*Spoiler Alert: Review film The Doll 3 mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.
Pastinya kamu sudah pernah mendengar tentang tren yang sempat digandrungi terutama di kalangan selebritas: spirit doll. Boneka-boneka ini berwujud bayi atau anak manusia.
Kontroversi timbul pada saat sejumlah selebritas ikut-ikutan merawat spirit doll layaknya seorang pakar spiritual yang punya ratusan boneka semacam itu di rumahnya. Spirit doll enggak diperlakukan seperti boneka biasa, ia bahkan diberi nama, makan, disayang-sayang, dan dianggap bisa menghisap sari minuman yang diberikan kepadanya.
Sisi mistis boneka serupa bayi dan anak-anak memang sudah lama terpatri di benak masyarakat. Beberapa keyakinan bahkan mengatakan bahwa semakin mirip sebuah boneka dengan manusia, semakin mudah ia menjadi medium makhluk halus. Keyakinan semacam itulah yang mendasari banyak karya horor legendaris yang menggunakan boneka sebagai pusat teror. Contohnya tentu Child’s Play, Annabelle, dan The Boy.
Seperti sekuel-sekuelnya, The Doll 3 juga menghadirkan boneka yang jadi sumber malapetaka dan sosok Bu Laras selaku cenayang. Tentu meskipun berkesinambungan, kisah dan tokoh-tokoh lainnya sangat berbeda.
The Doll 3 dibuka dengan kisah yang pilu. Tara dan Gian, dua kakak beradik, menjadi yatim piatu setelah kecelakaan yang menewaskan orang tua mereka. Gian yang hanya menjadi korban luka dirawat di rumah sakit, tetapi enggak lama kemudian ia bunuh diri lantaran trauma berat.
Kejadian bunuh diri ini berbarengan dengan dilamarnya Tara oleh Aryan, seorang duda dengan satu anak bernama Mikha. Setelahnya, Tara mendapatkan boneka semacam spirit doll yang dinamai Bobby dan meminta dukun untuk memanggil arwah Gian ke dalamnya.
Sebetulnya, Tara sudah diperingatkan bahwa prosesi ini berbahaya. Karena, belum tentu arwah yang datang adalah arwah Gian. Bisa saja arwah yang datang merupakan arwah dari makhluk pengganggu lain atau dari arwah orang lain yang masih ingin hidup di dunia.
Perkiraan itu memang enggak tepat. Namun, meskipun arwah yang berhasil dipanggil hingga merasuki boneka tersebut adalah arwah Gian, apakah Gian yang ada di dalamnya masih sama dengan Gian yang dulu dikenal oleh Tara? Itulah permasalahannya.
Review Film The Doll 3
Film horor yang melampaui ekspektasi
Ada beberapa hal yang memang patut dipuji dari film horor yang satu ini. Pertama adalah bagaimana ia memberikan porsi horor yang pas maksudnya film besutan Rocky Soraya ini menitikberatkan horor pada adegan-adegan gore yang bikin ngilu dan juga enggak cocok ditonton bagi mereka yang enggak kuat melihat darah.
Jumpscare memang minim, begitu pula penampakan-penampakan makhluk-makhluk yang biasanya bikin ciut nyali. Ya, Bobby adalah satu-satunya teror di sini. So, sudah terlihat jelas mau dibawa ke mana tema dari film ini.
Kedua adalah film ini memberikan plot twist dengan cara yang enggak maksa. Plot twist kerap kali ditambahkan pada sebuah film supaya film tersebut terlihat mencengangkan dan juga bisa dipandang bagus oleh penonton. Namun, beberapa plot twist yang enggak sesuai premis dan terlihat maksa justru akan sangat mengganggu penonton dan juga merusak esensi dari film itu sendiri.
The Doll 3 memang memiliki plot twist yang enggak akan disangka-sangka oleh banyak orang, tetapi nggak dipaksakan dan juga sangat nyambung dengan jalan cerita yang ada. Plot twist ini bahkan menjadi alasan mengapa tunangan Tara dan anaknya kerap diganggu oleh boneka Bobby.
Pengembangan karakter yang kuat dan cast yang cocok
Selalu menyenangkan melihat karakter perempuan yang kuat dan bisa berdiri untuk dirinya sendiri. Hal ini terlihat pada diri Tara. Pengembangan karakternya pun baik dan enggak dipaksakan.
