*Spoiler Alert: Review film Wolf Pack mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.
Nuansa Imlek bisa dibilang masih cukup terasa hingga saat ini. Beberapa waktu lalu, ada film Tiongkok berjudul Sakra yang dirilis di bioskop Indonesia sebelum Imlek. Nah, setelah Imlek, ada film Tiongkok lainnya yang kini sedang meramaikan bioskop Indonesia, berjudul Wolf Pack.
Walau baru dirilis pada Januari 2023 di Indonesia, Wolf Pack sebenarnya sudah dirilis duluan di Tiongkok pada September 2022. Disutradarai oleh Michael Chiang, film ini dibintangi oleh Aarif Rahman, Jin Zhang, Luxia Jiang, Mark Luu, Kuo-Chung Tang, dan aktor Tionghoa lainnya.
Wolf Pack berkisah tentang unit antiteroris yang terlibat dalam misi keamanan luar negeri. Mereka menemukan sekelompok teroris yang ingin menghancurkan jalur pipa gas yang bisa mengakibatkan krisis energi. Di bawah komando Lao Diao, tujuh anggota Wolf Pack berusaha menggagalkan operasi teroris dalam waktu 36 jam.
Review film Wolf Pack
Desain produksi mewah, tetapi ceritanya berantakan
Selama menonton Wolf Pack, satu kesan positif yang muncul dari pikiran saya adalah desain produksinya yang mewah, layaknya film aksi produksi Hollywood. Berlatar tempat pada negara fiksi di Timur Tengah, bernama Cooley, film ini menampilkan nuansa gurun, pedesaan, dan lingkungan industri yang begitu niat dan berskala besar.
Desain produksi boleh disandingkan sama film Hollywood. Sayangnya, plot yang ditampilkan Wolf Pack sama sekali enggak sebanding dengan desain produksinya. Filmnya sebenarnya dibuka dengan awal yang cukup menjanjikan, tentang seorang dokter bernama Ke Tong yang tiba-tiba diculik oleh komplotan misterius. Namun, seiring berjalannya filmnya, plotnya berjalan begitu datar.
Ke Tong diculik oleh Wolf Pack karena dia adalah anak salah satu anggota terdahulu yang telah meninggal. Di sisi lain, Ke Tong tidak tahu bahwa ayahnya semasa hidupnya bekerja di dalam unit antiteroris. Pemimpin Wolf Pack, Diao, sengaja memaksa Ke Tong bergabung ke timnya untuk menolong Ke Tong dari hidup tanpa arah setelah kematian orang tuanya.
Alasan Diao membawa Ke Tong saja sudah enggak logis. Jika ingin menolong, kenapa Diao malah menjerumuskan Ke Tong ke dalam pekerjaan yang berbahaya? Padahal, Ke Tong sudah memiliki pekerjaan mulia sebagai dokter relawan. Dari situ hingga menjelang akhir film, banyak hal yang terlalu dipaksakan supaya membuat nilai sentimental di filmnya.
Hadirkan karakter dengan asal-usul tidak jelas
Ada tujuh orang yang diceritakan bergabung dengan Wolf Pack. Namun, hanya beberapa anggota yang ditonjolkan di sepanjang film, khususnya Ke Tong dan Diao. Berhubung filmnya terlalu fokus pada aksinya yang jor-joran, sutradara maupun tim penulis naskah tampaknya enggak punya waktu untuk memberikan latar belakang yang jelas tentang Ke Tong dan Diao.
Ke Tong baru tahu bahwa ayahnya menjadi anggota Wolf Pack saat dia diculik oleh Diao. Namun hingga akhir film, Diao sama sekali tidak menjelaskan alasan ayahnya Ke Tong bisa terlibat di Wolf Pack. Film ini juga memperlihatkan bagaimana Diao kehilangan segalanya, termasuk harus jauh dari keluarganya karena pekerjaannya. Namun, tidak dijelaskan alasan mengapa sejak awal Diao mau terjerumus di dunia ini.
Lalu sang karakter utama, Ke Tong, diceritakan sebagai dokter. Namun untuk ukuran seorang dokter, Ke Tong dapat dengan mudahnya melakukan berbagai keahlian tentara bayaran. Dia langsung ahli menggunakan senjata api, bertarung, dan hal lain yang tentunya tidak didapatkan saat kuliah kedokteran. Masalahnya, tidak dijelaskan di sepanjang film apakah Ke Tong memang pernah belajar bela diri atau tidak.
Tonjolkan deretan aksi dari awal sampai akhir
Selain desain produksi yang mewah, nilai jual lainnya yang bisa kamu dapatkan di film ini adalah adegan aksinya yang jor-joran dari awal sampai akhir. Film Tiongkok biasanya identik dengan aksi dengan bela diri tradisional. Namun di Wolf Pack, kamu menemukan adegan aksi ala Hollywood yang biasanya kamu lihat di film-film bertema tentara bayaran.
Yap, aksi di film ini lebih banyak mengandalkan senjata api, walau juga disisipi dengan aksi bela dirinya. Para anggota Wolf Pack juga diperlihatkan menggunakan berbagai alat canggih yang membuat aksi nuansa Hollywood-nya makin terasa. Adegan aksinya pun cukup berdarah-darah. Namun pada beberapa adegan, cipratan darah yang dihasilkan melalui CGI terlihat kurang rapi.
***
Saking terlalu fokus menampilkan aksi mewah ala Hollywood, orang-orang di balik penggarapan Wolf Pack jadi lupa untuk memberikan cerita yang sama menariknya dengan sajian aksinya. Para tentara bayaran di film ini beraksi tanpa motivasi yang kuat. Di sisi lain, filmnya memaksakan untuk menampilkan hal yang sentimental tetapi tanpa latar belakang yang jelas.
Setelah baca review film Wolf Pack, apakah kamu jadi tertarik menonton film aksi ini? Buat yang sudah menonton, jangan lupa bagikan pendapat kamu tentang film ini, ya!