Mengangkat film dengan tema agama memang agak riskan. Isu sensitif yang kerap menerpa negeri ini ternyata jadi pemicu Salahuddin Siregar, sang sutradara membesut film Pesantren (2023). Dari hematnya, cowok yang kerap disapa Udin ini mengatakan kalau stigma soal pesantren tempat lahirnya teroris begitu mengganggunya.
Bisa dilihat kalau pemirikan dari Udin begitu kritis dan memiliki keresahan yang kuat. Tak heran kalau ternyata ia terkenal berkat menggarap banyak karya dokumenter yang punya motivasi kuat. Total, ia telah menelurkan tiga film dokumenter panjang, salah satunya adalah Negeri di Bawah Kabut (2011) yang ditayangkan di berbagai festival internasional termasuk International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) dan Dok-Leipzig.
Film dokumenter ini digarap lewat ide setelah Udin melihat salah seorang warga desa menghancurkan panennya sendiri sebagai bentuk protes atas turunnya nilai jual kubis ke Rp150 per kilogram. Dari sini, lahirlah mahakarya yang akhirnya memenangkan Muhr Asia Africa Special Jury Price, Dubai International Film Festival kategori film dokumenter.
Tak berhenti sampai di situ, Negeri di Bawah Kabut juga berhasil menyabet penghargaan di ajang Jogja-NETPAC Asian Festival 2012, seperti Geber Award, NETPAC Award dan Special Mention. Penghargaan ini membuka jalur Salahuddin di ranah perfilman Indonesia lebih luas lagi.
Film dokumenter lain yang ia lahirkan adalah Lagu untuk Anakku yang mengisahkan tentang para penyintas tragedi 1965. Dulunya, para penyintas ini diasingkan atau dipenjara. Selama di penjara, sebagian dari mereka aktif menulis lagu tentang, ibu, anak maupun kisah percintaan mereka.
Akhirnya, setelah 50 tahun kemudian para penyintas ini mendirikan paduan suara bernama Dialita. Paduan suara ini fokus menyanyikan lagu-lagu yang lahir di penjara dan lagu-lagu yang pernah dibungkam pada masa Orde Baru. Tujuannya mulia, yaitu untuk meneruskan sejarah kelam Indonesia yang tak kunjung selesai kepada para generasi muda.
Berlanjut, pada tahun 2018 Salahuddin merilis sebuah film bertajuk Lima bersama Lola Amaria, Tika Pramesti, Harvan Agustriansyah, dan Adriyanto Dewo. Film ini begitu erat dengan nilai-nilai Pancasila, bahkan filmnya ditayangkan pada 31 Mei, satu hari sebelum peringatan Hari Lahir Pancasila.
Kini, ia tengah menggembar-gemborkan film terbarunya yang bertajuk Pesantren. Seperti yang tadi telah dijelaskan, sang sutradara ingin menghilangkan stigma buruk soal pesantren yang menurutnya murni untuk tempat memperdalam ilmu agama bagi anak muda.
“Salah satu karakter di film dokumenter panjang pertama saya Negeri di Bawah Kabut adalah anak 12 tahun bernama Arifin yang ingin masuk SMP Negeri tetapi orang tuanya terlalu miskin untuk membayar biaya registrasi yang mahal. Akhirnya mereka mengirim Arifin ke pesantren. Ketika film ini dirilis, ada yang menyayangkan keputusan mengirimkan Arifin ke pesantren karena mereka mengira dia akan dididik menjadi teroris. Pesantren juga sering dituduh kolot dan tidak berkembang,” jelas Salahuddin.
“Saya terganggu dengan stigma ini, tetapi meskipun beragama Islam, saya tidak punya pengetahuan yang cukup tentang pesantren. Karena itulah saya membuat film ini, untuk mencari tahu seperti apa sebenarnya kehidupan di pesantren,” tutup Shalahuddin Siregar.
Ia pun memilih pesantren Pondok Kebon Jambu di Cirebon, yang merupakan pesantren tradisional di Indonesia, tetapi istimewa karena dipimpin oleh perempuan. Hal yang jarang sekali ditemukan sebuah pesantren dengan santri laki-laki dan perempuan, dipimpin oleh perempuan. Film ini pun mendapat sambutan hangat dan terpilih di kompetisi XXI Asiatica Film Festival 2020 dan International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) 2019.
Film ini juga telah tayang di Madani International Film Festival dan sempat ditayangkan di The University of British Columbia pada Maret 2022. Film pesantren sendiri merupakan film dokumenter yang mengajak penonton untuk menyelami kehidupan para penghuni Pondok Kebon Jambu Al-Islamy, salah satu pesantren tradisional terbesar di Cirebon. Para santri di pesantren ini dididik untuk berpikir kritis, mendukung kesetaraan gender, dan menghargai keberagaman.
Penggambaran bahwa laki-laki juga bisa menjadi orang yang penuh perasaan, atau perempuan mampu menjadi pemimpin, membuat film ini berhasil menampilkan kehidupan di dalam pesantren dari sudut pandang berbeda. Banyak nilai-nilai baik yang diajarkan, bahwa Islam itu baik, damai, sejuk, moderat, toleran dan merangkul. Sosok dalam film bisa menjadi harapan baru untuk Indonesia.
Untuk menonton film Pesantren, jangan lupa untuk membeli tiket di Bioskop Online. Penonton bisa membeli tiket film Pesantren seharga Rp 15.000,- dan bisa mendapatkan harga khusus pre-sale sebesar Rp 10.000,- yang bisa dipesan mulai 15 hingga 23 Mei 2023.
Dengan membeli tiket film Pesantren, penonton juga ikut berbagi, karena sebagian dari setiap pembelian tiket akan di donasikan ke Rumah Zakat. Donasi akan disalurkan dalam rangka membantu pesantren dan santri di desa berdaya binaan Rumah Zakat.
Dapatkan tiket melalui situs www.bioskoponline.com dan melalui aplikasi Bioskop Online, yang dapat diunduh lewat Google Play Store dan App Store. Jangan sampai melewatkan penayangan premiere film Pesantren di Bioskop Online, film yang bisa mengajarkan nilai baik sehingga bisa memberikan harapan baru untuk penontonnya.