“Not all those who wander are lost.”
Pencinta Lord of the Rings pasti udah enggak asing lagi sama nama John Ronald Reuel Tolkien atau biasa dikenal dengan nama J.R.R. Tolkien. Meskipun dia udah enggak ada, sampai saat ini karya-karyanya tetap dianggap sebagai karya yang indah dan enggak terlupakan. Soalnya, kalau baca buku-buku karya Tolkien, lo bakal ngerasa memasuki sebuah dimensi dunia yang baru.
Kelihaian Tolkien membangun semesta fiktifnya enggak cuma terlihat dari penggambaran alam yang indah. Dunia fiktif ini juga terasa nyata karena ditunjang oleh bahasa-bahasa yang diciptakan oleh Tolkien. Yap, kalau lo ngikutin saga Lord of the Rings, pasti tahu banget ada bahasa-bahasa apa aja dalam dunia rekaan Tolkien, mulai dari bahasa para peri sampai bahasa-bahasa "terkutuk" Mordor.
Dari mana, sih, daya khayal Tolkien yang begitu mendetailnya datang? Coba, yuk, intip kehidupan sang kreator saga fenomenal ini!
1. Bahasa jadi mainannya sejak kecil.
Sedari kecil, Tolkien dan adiknya, Hilary, udah diajarin sama Mabel, sang nyokap, berbagai macam pelajaran. Mulai dari botani buat menumbuhkan cinta pada tumbuhan dan alam sekitar hingga bahasa Latin. Namun, Tolkien lebih suka belajar bahasa. Bahkan, di usia empat tahun, dia udah lancar banget membaca dan menulis, loh!
Saat remaja, dia juga suka bikin kata-kata sendiri pakai campuran bahasa Latin dan Inggris. Bagi Tolkien, mengutak-atik morfem (pembentuk kata) dan huruf-huruf lalu membentuknya jadi kata-kata baru yang unik adalah hal yang menyenangkan.
Kecintaan Tolkien pada bahasa ini mendorong dia buat masuk jurusan Kesusastraan Inggris di Universitas Oxford. Salah satu kampus tertua di Dunia ini memang kece badai jurusan-jurusannya, apalagi jurusan sastranya. Peminatan Tolkien di jurusan ini adalah Bahasa Inggris Kuno. Selama 1925—1955, dia jadi dosen di Oxford dengan spesialisasi Bahasa Inggris Kuno. Makanya, novel-novel Tolkien enggak cuma menghibur, tapi mampu membius banyak pembaca karena dia benar-benar paham dasar-dasar linguistik dan kesusastraan.
2. Fantasi bersenjatakan linguistik.
Dengan kegemaran Tolkien tersebut, enggak mengherankan kalau bahasa-bahasa dalam buku-buku karangan cowok Inggris ini keliatan natural dan tertata, kayak bahasa yang benar-benar dituturkan di muka Bumi ini. Bahkan, lo tau enggak, sih, kalau bahasa-bahasanya itu semacam punya sejarah dan berelasi satu sama lain?
Lo bisa lihat bahasa buat Elf dan Hobbit, misalnya. Dua bahasa ini memang beda, tapi ada beberapa morfem yang hampir sama, cuma disesuaikan aja pengucapannya. Misalnya, nih, nama Sungai Baranduin yang merupakan bahasa Elvish. Dalam bahasa Hobbit, baranduin dipinjam dan diucapkan dengan nama brandywine yang disesuaikan sama bahasa mereka. Keren banget, ‘kan, kayak struktur bahasa di dunia kita ini?
Bahasa Elvish buat kaum Elf pun punya sejarah dan percabangan. Kayak Qenya, akar dari Elvish (semacam bahasa Sansekerta dan bahasa Melayu yang merupakan akar dari bahasa Indonesia). Selain Elvish, ada bahasa lain yang juga dipakai Elf, yakni bahasa Sindarin. Namun, bahasa ini udah jarang dipakai sama Elf.
3. Introvert berjiwa petualang.
Viki pernah ngebahas soal George R.R. Martin, pengarang Song of Fire and Ice (yang kemudian diadaptasi jadi serial fenomenal Game of Thrones). Sebelum jadi penulis menciptakan mahakarya, Martin udah gemar bertualang dalam pikirannya. Hal inilah yang memicunya menciptakan imajinasi liar. Nah, hal yang sama juga terjadi pada cowok kelahiran 17 Februari 1894 ini.
