*(SPOILER ALERT) Review serial Open BO ini sedikit mengandung bocoran yang semoga saja enggak mengganggu buat kamu yang belum nonton.
Salah satu hal yang kerap ditakutkan pada saat menonton serial adalah adanya inkonsistensi dalam kualitas. Sebetulnya, Open BO sudah mengerjakan yang terbaik pada episode pertama dan kedua. Pilihan tindakan tokoh-tokohnya pun believable.
Hanya saja, pada episode ketiga penokohan dan cerita agak melemah, bahkan konflik bisa dibilang menyerupai konflik-konflik sok dramatis dalam sinetron TV. Jika konflik pada episode 1 dan 2 cukup menyenangkan dan enggak bikin jengkel, konflik pada episode ketiga ini “sinetron” banget.
Fokus episode kali ini adalah anak dari Ambar, Shafa yang mulai kritis soal pekerjaan sang ibu. Maka, Ambar pun putar otak supaya anaknya mengira bahwa ia betulan berbisnis properti, salah satunya bekerja sama dengan Jaka dan Sholeh, teman Jaka yang mesum. Shafa yang kritis pun kemudian bertanya siapa nama kliennya, dan karena terpojok, Ambar menggunakan nama yang terlintas di benaknya: Darwin Nunez. Nama pesepakpola dalam klub Liverpool.
Setelahnya, konflik pun bergulir pada Shafa yang enggak menyukai keberadaan Jaka serta Sholeh yang menemui salah satu kenalannya yang bekerja sebagai PSK, untuk mau diwawancara oleh Jaka, dengan iming-iming peran di film. Semua itu terlihat seperti akan mengantarkan pada konflik baru, mungkin writer’s block Jaka atau rentenir yang menemui Jaka, tetapi ternyata konflik berasal dari orang lain secara enggak terduga: Shafa.
Review serial Open BO episode 3
Terlalu dramatis, kurang alamiah
Selanjutnya, Jaka yang sedang melakukan wawancara di kafe didatangi oleh polisi. Rupanya, Jaka menjadi tersangka penganiayaan anak remaja. Dari sini, kita sudah tahu siapa biang keladinya, yakni Shafa dan pacarnya yang bandel. Shafa sendiri enggak punya motivasi yang betul-betul jelas tentang mengapa ia melakukan hal senekat ini.
Pada dua episode awal, Shafa tampil dan mengundang empati mengingat keadaan keluarganya yang berantakan. