*Spoiler Alert: Review film The Woman King mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.
Hollywood sudah cukup sering membuat film yang ceritanya diadaptasi dari sejarah di kehidupan nyata. Enggak hanya sejarah tentang Amerika Serikat atau Eropa, Hollywood juga mengadaptasi sejarah dari negara lain, termasuk Afrika. Belum lama ini, Sony Pictures merilis film yang diadaptasi dari salah satu sejarah Afrika Barat, yaitu The Woman King.
The Woman King digarap oleh Gina Prince-Bythewood, sosok yang juga menyutradarai The Old Guard (2020). Film ini dibintangi oleh Viola Davis sebagai pemeran utamanya. Sebagai informasi, Davis adalah pemeran Amanda Waller di DC Extended Universe (DCEU). Selain Davis, film ini juga dimeriahkan oleh Thuso Mbedu, Lashana Lynch, Sheila Atim, dan John Boyega.
The Woman King berkisah tentang Agojie, prajurit perempuan yang melindungi Kerajaan Dahomey yang terletak di Afrika Barat, selama abad 17—19. Nah, film ini mengambil latar waktu tepatnya pada 1823. The Woman King memperlihatkan bagaimana seorang jenderal Agojie, bernama Nanisca, mempertahankan kejayaan Dahomey dari Kerajaan Oyo dan jajahan orang Eropa.
Review film The Woman King
Tampilkan kisah heroik Agojie dengan isu yang cukup kompleks
Seperti yang telah dijelaskan di atas, The Woman King berfokus pada kisah perjuangan pasukan perempuan Kerajaan Dahomey yang diberi nama Agojie. Bahkan sejak pembukaan film, kita sudah diperlihatkan bagaimana badass-nya Agojie mengalahkan sekutunya Kerajaan Oyo dan membebaskan para tawanan yang hendak dijual ke orang Eropa.
Tidak sekadar menampilkan bagaimana badass-nya Agojie melawan Oyo, The Woman King juga menampilkan konflik lain yang cukup kompleks. Mulai dari usaha menghentikan penjualan orang antarsuku untuk dijadikan budak kepada orang Eropa, munculnya konflik lama orang tua dan anak, hingga kelamnya masa lalu para prajurit Agojie sebagai perempuan.
Enggak bisa dimungkiri bahwa cerita The Woman King memiliki pesan women empowering dan isu rasisme. Namun, film ini enggak langsung begitu saja membuat perempuan jadi lebih baik dari laki-laki. Soalnya, kita masih bisa melihat bagaimana sisi rapuhnya para anggota Agojie. Bahkan, pasukan perempuan dan laki-laki Dahomey terlihat bekerja sama pada pertempuran akhir filmnya.
Sebagai film drama histori, The Woman King berhasil menyajikan pengalaman epic yang sama sekali enggak membosankan hingga akhir film. Drama dan aksi yang disajikan film ini memiliki porsi yang seimbang dan pace filmnya tidak terasa lambat. Lalu, pembangunan karakternya yang begitu menarik membuat penonton terus ingin tahu kelanjutan filmnya hingga akhir.
Viola Davis dan para pemeran Agojie yang begitu mencuri perhatian
Pemeran Amanda Waller di DCEU, yaitu Viola Davis, menjadi pemeran utama di The Woman King dengan memerankan Nanisca. Davis berhasil memerankan sosok jenderal yang begitu kuat, tetapi sebenarnya menyimpan kerapuhan. Dengan pengalamannya memerankan Waller di DCEU, rasanya enggak heran melihat Davis terlihat begitu tangguh dan mengintimidasi sebagai Nanisca.
Namun, Davis bukan satu-satunya aktris yang paling mencuri perhatian di The Woman King. Semua aktris yang memerankan anggota Agojie benar-benar berhasil menampilkan ketangguhan prajurit pelindung kerajaan. Di antara semua pemeran Agojie, aktris yang memerankan Nawi, yaitu Thuso Mbedu, juga patut mendapatkan apresiasi lebih karena karakternya mendapatkan pembangunan paling dominan di film ini.
Hadirkan aksi maksimal dengan bumbu kebrutalan
Salah satu poin utama yang membuat The Woman King terasa begitu menarik ditonton adalah karena film ini menampilkan aksi yang cukup banyak di sepanjang filmnya. Film ini mendapatkan rating “PG-13”, tetapi sutradara Gina Prince-Bythewood berani mendekati batas rating tersebut dengan menampilkan pertarungan yang terbilang agak sadis.
Dengan bermodalkan parang, Agojie tanpa ragu membacok lawan-lawannya, yang terbilang cukup brutal untuk ukuran film “PG-13” walaupun tidak ada cipratan darah atau potongan tubuh yang jatuh. Selain bacok-membacok, film ini juga menampilkan teknik gulat dalam koreografi pertarungannya, sehingga kita juga bisa melihat aksi banting-membanting dalam berbagai pertarungan The Woman King.
***
The Woman King hadir sebagai film dengan isu woman empowering dan rasisme yang berlatar waktu pada era 1820-an. Enggak hanya sekadar memperlihatkan bagaimana badass-nya para pasukan perempuan Agojie, film ini juga memperlihatkan konflik lainnya yang cukup kompleks. Selain cerita, The Woman King juga menampilkan pertarungan epic yang cukup bikin ngilu.
Setelah baca review film The Woman King, apakah kamu jadi tertarik menonton film ini? Buat yang sudah menonton, jangan lupa bagikan pendapat kamu tentang film ini, ya!