*Spoiler Alert: Review film Morbius ini mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.
Setelah merilis Venom: Let There Be Carnage pada 2021 lalu, Sony’s Spider-Man Universe (SSU) siap kembali dengan film terbarunya pada 2022 ini. Film tersebut adalah Morbius yang sebenarnya sudah rampung sejak 2020, tapi terpaksa tertunda akibat pandemi.
Film ini merupakan hasil garapan Daniel Espinosa yang sebelumnya pernah menyutradarai film horor Life (2017) yang dibintangi Jake Gyllenhaal.
Sinopsis film Morbius mengisahkan sosok Michael Morbius (Jared Leto), seorang dokter yang mencari cara untuk bisa menyembuhkan penyakit darah langka miliknya. Lewat sebuah eksperimen, penyakit darah langka itu akhirnya bisa sembuh. Sayangnya, eksperimen ini jugalah mengubahnya menjadi sesosok vampir haus darah dengan kekuatan super yang menjadi ancaman bagi umat manusia.
Nah, sebelum kamu nonton film Morbius di bioskop, simak terlebih dahulu ulasan KINCIR berikut ini!
Review film Morbius Marvel
Cerita yang enggak spesial
Michael Morbius telah menderita penyakit darah langka sejak kecil. Lalu, ketika beranjak remaja, Michael bertemu dengan Lucien alias Milo (Matt Smith) yang juga menderita penyakit yang sama. Setelah membuktikan kejeniusannya saat berhasil menyelamatkan Milo yang sekarat, Michael akhirnya pergi ke sekolah khusus dengan niat menemukan obat buat menyembuhkan penyakit miliknya dan juga Milo.
Michael yang kini sudah beranjak dewasa dan telah menjadi dokter akhirnya menemukan cara buat menyembuhkan penyakitnya dengan menggabungkan DNA kelelawar vampir. Namun, setelah melakukan eksperimen terhadap dirinya sendiri, Michael justru berubah jadi sosok vampir haus darah yang jadi bahaya bagi orang terdekatnya.
Bagian menarik dari cerita film ini benar-benar cuma proses perubahan Michael Morbius menjadi vampir saja. Sebab, setelah berubah jadi vampir dan berhasil menyembuhkan penyakitnya, Michael seolah tak punya fokus tujuan lagi sebagai karakter. Memang, sih, setelah itu muncul konflik baru ketika Milo ikut berubah jadi vampir, tapi Michael justru terkesan terpaksa buat menghentikan sahabatnya.
Hal ini membuat keseluruhan cerita dalam film ini terasa sangat datar dari awal hingga akhir. Soalnya, enggak ada adegan yang bisa membuat kamu merasakan sesuatu yang spesial saat menontonnya, seperti momen plot-twist. Bahkan, kehadiran unsur romansa pada beberapa adegannya juga terasa hambar dan lagi-lagi terkesan terpaksa buat dihadirkan dalam filmnya.
Kengerian yang terasa tanggung
Morbius juga kembali mengalami permasalahan yang sama dengan film Venom: Let There Be Carnage. Hal ini karena keduanya sama-sama memiliki karakter dan konsep cerita yang sangat potensial buat dikemas dengan cara yang brutal. Namun, keduanya sama-sama terbentur dengan rating usia PG-13 yang diinginkan oleh pihak studio supaya bisa menggaet penonton lebih banyak.
Keberadaan rating PG-13 ini tentunya membuat kengerian Michael Morbius ataupun Milo sebagai sosok vampir yang haus darah terasa sangat tanggung. Soalnya, keduanya memang sempat terlihat menyerang sejumlah manusia biasa dan mengisap habis darah mereka. Namun, momen itu tak diperlihatkan dengan jelas dan tak adegan berdarah-darah secara berlebihan.
Hasilnya, kengerian dua sosok vampir dalam film ini jadi enggak meninggalkan kesan yang terlalu mengerikan karena tak semenyeramkan dengan yang ada dalam komiknya. Hal ini tentunya lagi-lagi dapat diselesaikan dengan mengubah rating usianya menjadi R sehingga bisa menampilkan adegan yang jauh lebih brutal lagi.
