6 Pelajaran Sebagai Anak yang Bisa Kamu Pelajari dari Ngeri-Ngeri Sedap

Sangat mengejutkan ketika sekelompok komika, membuat karya yang tak sekadar mengundang gelak tawa, tetapi juga tangisan. Itulah yang diberikan oleh film yang sedang ngehits di bioskop bertajuk Ngeri-Ngeri Sedap.

Pada hari keempat semenjak ditayangkan, Ngeri-Ngeri Sedap sudah menjaring lebih dari 230.000 penonton. Film ini jadi menarik karena pengambilan tema yang unik dan berbeda.

Ngeri-Ngeri Sedap bercerita tentang Pak Domu dan Bu Domu, sepasang suami istri di daerah pinggiran Danau Toba yang merindukan tiga anak laki-laki mereka, Domu, Gabe, dan Sahat. Perbedaan pandangan dan tentangan dari sang ayah tentang jalan hidup membuat mereka jadi “jauh”. Akhirnya sang ayah akhirnya mendapatkan ide untuk pura-pura bercerai demi menarik perhatian sang anak.

Sekilas memang semua konflik yang ada di film ini disebabkan oleh sang ayah, Pak Domu. Namun, layaknya pasangan, hubungan antara anak dan orang tua bak menari Tango: kedua pihak harus saling memahami.

Enggak perlu menjadi orang Batak, Ngeri-Ngeri Sedap bisa ditonton siapa saja yang ingin memahami atau bahkan memperbaiki hubungan dengan orang tua. Beberapa nilai moral ini perlu dimengerti oleh anak terkait apa yang dilakukan oleh orang tua mereka.

Pelajaran sebagai anak yang bisa kamu pelajari dari Ngeri-Ngeri Sedap

Orang tua bukan berpikiran sempit, beberapa hanya enggak pernah ke mana-mana

Via Istimewa

Pertanyaan Pak Domu mengenai mengapa anak sulungnya mencintai perempuan Sunda mungkin terdengar sangat menyebalkan. Pasalnya, siapa yang bisa memilih mau dilahirkan dari suku mana? Lagipula, selama baik dan cocok, suku mana pun bisa dijadikan pasangan sehidup semati.

Namun, Pak Domu enggak memahami hal itu. Baginya, anaknya yang Batak harus menikahi orang Batak. Ia bingung mengapa anaknya harus memilih perempuan Sunda. 

Dari sini, porsi kesalahan Pak Domu memang jauh lebih besar. Namun, apabila kita melihat dengan bijak, sesungguhnya Pak Domu berpikiran sempit karena ia enggak pernah ke mana-mana. Ini tentu berbeda dengan ketiga anak mereka yang sudah merantau dan mendapatkan insight baru.

Bagi Pak Domu dan mungkin orang tua lain yang hanya menghabiskan hidup di satu daerah, jauh dari ibukota pula, istilah “orang asing” terdengar sangat menakutkan dan berisiko tinggi. Aktivitas Pak Domu pun enggak jauh-jauh dari rumah dan jauh-jauh dari budaya Batak yang kental. Tentu saja orang tua model seperti ini harus diberi pengertian baik-baik.

Orang tua hidup di zaman yang berbeda

Via Istimewa

Pada saat kita muda, kita mungkin akan dibuat kesal dengan orang tua yang punya pemikiran kolot. Dalam kasus ini, Pak Domu lagi-lagi marah kepada anak ketiganya, Gabe, karena memilih jalan sebagai pelawak

Saat anak-anaknya ditertawakan oleh orang-orang di lapo, Pak Domu merasa harga dirinya tercabik. Bagi Pak Domu, enggak seharusnya seorang laki-laki Batak berperilaku dan berprofesi seperti itu, karena baginya, itu merendahkan diri sendiri.

Selain itu, Pak Domu menyayangkan mengapa ijazah anaknya “enggak terpakai”.

Sebagai orang di generasi teknologi, melihat pola pikir orang tua yang kolot dan hanya mengenal kesuksesan dari beberapa profesi mungkin menyebalkan. Namun, hal itu terjadi karena mereka enggak mengalami masa sebagai anak muda zaman sekarang. Pada dasarnya, mereka hanya menginginkan yang terbaik untuk anaknya.

