rumah, di bar, atau pun di perjalanan. Massimo juga masih menjadi mafia yang sok galak, enggak punya prinsip jelas, dan tiap kali melihat Laura, pikirannya hanya berada di hubungan seks. Sebagai pasangan mafia ternama yang ditakuti se-Italia dan eksekutif muda, pembicaraan mereka layaknya anak SMP yang isinya hanya tampang, kecemburuan, dan ancam-ancaman karena dugaan perselingkuhan.
Enggak ada pembicaraan soal bisnis, visi dan misi, atau minimal pembicaraan waras tentang mau dibawa ke mana hubungan mereka. Alih-alih menyelesaikan kesalahpahaman, keduanya menyelesaikan masalah lagi-lagi dengan intercourse, foreplay, atau tentu saja seks. Perilaku ini cuma meredam masalah secara temporer, karena pascaseks, keributan, dan kesalahpahaman terjadi lagi di antara mereka.
Menghadirkan lebih banyak ketelanjangan, tetapi ‘kentang’
Kalau yang kamu cari dari sebuah film adalah segmen 18+, ini adalah film yang memenuhi ekspektasi. Bukan hanya Laura-Massimo, ketelanjangan juga dihadirkan dari tempat lain. Misalnya, rumah bordil tempat di mana Massimo diajak temannya untuk bersenang-senang. Di tempat ini, para perempuan menggunakan kostum-kostum dominatriks dengan memperlihatkan bagian dada.
Selain itu, ada banyak adegan panas antara Laura dan Nacho yang ditampilkan secara gamblang, meskipun itu hanya berupa imajinasi Laura saja. Dan, walaupun adegan 18+-nya lebih banyak, tetapi semuanya kentang, enggak bermakna, dan bahkan membosankan karena dari film pertama dan kedua, kita udah tahu apa yang bakal ditawarkan sama film ini.
Kurang eksplorasi, apa hanya fokus dengan sensualitas?
Setelah tragedi yang membuat Laura kehilangan bayi dalam kandungan, hubungan mereka memang jadi lebih enggak jelas. Sebenarnya masalah ini seharusnya bisa dieksplorasi lebih dalam karena kehilangan anak memang bisa merenggangkan hubungan antarpasangan. Apalagi, dengan adanya trauma dan bekas luka akibat percobaan pembunuhan. Namun, film selalu kehilangan fokus dan lebih ingin mengeksplorasi adegan steamy nanggung daripada aspek psikologis para tokohnya.
Padahal, banyak aspek pendukung yang sudah bagus. Misalnya, seperti premis dan tentu saja sinematografi. Sampai film ketiga, 365 Days masih cantik. Warna dari film ini mengingatkan kita pada liburan yang menyenangkan di pesisir-pesisir Italia. Sayangnya, semua itu menjadi enggak berarti karena tokoh-tokoh dangkal, cerita yang enggak karuan, dan dialog yang setara dengan pembicaraan remaja baru gede.
Akhirnya kita enggak tahu film ini mau dibawa ke mana dan mau jadi apa. Jika ingin menjadi film porno, adegan seksnya terlalu nanggung. Namun, film ini terlalu datar jika ingin disebut drama, atau bahkan mob film.
Pemilihan akhir yang menggantung di pantai bikin sebagian penonton berasumsi mungkin akan ada sekuel dari film yang diangkat dari novel ini. Jika ide itu direalisasikan, bukan hal baik bagi para kritikus film, karena tiga film ini saja sudah cukup memporak-porandakan logika kita.
***
Mungkin, lebih baik 365 Days lekas diakhiri saja karena ceritanya semakin melebar ke mana-mana. Bahkan, dibandingkan dengan waralaba 50 Shades of Gray yang kerap dikritik dari segi cerita, 365 Days jauh lebih enggak karuan.
Nah, bagaimana pendapat kalian terkait review film ini? Apakah kamu merasa terganggu dengan ceritanya atau justru tim yang lebih menikmati aspek lain? Bagikan di kolom komentar ke KINCIR, ya.