– Membahas beberapa tokoh film The Platform dan kaitannya dengan Indonesia.
– Bagaimana sutradara dan penulis skenario membuat film dengan ending yang multitafsir?
Ada satu film Netflix yang unik dan layak dapat perhatian kalian nih, judulnya adalah The Platform. Film ini berkisah tentang sebuah penjara di dunia antah-berantah dengan sistem vertikal. Berbeda dengan penjara pada umumnya yang masih punya peraturan manusiawi, penjara dalam The Platform seolah ingin membunuh para penghuninya pelan-pelan.
The Platform adalah film produksi Spanyol yang dirilis pada 20 Maret 2020. Disutradarai oleh Galder Gaztelu-Urrutia, film dengan judul asli El Hoyo ini mendapatkan penghargaan Toronto International Film Festival sebagai People’s Choice Awards for Midnight Madness.
Di Rotten Tomatoes, dia mendapatkan skor sebesar 82%. Variety bahkan menyebut bahwa film ini memiliki vibes yang sama dengan teater Waiting for Godot-nya Samuel Beckett. Nuansanya begitu minimalis dan sebagian besar hanya mengandalkan dialog. Namun, karena dialognya sangat kuat, maka film ini pun jadi tidak membosankan.
The Platform, Potret Kesenjangan Sosial di Ruang Sempit
Suatu hari, Goreng terbangun di sebuah ruangan bernomor 48 yang sangat sempit. Ruangan itu begitu pengap dan hanya ada satu orang yang menemaninya, bernama Trimagasi.
Kepada Goreng, Trimagasi menjelaskan bahwa mereka berada di dalam sebuah gedung misterius dengan konsep tower. Setiap lantai berisi satu sel dan setiap sel dihuni oleh dua orang saja. Makanan didistribusikan melalui sel paling atas dan berlanjut sampai sel paling bawah. Penghuni di sel paling atas diizinkan untuk makan sebanyak mungkin. Sementara itu, orang-orang di bawah hanya bisa memakan sisa dari tower bagian atas.
Di waktu tertentu, sel-sel tersebut akan ditukar, sehingga enggak selamanya orang yang berada di sel teratas akan makmur, begitu pula sebaliknya. Terdengar adil, ‘kan? Masalahnya, bagaimana cara mereka bertahan hidup saat sudah enggak ada makanan yang tersisa dari atas?
Masalah bertambah saat tiba-tiba, Goreng dan Trimagasi bertemu dengan Miharu. Dia menyisir sel demi sel untuk menemukan sang anak. Setelahnya, kita jadi tahu alasan kenapa Goreng dan Trimagasi ada di sel yang enggak manusiawi itu. Goreng rupanya merelakan dirinya berada di dalam sebuah program bernama Vertical Self-Management Center sebagai syarat mendapatkan gelar di kampus.
Sementara itu, Trimagasi diletakkan di sana karena menjadi terdakwa pembantaian manusia. Trimagasi membawa pisau lipat ke dalam penjara, sementara itu Goreng membawa buku Don Quixote.
Goreng dan Trimagasi awalnya akur dalam satu bulan pertama. Namun, pada suatu hari, Goreng menemukan dirinya terikat dan Trimagasi hendak memakan beberapa bagian tubuhnya untuk bertahan hidup. Dia berjanji bahwa ia bakal memakan bagian tubuh yang enggak vital sehingga membuat Goreng bertahan hidup.
Dalam adegan-adegan berikutnya, kita bakal dihadapkan sama kematian Trimagasi karena dibunuh Miharu, teman sel baru Goreng bernama Imoguiri yang terkena kanker dan pernah bekerja sebagai administrator sel, hingga teman sel baru lain Goreng bernama Baharat yang secara terpaksa mengikuti Goreng untuk meyakinkan teman sel lain agar menerapkan pola sharing alias berbagi supaya enggak ada yang kelaparan. Makan seperlunya, minum secukupnya. Mereka yang membangkang bakal dibunuh.
Akhir Kisah yang Kontroversial
Akhir kisah dari The Platform dipenuhi dengan berbagai interpretasi. Pada layar, terlihat bahwa Goreng dan Baharat menemukan anak Miharu, yang ternyata seorang perempuan. Baharat, masih memegang sebuah panna cotta yang tersisa, enggan memberikan makanan itu kepada anak Miharu karena ia ingin memberikan panna cotta itu ke platform, supaya para koki di atas paham bahwa mereka semua berhasil buat berbagi.