Kita bisa melihat bagaimana Tara memang sekuat tenaga menjadi mandiri karena keadaan memaksa. Bagaimana kekuatan itu rapuh ketika sang adik bunuh diri, dan membuatnya mengambil keputusan yang konyol buat memanggil arwah sang adik. Dari sini kita bisa melihat, sekuat-kuatnya seseorang, tentu punya titik rapuh tertentu yang membuatnya justru mencelakai diri sendiri.
Selain karakterisasi yang apik terutama pada tokoh utama, divisi casting juga patut diacungi jempol. Jessica Mila sangat cocok memerankan perempuan muda yang kuat tetapi punya sisi rapuh. Winky Wiryawan, juga cocok banget sebagai Aryan, duda anak satu yang penyayang, memesona, sekaligus memiliki rahasia kelam.
Hal yang paling mencengangkan adalah bagaimana boneka Bobby sangat mirip dengan Muhammad Zidane, pemeran dari Gian. Kabar bahwa boneka animatronik ini khusus dipesan dari luar negeri dengan harga mahal bukan sekadar gimmick. Terbukti, bahwa mahal dan langkanya boneka itu punya manfaat dalam mendukung vibe creepy di dalam film.
Lagipula, apa yang lebih mengerikan daripada melihat anak kecil (yang seharusnya punya nurani yang bersih), tiba-tiba berubah menjadi sosok kelam dan hal itu sebetulnya dilandasi oleh dendam?
Membenci Bobby adalah hal yang dilematis. Di satu sisi, ia adalah boneka creepy yang doyan membunuh dan posesif. Di sisi lain, ia “hanyalah” anak kecil yang terluka. Ia seolah enggak pantas mendapatkan akhir semacam itu ketika orang yang menyebabkan hidupnya hancur justru bisa hidup dan mendapatkan akhir yang baik.
Beberapa kejanggalan yang bisa dilupakan
Dari divisi akting, casting, latar, dan sinematografi, boleh dibilang The Doll layak mendekati A. Namun, memang ada beberapa kejanggalan yang agak mengganggu kalau kamu orangnya terlalu rinci.
Misalnya, beberapa dialog yang kaku, yang sebetulnya enggak akan pernah dipakai orang Indonesia waktu lagi ngobrol. Kemudian, gerakan boneka Bobby yang terlalu cepat. Ya, penonton tahu bahwa Bobby adalah boneka yang kerasukan arwah, tetapi pergerakannya seolah seperti Bobby adalah makhluk halus yang enggak pakai media fisik buat beraksi. Semestinya, pergerakan Bobby dibuat lebih lamban, tetapi tetap mematikan.
Selain itu, akan lebih menyenangkan kalau hubungan antara Tara dan Gian lebih diperdalam, sehingga kita bisa merasakan empati saat Tara membuat keputusan untuk mengambil arwah adiknya. Apa yang ditampilkan di awal seolah cuma menegaskan kalau rasa sayang mereka itu ada karena mereka memang punya hubungan darah saja.
***
Dibuka dengan manis, ditutup dengan plot twist berkualitas. Secara keseluruhan film ini melampaui ekspektasi kita. The Doll 3 bahkan mampu menjawab skeptisisme orang-orang yang menganggap kalau sejak sekuel pertamanya, franchise ini cuma salinan dari legenda urban Amerika Serikat tentang boneka berarwah. Setiap keputusan yang diambil tokoh sesuai premis, begitu pula dengan plotnya.
Maka, enggak mengherankan kalau film ini langsung meraup hingga 180.000 penonton pada penayangan pertamanya. Mungkin sulit untuk berharap ia akan menyamai jumlah penonton dan viralitas KKN di Desa Penari, karena enggak ada gimmick marketing yang menyertainya.
Meski begitu, kalau bicara soal kualitas, The Doll 3 membuktikan kualitas sineas kita dalam membuat film yang logis dan sesuai premis.
Selain itu, film ini juga memberikanmu satu pesan moral: mulai perhatikan kesehatan mental orang di sekitarmu. Bisa saja seseorang yang kamu kira baik-baik saja, ternyata justru memendam kesakitan yang hebat. Butuh pendampingan dan empati besar agar hal yang terjadi kepada anak seperti Gian enggak terjadi kepada orang terdekat kita.