Waktu Tolkien berusia tiga tahun, bokapnya yang sedang bertugas di Afrika meninggal karena menderita demam yang efeknya sampai ke otak. Untuk itu, dia, adik cowoknya, dan sang nyokap pindah ke rumah keluarganya nyokapnya di King's Heath, kawasan suburban di Birmingham. Enggak lama, dia pindah ke Sarahole lalu menetap di Bimmingham. Tempar-tempat yang didiami Tolkien adalah desa-desa yang asri dengan ladang luas dan hewan-hewan ternak di mana-mana. Hal inilah yang mendasari ide tentang semesta Shire yang indah dan menenangkan.
Oh, ya. Waktu kecil, Tolkien juga pernah digigit sama tarantula baboon. Hal traumatis inilah yang mendasari ide di "dunianya Tolkien" bahwa laba-laba adalah makhluk yang jahat banget. Yap, kayak Shelob si laba-laba raksasa rekaannya!
Sama kayak semua penulis di Bumi, Tolkien juga suka membaca. Buku kesukaannya adalah buku fantasi, kayak Alice in Wonderland dan Red Indians. Secara enggak langsung, kegemarannya ini juga memicu dia buat nulis cerita fantasi.
Petualangan hidup Tolkien enggak selesai sampai di situ. Pada usia 12 tahun, nyokapnya meninggal karena sakit diabetes. Dia dan adiknya pun diasuh oleh Romo Francis Xavier Morgan dari Oratori Birmingham. Enggak jauh dari tempat dia tinggal, ada menara Perrot's Folly dan menara perusahaan air minum Edgbaston dengan arsitektur Victoria. Ini jadi inspirasinya dalam membangun Mordor dan menara gelap lain di buku-bukunya.
Lo tahu apa lagi yang mendasari berdirinya menara-menara jahat itu? Industrialisasi. Tolkien benci banget sama industrialisasi. Menurutnya, hal itu “menerkam” keindahan desa-desa kecil Inggris yang menyimpan berbagai kenangan baik di masa kecilnya. Itulah alasan kenapa Tolkien lebih suka naik sepeda daripada kendaraan modern. Ditambah lagi, industrialisasi itu identik banget sama Jerman (yang waktu Perang Dunia II cukup maju di bidang industri). Makanya, banyak penggemar berpendapat bahwa Sauron, Mordor, dan makhluk-makhluk Orc adalah personifikasi dari Hitler dan Jerman.
4. Gagal dalam perang, sukses dalam fiksi.
Selepas kuliah pada 1915, Tolkien mendaftarkan diri jadi tentara. Batalionnya dipindahin ke Perancis pada 1916. Di sana, Tolkien jadi perwira komunikasi waktu Pertempuran Somme berlangsung. Namun, dia menderita demam dan dipulangin ke Inggris. Hal ini mengecewakan banget buat dia, apalagi saat mendengar bahwa banyak temannya gugur dalam perang.
Sambil memulihkan kondisinya, Tolkien mengusir rasa bosan dengan menulis buku berjudul The Book of Lost Tales. Dia pun menulis The Silmarillion secara enggak sengaja. Awalnya, cerita mitologi ini dimaksudkan buat jadi puisi. Eh, lama-lama, kok, jadi panjang dan bagus buat dijadiin sebuah cerita yang mandiri. Sayangnya, buku ini diterbitin secara anurmerta alias baru terbit setelah sang penulis meninggal.
Pada 1928, setelah diangkat jadi dosen di Pembroke College, Tolkien menulis The Hobbit serta dua jilid pertama The Lord of the Rings. Dua seri itu sebetulnya ditujuin buat anak-anak, tapi pada akhirnya cuma The Hobbit yang punya nuansa kekanak-kanakan. Usai pindah ke Merton College pada 1945, dia ngelanjutin The Lord of the Rings dan nyadar bahwa tulisannya makin lama punya atmosfer yang makin gelap. Makanya, The Lord of the Rings pada akhirnya enggak cocok buat anak-anak.
