Dua Hati Biru memberikan angin segar bagi perfilman Indonesia yang dipenuhi oleh film-film bergenre horor. Sebagai sekuel dari Dua Garis Biru yang dirilis pada tahun 2019, Dua Hati Biru berkisah tentang perjalanan rumah tangga Dara dan Bima setelah Dara lulus dari kampusnya di Korea Selatan. Anak mereka, Adam, pun telah tumbuh menjadi balita yang cerdas dan enerjik.
Apakah masalah mereka selesai? Nyatanya, kembalinya Dara justru menimbulkan berbagai masalah baru. Dara dan Bima, yang memiliki perbedaan ekonomi dan latar belakang keluarga, kini seolah menemukan jurang yang lebih curam karena Dara lebih educated dan Bima sendiri mencari nafkah dengan bermodalkan ijazah SMA-nya saja.
Ada banyak sekali perbedaan pola pikir dalam pengasuhan, perdebatan antarkeluarga yang berbeda latar belakang, dan juga perasaan sesal karena mereka enggak benar-benar sempat menjalani masa muda dengan bebas. Dara merasa teralienasi dari anaknya karena selama ini ia jauh, sementara itu Bima merasa minder dengan Dara.
Berbagai permasalahan yang diperlihatkan oleh Dinna Jasanti dan Gina S. Noer selaku sutradara di Dua Hati Biru terasa enggak berlebihan dan seolah menjadi cermin dari kenyataan. Film ini begitu sarat akan pelajaran-pelajaran berharga yang bisa dijadikan modal bagi anak-anak muda yang ingin melanjutkan hubungan ke pernikahan. Apa saja? Ini dia.
Pelajaran Tentang Pernikahan di Film Dua Hati Biru
Pentingnya Cek Latar Belakang Sebelum Menikah
Dara dan Bima menikah lantaran hubungan seksual yang dilakukan di luar pernikahan, saat mereka masih duduk di Sekolah Menengah Atas. Pada saat itu, sebetulnya mereka berdua sudah saling menyadari bahwa mereka memiliki latar belakang yang berbeda baik dari segi kelas sosial mau pun budaya keluarga. Namun, anak SMA tentu enggak berpikir lebih jauh mengenai hal itu karena hubungan mereka notabene belum serius.
Semua hal itu baru benar-benar menjadi masalah pada saat mereka menikah, terlebih saat Dara kembali dari Korea Selatan dan menjalani rumah tangga bersama Bima. Perbedaan-perbedaan itu baru kelihatan banget dalam proses pengurusan anak. Terlepas dari fakta kalau keduanya berusaha berdamai, tetapi perbedaan yang sangat curam ini adalah tantangan yang sulit buat diselesaikan di dalam pernikahan. Bahkan, dalam kasus-kasus di dunia nyata, hal semacam itu bisa menyebabkan perceraian.
Komunikasi adalah Kunci
Banyak banget orang yang merasa membeli kucing dalam karung saat menikah karena kurangnya komunikasi. Dalam kasus Dara dan Bima, komunikasi ini merupakan stage yang terlewat karena Dara telanjur hamil di luar nikah. Mereka enggak sempat membicarakan mengenai prinsip hidup atau sekadar membicarakan mau dibawa ke mana hubungan ini.
Perbedaan cara komunikasi pun seolah menebalkan jurang sosial dan pendidikan di antara Dara dan Bima. Maksud untuk sama-sama memberikan yang terbaik bagi Adam jadi enggak sampai karena hal tersebut. Bahkan, hal tersebut juga terjadi pada keluarga mereka.
Adanya perbedaan tentu bikin komunikasi jadi terasa sulit dan itu bukan cuma terjadi karena pendidikan Bima lebih rendah. Orang-orang yang pendidikannya tinggi terkadang juga enggak tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan orang-orang yang pendidikannya di bawah mereka. Hal semacam ini tentu menyebabkan kesalahpahaman.
Menurunkan Ego Masing-Masing
Harga diri Bima sebagai seorang lelaki tentunya tercederai karena Dara memiliki pendidikan yang lebih tinggi dan hal itu berpengaruh pada nafkah. Apa yang dirasakan oleh Bima sangat wajar karena secara umum, biasanya cowok memang berperan sebagai provider utama di dalam keluarga.
Namun, hal tersebut sejatinya harus diterima oleh mereka berdua karena itulah risiko dari apa yang mereka perbuat di masa lalu. Saat dua orang masuk ke dalam pernikahan, mereka semestinya berfungsi sebagai rekan, bukan saingan. Sebagai rekan, suami dan istri harus saling mendukung satu sama lain dan bukannya memenangkan ego masing-masing. Di dalam film ini, Dara dan Bima juga belajar mengenai hal tersebut.
Menikmati Masa Muda Terlebih Dahulu
Apakah kalian yakin bahwa perceraian dalam pernikahan seluruhnya terjadi karena masalah ekonomi semata? Sebetulnya, masalah terbesar dari Dara dan Bima bukanlah masalah ekonomi. Saat kita memasuki dunia Dua Garis Biru, kita menyadari bahwa ada banyak problema kompleks yang bikin pernikahan menjadi terguncang. Terkadang, masalah-masalah itu enggak bisa dijabarkan dalam satu kata saja.
Semua pangkal permasalahan Bima dan Dara adalah hilangnya masa muda mereka. Lantaran kehamilan di luar nikah, mereka pun seolah dipaksa untuk menanggalkan momen perkembangan karakter dan mental mereka, kemudian langsung lompat ke usia matang. Mereka memang terlihat matang secara fisik, tetapi enggak dengan mental.
Kendati Dara berpendidikan, Dara enggak betul-betul sempat menikmati pencapaian dan kariernya untuk dirinya sendiri. Hal yang sama juga terjadi pada Bima. Lantaran “dititipi” anak pada Dua Garis Biru dan keterbatasan ekonomi, Bima enggak sempat mengeksplorasi berbagai kemungkinan karier, mulai dari pilihan untuk bekerja, mencari beasiswa, atau bekerja sambil berkuliah. Sangat penting buat mencari jati diri, memahami ego, dan mengeksplorasi banyak kemungkinan masa depan supaya kita sudah cukup selesai dengan diri kita sebelum memasuki pernikahan.
Saling Memahami Antaranggota Keluarga
Di Indonesia dan beberapa negara lain, saat kamu menikah, kamu enggak hanya menikah sama pasanganmu, tetapi dengan keluarganya. Nah, hal inilah yang kemudian juga menjadi masalah di pernikahan Bima dan Dara.
Mulai dari kesalahan besar mereka di masa lalu, perbedaan latar belakang keluarga, sampai peran Dara yang sempat hilang saat berkuliah di Korea Selatan, semuanya membuat keluarga menjadi enggak berhenti ikut campur dan menambah masalah di pernikahan mereka yang sejak awal memang sudah bermasalah. Hal ini tentu berpengaruh pada pengasuhan Adam.
Bukan cuma pasutri, orang tua pun harus menurunkan ego mereka saat berhadapan dengan menantu, anak, dan cucu. Karena, buat membesarkan anak, lingkungan keluarga besar pun sangat berpengaruh.
Dua Hati Biru menunjukkan kompleksitas pernikahan secara jujur dan bisa menjadi pelajaran buat kamu yang sangat mendambakan pernikahan. Pernikahan bukan sekadar mesra-mesraan saja, tetapi harus menjadi tempat yang kondusif buat pertumbuhan dua jiwa serta generasi-generasi baru yang dilahirkan. Setuju, enggak?