Namun, Goreng bersikeras bahwa anak Miharu adalah pesannya. Jika anak Miharu bertahan hidup, hal tersebut bisa meyakinkan para pemberi makanan dan otoritas di atas, bahwa mereka semua tidak layak diperlakukan seperti itu lagi, karena rasa kemanusiaan mereka masih ada.
Setelahnya, Goreng memeluk anak Miharu di elevator makanan, lalu mereka turun ke lantai terbawah. Di sana, Goreng bertemu dengan Trimagasi (yang seharusnya sudah mati). Trimagasi mengajak Goreng untuk turun, meyakinkannya bahwa anak Miharu enggak butuh pengasuh. Dia akan baik-baik saja, dan sukses.
Ada dua interpretasi. Pertama, bahwa apa yang dialami Goreng itu nyata dan Trimagasi enggak mati. Dia berhasil melewati tes dan untuk itulah dia bebas. Hanya saja, ada yang bilang bahwa semua yang dialami Goreng di saat-saat terakhir, mulai dari bertemu anak Miharu bersama Baharat, memberinya panna cotta, turun ke bagian paling dasar platform, dan dijemput Trimagasi, adalah imajinasi-imajinasi Goreng menjelang kematiannya.
Dalam sebuah wawancara, Galder Gaztelu-Urutia mengatakan bahwa dia mengizinkan penonton untuk memiliki interpretasi berbeda mengenai The Platform. Namun, dia mengatakan, "Bagi saya, lantai 0 (dasar) itu enggak bener-bener ada. Goreng sebelumnya sudah mati dan (adegan) itu cuma imajinasi Goreng tentang apa yang seharusnya dia lakukan".
Nama-nama Bahasa Indonesia di dalam The Platform
Ada yang unik dalam film The Platform. Film distopia ini merupakan produksi Spanyol, terjadi di sebuah tempat yang antah-berantah, aktor multiras, dengan nama-nama yang kebanyakan terinspirasi dari istilah-istilah di Indonesia.
Tokoh utama dari film ini bernama Goreng. Teman sekamar pertamanya, adalah Trimagasi (terinspirasi dari “Terima Kasih” dalam bahasa Indonesia). Teman sekamar barunya, yang punya pemikiran klise, bernama Imoguiri (terinspirasi dari daerah Imogiri, makam kerajaan di Yogyakarta). Sementara itu, penghuni lain di kursi roda yang dianggap bijak bernama Sr. Brambang (Mr. Brambang).
Terkait hal ini, kami mencari latar belakang dari sutradara The Platform, Galder Gaztelu-Urutia dan dua penulis skenario The Platform, David Desola dan Pedro Rivero . Penggunaan nama-nama dari suatu negara bisa saja disebabkan oleh pengaruh budaya sutradara atau penulis, seperti Pierre Coffin, sutradara Despicable Me dan Minions yang beberapa kali menyisipkan frasa-frasa bahasa Indonesia di dalam dialog minion karena ibunya adalah Nh. Dini, orang Indonesia, dan dia sempat ke Indonesia.
Galder merupakan seorang sutradara kelahiran Bilbao, Spanyol, pada 1974. Dia menghabiskan hidup di Spanyol, kuliah manajemen bisnis di Spanyol, dan membuat film di Spanyol. Sebelum menelurkan The Platform yang cukup sukses di Netflix, Galder sudah pernah menyutradarai dua film, yakni 913 (2003) dan The House on the Lake.
Ketimbang menyutradarai film-film festival, sebetulnya Galder lebih dalam berkecimpung di dunia periklanan. Nah, otak utama dari The Platform sebetulnya terletak pada dua penulis skenarionya. Merekalah yang menelurkan ide dan merancang cerita.
Pengalaman David Desola di bidang sastra memang jauh lebih dalam dibandingkan Galder. Karya-karyanya bahkan sering dibandingkan dengan karya-karya tragikomedi dan teater absurd ternama seperti Samuel Beckett atau Dario Fo.
Dia telah berkiprah di dunia teater Spanyol dari dekade ‘90-an. Pada 1999, dia memenangkan hadiah utama berupa Marqués de Bradomìn melalui Tiles, karya pertamanya. Dia juga menerima penghargaan melalui karyanya pada 2002 berjudul Estamos-Estamos. Namun, tidak ada catatan mengenai Indonesia atau Melayu dalam setiap jejak langkahnya.