Perkembangan The Lord of the Rings menuju “kedewasaan” ini bisa kita rasain saat baca ketiga jilidnya. Pas adegan saat Frodo masih di Shire, nuansa kanak-kanaknya kentara banget. Makin lama, seiring dengan makin dekatnya Frodo ke Mordor, atmosfer gelap makin terasa. Suatu hari, seorang mahasiswanya ngebujuk Tolkien buat nerbitin buku itu. Akhirnya, The Hobbit diterbitin pada 1937.
Tolkien menerima perhatian publik setelah dia pensiun pada 1959 sampai kematiannya pada 1973. Ketenarannya bahkan sampai ke Amerika. Takut kehidupan pribadinya keganggu, dia enggak mau pihak media mencantumkan nomor teleponnya.
5. Pencinta yang hebat.
Banyak orang yang meyakini bahwa penulis adalah sosok yang playboy dan tukang gombal. Soalnya, penulis pintar mainin kata-kata dan ngasih bayangan akan dunia yang indah di luar kenyataan. Namun, hal ini enggak berlaku buat Tolkien.
Pada usia 16 tahun, Tolkien ketemu sama seorang cewek bernama Edith Mary Bratt yang tiga tahun lebih tua. Oleh Romo Francis, dia dilarang ketemuan, berhubungan, atau pun berbicara sama Edith sampai dia berusia 21 tahun. Soalnya, usia segitu dianggap udah dewasa. Dia berharap Tolkien enggak ngelakuin hal-hal yang aneh sebelum usianya dewasa.
Karena pada dasarnya penurut, Tolkien pun nurutin larangan itu. Namun, bukannya ngoleksi gebetan atau beralih haluan, dia tetap bersetia. Pada malam menjelang usianya yang ke-21, Tolkien nelepon Edith dan langsung ngelamar dia jadi istrinya! Untung Edith juga suka. Pada Januari 1913, mereka tunangan di Birmingham lalu menikah pada 22 Maret 1916 di Warwick. Dari pernikahan ini, Tolkien dikaruniai empat orang anak: John, Michael, Christopher, dan Priscilla.
Sisi romantis dan kesetiaannya tertuang dalam karakter rekaan Tolkien, yaitu Beren dan Lúthien. Beren adalah seorang manusia mortal, sedangkan Lúthien adalah peri yang enggak bisa mati. Enggak salah, sih, peri sama manusia jatuh cinta. Namanya cinta, ‘kan, enggak mengenal perbedaan. Namun, ini jadi masalah besar karena suatu saat Lúthien bakal ngerasa kehilangan saat Beren meninggal. Seramnya, patah hatinya bakal dirasain selama-lamanya.
Aragon, dalam Lord of the Rings, juga pernah menceritakan kisah Beren dan Lúthien saat mengingat kisah cintanya sama Eowyn. Untungnya, sih, sama kayak apa yang dilakuin Lúthien. Di akhir cerita, Eowyn jadi makhluk mortal karena memilih ngelepasin kemampuannya buat hidup abadi.
Balik lagi ke cerita Edith dan Tolkien. Keduanya meninggal hampir bersamaan, loh. Edith meninggal pada 29 November 1971 dan Tolkien menyusul pada 2 September 1973. Keduanya dikuburin dalam liang yang sama. Uniknya lagi, pada nisan mereka berdua, ditulis nama "Beren dan Lúthien". Romantis banget, ya?
***
Kalau ngelihat biografinya Tolkien, tokoh yang satu ini seolah sempurna banget: punya minat dan kemauan keras buat ngelakuin minat tersebut, setia, serta juga konsisten. Enggak mengherankan kalau dia jadi tokoh penting di mata dunia. Bahkan, namanya pun diabadiin sebagai nama jalan, Tolkien Road, di East Sussex, Inggris. Ada pula asteroid yang diberi nama 2675 Tolkien.
Kehidupan Tolkien bisa jadi pelajaran bagus buat lo. Meskipun mengalami banyak kehilangan, lo bisa ngeraih kehidupan yang baik, asal lo enggak terus-menerus meratapi nasib dan memilih buat mengolah pengalaman lo jadi sebuah karya. Setuju?