Akting mengesankan Matt Smith sebagai villain
Bintang utama dari film ini adalah Jared Leto yang memerankan sang Living Vampire. Namun, akting Leto sebagai Michael Morbius dalam film ini terkesan biasa saja. Malahan, akting Leto sebagai Joker dalam Zack Snyder’s Justice League (2021) terasa jauh lebih spesial meski cuma tampil sebentar ketimbang pada film ini.
Satu-satunya akting yang berhasil menarik perhatian dalam film terletak pada sosok Matt Smith yang memerankan Lucien alias Milo selaku sahabatnya Michael. Smith terlihat sangat enjoy dalam membawakan perannya sebagai Milo yang energik usai sembuh dari penyakitnya. Hal ini membuat penampilan Smith berhasil meninggalkan kesan karena ikut bikin penonton nyaman meski karakternya adalah villain.
Sementara itu, ada karakter yang kehadirannya terasa sia-sia dalam film ini. Mereka adalah Alberto Rodriguez (Al Madrigal) dan Simon Stroud (Tyrese Gibson), agen FBI yang terlibat dalam kasus Michael dan Milo. Namun, kehadiran mereka benar-benar cuma saat ada orang yang terbunuh oleh salah satu vampir tersebut. Bahkan, mereka tak punya andil besar terhadap plot filmnya sehingga percuma buat hadir.
Efek visual lebay yang mengganggu
Film adaptasi komik tentunya enggak bisa lepas dari efek visual CGI, termasuk Morbius. Namun, menurut KINCIR penggunaan efek visual dalam film ini terlalu lebay alias belebihan. Hal ini khususnya terjadi pada adegan ketika sang Living Vampire bergerak dengan cepat sewaktu menyerang musuh atau sekadar berpindah tempat.
Pada setiap pergerakan tersebut, kamu bisa melihat efek visual berwarna gerap yang mengelilingi tubuh sang antihero seolah menandakan sedang bergerak dengan cepat. Meski begitu, kehadiran efek visual ini justru sangat mengganggu dan membuat jalannya adegan pertarungan jadi tak terlihat jelas. Apalagi, ketika momen pertarungan Michael dengan Milo yang jadi cuma terlihat garis-garis cahaya saja.
Selain itu, ada beberapa momen penggunaan CGI yang terasa kurang rapi. Hal ini membuat adegan itu jadi terlihat seperti animasi atau sebuah film fiksi ilmiah era 1990-an yang memakai teknologi seadanya alias tampak kuno. Tentunya hal ini sangat sayang terjadi untuk sebuah film yang sangat bergantung pada teknologi CGI.
Post-credit yang aneh dan “maksa”
Morbius memiliki dua adegan post-credits yang sama-sama menampilkan momen Adrian Toomes alias Vulture (Michael Keaton) yang berpindah dari MCU ke SSU. Momen perpindahan Toomes pun dikaitkan dengan insiden terbukanya multiverse yang terjadi pada ending Spider-Man: No Way Home (2021). Namun, menurut KINCIR adegan post-credit ini terkesan terlalu aneh sekaligus “maksa”.
Pasalnya, akhir dari segala cerita dan konflik Michael sebagai vampir dibiarkan menggantung begitu saja pada ending filmnya. Namun, adegan post-credit filmnya justru lebih fokus membahas kepindahan Vulture ke SSU. Hal ini seolah membuat Sony Pictures lebih mementingkan buat menghubungkan filmnya dengan fenomena yang terjadi di No Way Home ketimbang mengakhiri kisah Morbius secara apik.
Ini juga menjadi kedua kalinya Sony seolah “memaksa” semestanya buat berkaitan dengan MCU lewat post-credit filmnya seperti yang sempat terjadi dalam Let There Be Carnage. Padahal, hal ini kemungkinan besar cuma strategi buat “menjual” film mereka kepada penggemar MCU. Apalagi, sutradara Morbius secara terang-terangan nge-spoiler adegan post-credit filmnya buat promosi.
***
Akhir kata, Morbius hanya menjadi bukti baru bahwa Sony kesulitan buat memaksimalkan karakter Marvel mereka tanpa bantuan Marvel Studios atau MCU.
Kalau kamu tertarik, film ini sudah bisa kamu tonton lewat sejumlah jaringan bioskop Indonesia mulai 30 Maret 2022. Bagaimana tanggapan kamu dengan review film Morbius tersebut? Share pendapat kamu dan ikuti terus KINCIR untuk ulasan seputar film lainnya, ya!