*Spoiler Alert: Review film Penyalin Cahaya ini mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.
DISCLAIMER: KINCIR mengecam segala bentuk tindakan kekerasan seksual. Review ini ditulis redaksi KINCIR murni sebagai pengulas film.
Setelah tayang di Busan International Film Festival dan juga meraih 12 Piala Citra pada gelaran Festival Film Indonesia 2021, film Penyalin Cahaya akhirnya rilis pada 13 Januari 2022. Film ini menjadi debut penyutradaraan film panjang dari Wregas Bhanuteja.
Sinopsis film Penyalin Cahaya mengisahkan Suryani alias Sur, mahasiswi yang kehilangan beasiswanya setelah swafotonya saat mabuk tersebar ke media sosial. Sur yang tak ingat dengan foto itu kemudian mencoba untuk mengungkap fakta sebenarnya dengan bantuan temannya yang berprofesi sebagai tukang fotokopi. Namun, Sur justru menemukan fakta bahwa dirinya telah mengalami pelecehan seksual.
Nah, sebelum kamu nonton film Penyalin Cahaya pada layanan streaming Netflix, simak terlebih dahulu ulasan KINCIR berikut ini!
Review film Penyalin Cahaya
Perjuangan penyintas yang sesuai realita
Sepanjang film ini, kita akan bisa melihat perjuangan Sur dalam mengumpulkan bukti demi bisa mendapatkan kembali beasiswanya. Namun, Sur cuma ditemani oleh Amin dalam melakukan hal tersebut, karena hampir seluruh orang terdekatnya tak percaya, termasuk keluarganya sendiri. Hal ini karena kondisi Sur yang saat swafoto tersebut sedang mabuk sehingga banyak yang menganggapnya tak sadar.
Mirisnya, ketika Sur mengetahui telah menjadi korban pelecehan seksual, masih tak ada juga yang berpihak kepadanya. Ayah dari Sur menganggap hal itu sebagai kesalahan anaknya yang mabuk-mabukan, sementara pihak kampus justru cari aman buat menjaga nama mereka. Sekalinya mendapat dukungan dan bukti yang kuat, Sur tetap kalah dengan pelaku yang punya “power” lebih hebat darinya.
Kisah Sur tentunya terbilang mirip dengan perjuangan para penyintas kekerasan seksual dalam Indonesia yang sangat sulit buat mencari keadilan. Mereka terkadang harus berjuang sendiri tanpa bantuan pihak instansi yang seharusnya mendampingi mereka atau menunggu sampai kasusnya viral. Namun, perjuangan mereka juga terkadang jadi sia-sia, karena sang pelaku yang lebih punya kuasa seperti yang dialami Sur.
Film ini sebenarnya bisa menyadarkan kita dengan betapa sulitnya para penyintas kekerasan seksual mencari keadilan pada Indonesia karena memang semirip itu dengan kondisi aslinya. Bahkan, saking realistisnya, film ini akan sangat berpotensi membangkitkan trauma jika ditonton seorang penyintas. Apalagi, ending dari film ini terbilang sangat depresif dan bisa merusak mood kita yang menontonnya.
Akting para pemain yang menguras emosi
Kisah dalam film Penyalin Cahaya sukses menjadi jauh emosional lagi berkat performa dari para pemainnya, khususnya Shenina Cinnamon yang memerankan Sur. Shenina berhasil membawa penonton larut dalam emosi Sur yang merasa bingung, capek, dan kacau saat mencari keadilan atas kasusnya. Kamu akan benar-benar bisa merasakan setiap emosi dalam batin Sur berkat performa apiknya Shenina.
Sejumlah pemeran pendukung lainnya juga berhasil tampil memukau dalam film ini, seperti Chicco Kurniawan, Lutesha, Jerome Kurnia, dan Dea Panendra. Namun, menurut KINCIR akting pemeran pendukung paling mencuri perhatian justru terletak pada sosok Giulio Parengkuan yang memerankan Rama.
Giulio sukses tampil sebagai karakter yang terkesan kalem dan tak berdosa pada awal filmnya. Padahal, Rama sebenarnya adalah pelaku utama dengan fetish menyimpang yang telah melakukan pelecehan kepada Sur. Performa teatrikal Giulio saat adegan teatrikal Rama menjelang filmnya berakhir juga patut diacungi jempol karena mampu membuat perasaan penonton berkecamuk.
Banyaknya simbol semiotika yang bikin lebih dramatis
Terdapat banyak simbol semiotika yang ada dalam film Penyalin Cahaya. Salah satu yang paling jelas dan sudah ada sejak awal filmnya adalah kisah Medusa dan Perseus yang menjadi pertunjukan dari teater Matahari. Dalam mitologi Yunani, Medusa yang sebenarnya mengalami pemerkosaan oleh Poseidon justru mendapat hukuman dari Athena yang kemudian membuatnya menjadi monster berkepala ular.
Lalu, muncul Perseus, manusia setengah dewa yang mendapatkan misi untuk memenggal kepala Medusa. Meski banyak yang menganggapnya jahat, Medusa sebenarnya adalah simbol perlawanan terhadap patriarki. Nah, pada adegan teatrikal menjelang akhir filmnya, kita bisa melihat Rama sebagai Perseus yang berhasil membungkam Medusa dan saudara Gorgon-nya sebagai simbol kalau patriarki menang.
Selain itu, sepanjang film ini kita juga bisa melihat fenomena fogging nyamuk demam berdarah yang lekat dengan slogan 3M (Menguras, menutup, mengubur). Slogan itu sebenarnya dapat diartikan sebagai kasus pelecehan seksual yang kerap ditutup dan dikubur dan juga menguras emosi korbannya. Kehadiran sejumlah simbol itu tentunya membuat film ini menjadi jauh lebih dramatis lagi ketimbang biasanya.
Film bagus yang kebentur ironi kasus penulisnya
Penyalin Cahaya menjadi salah satu film Indonesia terbaik buat membuka 2022. Namun, rasanya memang agak sulit buat menonton film ini secara objektif setelah santer terdengar isu pelecehan seksual yang melibatkan penulisnya. Sangat ironi apabila sebuah film yang ingin menggambarkan realita penyintas kekerasan seksual justru harus tersandung isu yang diangkat.
Sulit rasanya menonton film ini tanpa berpikir kalau beberapa adegannya adalah tindakan yang pernah dilakukan oleh pelaku saking realistisnya. Tentunya, hal ini sangat disayangkan mengingat kerja keras para pemain serta sejumlah pihak lainnya yang ikut terlibat dalam produksi filmnya selain sang terduga.
***
Akhir kata, Penyalin Cahaya tetap layak disebut sebagai salah satu film terbaik pada awal 2022 ini karena punya keunggulan dari setiap aspek, terlepas dari kontroversi penulisnya. Jika kamu penasaran, film ini bisa kamu tonton secara legal lewat layanan streaming Netflix mulai 13 Januari 2022.
Nah, bagaimana tanggapan kamu tentang review film Penyalin Cahaya tersebut? Share pendapat kamu dan ikuti terus KINCIR untuk ulasan seputar film lainnya, ya!