*Spoiler Alert: Review film Resident Evil: Welcome to Raccoon City mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.
Game Resident Evil sebenarnya telah diadaptasi menjadi film live action sejak 2002. Sayangnya, film pertama Resident Evil (2002) menghadirkan jalan cerita yang berbeda dari gamenya, bahkan menampilkan karakter baru sebagai karakter utamanya, yaitu Alice. Walau menyimpang dari gamenya, film Resident Evil sukses secara pendapatan hingga berkembang sebanyak enam film.
Empat tahun setelah perilisan Resident Evil: The Final Chapter (2017), Sony Pictures merilis film reboot Resident Evil yang diberi judul Resident Evil: Welcome to Raccoon City. Sutradara versi reboot-nya, yaitu Johannes Roberts, menjanjikan jika Welcome to Raccoon City bakal setia dengan dua game pertama Resident Evil.
Berlatar waktu pada 1998 seperti gamenya, Resident Evil: Welcome to Raccoon City berkisah tentang kota Raccoon yang dijadikan pusat penelitian Umbrella Corporation. Setelah kabur selama belasan tahun, Claire Redfield memutuskan kembali ke Raccoon karena merasa ada keanehan dengan kota tersebut. Sesampainya di Raccoon, Claire langsung menyaksikan permulaan wabah zombi.
Review film Resident Evil: Welcome to Raccoon City
Usaha untuk setia pada game tapi gagal dari segi cerita
Seri film Resident Evil yang dibintangi Milla Jovovich memang mengecewakan penggemar game legenda ini karena jalan ceritanya yang menyimpang. Itulah sebabnya, sutradara Johannes Roberts berusaha mengobati kekecewaan penggemar dengan menggarap Welcome to Raccoon City. Secara garis besar, usaha Roberts untuk setia kepada gamenya memang cukup terbukti di film ini.
Semua karakter yang muncul di Welcome to Raccoon City benar-benar diambil dari dua game pertama Resident Evil, walaupun penampilan beberapa karakter tidak akurat laiknya di game. Penggambaran kantor polisi Raccoon City dan Spencer Mansion di film ini juga persis dengan gamenya. Kamu yang penggemar berat game Resident Evil dijamin bakal menemukan banyak easter egg game dalam Welcome to Raccoon City.
Namun, sutradara Roberts tampaknya terlalu fokus membuktikan bahwa dia bisa membuat film live action yang setia dengan game, hingga dia kurang memaksimalkan aspek cerita di film ini. Sebagai informasi, Roberts juga berperan sebagai penulis naskah Welcome to Raccoon City. Sayangnya, Roberts kurang berhasil menerjemahkan cerita dari game menjadi format film.
Seperti gamenya, Welcome to Raccoon City memang lebih menonjolkan elemen horor pada ceritanya. Sayangnya, penceritaan film ini terasa begitu datar untuk ukuran film horor dan kurang membangun perasaan mencekam pada penontonnya. Ketika ada adegan menegangkan atau munculnya jump scare, penonton malah kurang mendapatkan ketegangan yang seharusnya.
Lelucon hambar dan penggunaan kata umpatan yang terlalu berlebihan
Dialog merupakan salah satu hal penting dalam proses penceritaan sebuah film. Kualitas sutradara atau penulis naskah juga bisa dinilai dari penggunaan kata-kata dalam merangkai dialog filmnya. Sayangnya, Welcome to Raccoon City menampilkan dialog yang terdengar cukup cringe hampir di sepanjang filmnya!
Walau mengedepankan elemen horor, sutradara Roberts juga memasukkan beberapa lelucon yang dibuat sebagai pencair suasana di Welcome to Raccoon City. Bukannya mencairkan suasana, leluconnya malah ditampilkan pada suasana yang enggak tepat. Boro-boro mau ketawa, kamu mungkin enggak sadar jika ada karakter yang berusaha melucu karena leluconnya yang dipaksakan.
Selain lelucon yang “garing”, hal lainnya yang membuat dialog di Welcome to Raccoon City terdengar cringe adalah penggunaan kata umpatan yang berlebihan, khususnya kata “f*ck”. Sutradara Roberts seakan mau menegaskan bahwa, “Welcome to Raccoon City ini film buat penonton 18 tahun ke atas, loh”, tapi kayaknya justru berlebihan.
Sebenarnya enggak ada yang salah dengan penggunaan kata umpatan. Namun, penonton pasti enek juga jika harus mendengar kata yang sama hampir di setiap dialognya. Rasanya justru seperti karakter di Welcome to Raccoon City adalah bocah yang baru kenal kata “f*ck” dan terus-menerus menggunakan kata tersebut agar terlihat keren.
Visual film kelas B yang terlalu kentara
Kalau dibandingkan seri film Resident Evil versi Milla Jovovich, Welcome to Raccoon City diproduksi dengan bujet yang lebih rendah, yaitu 25 juta dolar (sekitar Rp357 miliar). Bujet yang terbilang kecil untuk ukuran film Hollywood ini akhirnya berpengaruh pada efek visual yang ditampilkan di Welcome to Raccoon City.
Sadar dengan bujet yang kecil, Welcome to Raccoon City memang enggak menampilkan banyak adegan yang membutuhkan efek visual. Namun begitu ada karakter yang dibuat menggunakan teknologi CGI, kamu bisa melihat dengan jelas bagaimana kurangnya efek visual yang ditampilkan di Welcome to Raccoon City, bagaikan melihat efek visual film kelas B.
Enggak diragukan lagi bahwa sutradara Roberts memang begitu setia kepada dua game pertama Resident Evil yang dirilis di akhir 1990-an. Sampai-sampai, efek visual yang ditampilkan terasa cukup jadul untuk film era 2020-an.
***
Setelah menonton Welcome to Raccoon City, kamu mungkin berpikir bahwa seri film Resident Evil versi Milla Jovovich jauh lebih baik walaupun sangat menyimpang dari gamenya. Bisa jadi, game Resident Evil memangterlalu sulit untuk diterjemahkan menjadi film live action jika sutradara berusaha terlalu setia dengan gamenya?
Setelah baca review film Resident Evil: Welcome to Raccoon City, apakah kamu jadi tertarik menonton film ini? Buat yang sudah menonton, jangan lupa tulis pendapat kamu pada kolom komentar, ya!