Ada masanya orang tua kembali menjadi anak kecil

Banyak banget kasus di mana orang tua sangat haus perhatian, banyak drama, hingga memiliki keinginan yang enggak logis dan merepotkan seperti anak kecil.

Mau enggak mau, dalam kondisi ini, anak-anak harus sabar dan harus bisa memberikan pengertian kepada orang tua. Soalnya, jika dikasarin, orang tua pasti akan sakit hati dan maksud kita enggak akan tersampaikan.

Jarak dan kerinduan bikin orang tua salah sangka

Via Istimewa

Sering dengar hubungan jarak jauh yang pada akhirnya gagal? Kegagalan itu kebanyakan disebabkan oleh miskomunikasi dan kesalahpahaman. Nah, hal yang sama juga bisa terjadi kepada orang tua yang ditinggalkan oleh anak-anaknya. Jarak membuat mereka merasa bingung pada saat berkomunikasi dan memperbesar potensi kesalahpahaman. Apalagi, jika komunikasi dihalangi oleh sinyal yang buruk. 

Jarak dan kurangnya komunikasi tatap muka membuat orang tua kerap berpikiran yang enggak-enggak. Bahkan, setelah beradu pendapat dengan sang anak lewat telepon, imajinasi buruk orang tua akan ke mana-mana.

Ini terjadi lantaran orang tua dan anak enggak sempat betul-betul berbicara secara fisik untuk mengurai masalah dan kesalahpahaman. Apalagi, orang tua lebih terbiasa dengan komunikasi langsung ketimbang komunikasi lewat media telepon atau bahkan computer mediated communication seperti dalam pesan singkat.

Orang tua enggak mau ‘akar’ menjadi hilang

Via Istimewa

Semakin kita tua, kita semakin melihat bahwa dunia berubah. Hal tersebut kadang menciptakan ketidakrelaan di dalam hati kita. Rasanya, kita menjadi sakit hati saat hal-hal yang dulunya berarti dianggap enggak penting dan anak muda zaman sekarang enggan melestarikannya.

Itulah yang terjadi pada Pak Domu. Pak Domu merasa bahwa sebagai pemuda-pemuda berdarah Batak, anak-anaknya udah mulai lupa dengan akar mereka, yakni budaya Batak. Padahal, akar itu sampai kapan pun akan ada di dalam diri kita. Selain itu, Pak Domu juga mungkin takut jika anak-anak muda enggak mau melestarikan budayanya, maka lama-lama, semua akan punah dan enggak akan ada lagi budaya yang selama ini ia cintai dan menjadi rumah buatnya.

Itulah alasan mengapa orang tua kerap terlihat kolot. Mereka hanya enggak mau apa yang membentuk mereka tiba-tiba hilang dan enggak dihargai.

Selamanya, kita adalah anak kecil

Inilah hal yang kerap disalahpahami oleh orang tua. Orang tua akan selalu menganggap anak mereka kecil. Setiap kali melihat sang anak tumbuh dewasa, kebanyakan orang tua justru mengingat masa-masa saat anak-anak mereka masih membutuhkan bantuan untuk mengenal dunia. Makanya, banyak banget orang tua yang sotoy. 

Ketika anak merasa lebih pintar, orang tua merasa kurang dihargai karena pada saat kita masih kecil dulu, mereka lah yang mengajari kita banyak hal. Mereka lupa bahwa dunia berkembang dan ketika dewasa, anak-anak adalah para individu utuh yang punya pilihan pribadi.

***

Ngeri-Ngeri Sedap bukanlah sekadar hiburan. Ia adalah kritik sosial sekaligus pengingat bahwa semenyebalkan apa pun orang tua di mata kita, mereka tetap bagian dari kehidupan kita. Bahkan, sebetulnya bisa saja ketika kita tua nanti, kita akan menjelma seperti mereka –dalam versi yang berbeda–.

Nah, setelah menonton karya dari Bene Dion Rajagukguk ini, mungkin kamu ingin segera pulang dan memeluk orang tuamu. Jika orang tuamu menyayangimu, meski caranya enggak asyik, yuk belajar hargai mereka!

Kamu masih bisa menonton Ngeri-Ngeri Sedap di bioskop terdekat, ya!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.