Hal yang sama juga berlaku sama penulis skenario lain The Platform, Pedro Rivero. Dia merupakan seorang penulis naskah dan produser asal Bilbao, Spanyol. Beberapa karyanya yang ternama adalah La crisis carnívora (2007), Birdboy (2011), dan Psiconautas (2015).
Dalam wawancara bersama El Cultural, Galder mengatakan bahwa mereka terinspirasi dari beberapa karya, misalnya Exterminating Angel-nya Luis Buñuel, Delicatessen dari J.P Jeunet dan Marc Caro, Blade Runner dari Riddle Scott, dan Taxi Driver-nya Martin Scorsese. Jelas latar belakang ketiga otak di balik The Platform enggak punya hubungan khusus sama Indonesia. Dalam setiap wawancara, mereka enggak menyebut soal Indonesia. Namun, ide enggak ada batasnya.
Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang, punya masalah kesenjangan sosial. Berdasarkan survei dari BPS, rasio Gini alias rasio kesenjangan sosial di Indonesia tahun 2017 adalah 0,391. World Bank mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi satu dekade terakhir di Indonesia cuma bikin untung 20 persen orang terkaya di Indonesia. Masalah kesenjangan sosial bukan cuma milik Indonesia, tetapi cukup realistis kalau ada sineas yang memutuskan buat menggunakan Indonesia, sebuah negara berkembang, sebagai inspirasi.
Selain itu, fakta bahwa Indonesia/Melayu dijadikan inspirasi penamaan ada pada media Spanyol, La Republica-lah yang menjelaskan mengenai asal-usul penamaan tokoh. Namun, media tersebut enggak menyebutkan makna-maknanya. Dia hanya menyebutkan poin-poin bahwa Goreng adalah nama yang bisa berasal dari bahasa komunitas Noongar, penduduk asli Australia (bahasa Koreng/Goreng) dan juga digunakan oleh orang Indonesia, Malaysia, dan Singapura untuk menyebutkan proses memasak.
Sementara itu, Trimagasi mengacu pada bahasa Melayu terima kasih. Imoguiri, berasal dari nama Imogiri di Indonesia (yang terinspirasi dari bahasa Sansekerta Himagiri – gunung tinggi). Kemudian, Baharat, adalah rempah-rempah Timur Tengah, dan Brambang adalah bahasa Jawa dari bawang merah.
Film adalah sebuah teks yang bisa diinterpretasikan secara berbeda, tergantung dari siapa yang menikmatinya. Seorang filsuf Prancis bernama Jacques Derrida, yang berfokus pada tema dekonstruksi dan hermeneutika, mengatakan sebuah hal tentang teks, “Tidak ada realitas di luar teks.”
Jadi, film atau apapun itu, terlepas dari pendapat pribadi pembuat, bakal balik lagi ke interpretasi penikmatnya, dalam hal ini penonton. Hal ini bakal lebih terbuka lagi kalau pembuatnya bahkan sudah mengizinkan penonton buat memiliki interpretasi sendiri-sendiri dan enggak menyatakan apapun atas hal tersebut.
Meskipun enggak ada media yang spesifik membahas soal makna, para penggiat forum-forum besar seperti Reddit dan Stackexchange udah membahas soal hal tersebut.
Terinspirasi dari apa yang disebutkan oleh pengguna Stackexchange dengan nama akun FN.R, dia menyebutkan bahwa The Platform bisa saja menyinggung soal kepemimpinan lawas beberapa negara di Asia Tenggara, sebut saja Kamboja dan Indonesia. Dia juga menghubungkan nama-nama tersebut dengan apa yang dilakukan pada tokoh.
Goreng, adalah tokoh protagonis dengan latar belakang paling bersih dan noble. Ada satu hal menarik terkait penamaan ini. Dalam buku El Ingenioso Hidalgo Don Qvixote de la Mancha yang dibawa oleh Goreng, terdapat sebuah quote yang cukup terkenal: “you will see when the eggs are fried (al freír de los huevos lo verá)”, atau kalian bakal tahu kapan telurnya matang/selesai digoreng. Makna dari quote ini adalah waktu akan menjawab semua pertanyaan kalian.
Goreng bisa saja merujuk pada quote tersebut, karena buku yang dibawa oleh Goreng cukup disorot tetapi enggak dibahas lebih lanjut. Goreng, yang dalam bahasa Spanyol adalah freír, merujuk pada segala pertanyaan Goreng sendiri tentang apa yang terjadi dalam The Platform.
Bagaimana dengan Imoguiri? Imoguiri terinspirasi dari nama Imogiri, sebuah daerah di Yogyakarta yang di dalamnya terdapat makam raja-raja (para petinggi). Uniknya, sebelum masuk ke dalam sel, Imoguiri adalah seorang admin di penjara tersebut (dalam pandangan para narapidana, dia tentu adalah pejabat).
Dia masuk saat dirinya kena kanker, dan yakin banget kalau dia bisa memperbaiki keadaan di Platform. Namun, tentu saja Imoguiri enggak bener-bener bisa memperbaikinya. Bukan karena dia berniat jahat, tetapi sederhananya, dia enggak bener-bener paham kondisi di sana. Dia bahkan enggak menebak berapa lantai yang ada dengan benar.
Tokoh Imoguiri ini sama seperti para pejabat atau petinggi yang merasa bahwa mereka paham masalah di tengah masyarakat, tetapi nyatanya mereka cuma tahu soal teori. Praktiknya nol besar. Imoguiri bisa berceramah soal pentingnya berbagi dan pentingnya enggak saling membunuh, tetapi mereka yang pernah kelaparan pasti bakalan kalap waktu dihadapkan pada banyak makanan.
Dan, mereka yang terinjak, bakal mengeluarkan sisi beringas. Imoguiri, yang merujuk pada nama makam raja (Imogiri) dari bahasa Sansekerta Himagiri (gunung tinggi) terlalu “tinggi” buat memahami hal-hal itu.
Kemudian, tokoh Trimagasi. Trimagasi adalah nama yang diambil dari frasa terima kasih. Trimagasi adalah sosok yang memberi tahu Goreng tentang apa yang terjadi di Platform, menyadarkan Goreng tentang bahaya yang mengancam (melalui perilaku kanibalismenya), dan juga menjadi sosok yang memberi tahu Goreng bahwa anak Miharu enggak butuh pengasuh. Trimagasi adalah sosok kunci yang membuat Goreng jadi tahu apa yang harus dia lakukan dan keputusan apa yang harus diambil, untuk itu, bisa saja dia harus “berterima kasih”.
Bagaimana dengan Baharat dan Sr. Brambang? Baharat adalah istilah Timur Tengah buat rempah, dan Brambang adalah bahasa Jawa dari bawang. Keduanya hadir di tengah masyarakat Asia Tenggara enggak cuma sebagai makanan, tetapi bagian dari budaya. Bahkan, keduanya menjadi elemen-elemen yang bikin makanan jadi lezat dan bisa dinikmati.
Baharat dan Brambang adalah dua orang yang cukup bijak dan berusaha buat mewujudkan “kesetaraan”. Jadi, mereka menjadi simbol harapan di tengah kesenjangan sosial dan chaos di penjara tersebut.
Jadi, Apakah The Platform Menggambarkan Kondisi Indonesia?
Penamaan tokoh-tokoh di The Platform memang cenderung merujuk pada penamaan di Indonesia, dan hal itu sudah dikonfirmasi oleh beberapa media resmi Spanyol. Namun, interpretasi tentang maknanya terbuka banget. J.K Rowling, dalam Harry Potter banyak menggunakan istilah Prancis, termasuk dalam nama Voldemort yang berarti terbang dari kematian atau Malfoy yang berasal dari frasa ‘mal foi’ (kepercayaan buruk). Namun, Harry Potter enggak lantas menyimbolkan kehidupan di Prancis atau tentang orang jahat di Prancis, bukan?
Yang jelas, Galder cuma mengonfirmasi bahwa dia mau mengritik perkara manusia dan aliran-aliran yang mereka yakini, mau itu kapitalisme atau komunisme. “Manusia adalah makhluk yang menyedihkan sekaligus berbahaya”, begitu ungkapnya dalam wawancara bersama El Cultural.
Kesimpulannya, The Platform bukan cuma tentang Indonesia. The Platform adalah sebuah film unik, filosofis, sekaligus menjijikkan yang bikin kita bertanya-tanya tentang seberapa mengerikannya manusia.
Oh ya, supaya enggak tertular penyakit di tengah pandemi Corona, jangan lupa untuk selalu menggunakan masker saat bepergian, ya! Langsung saja beli di sini!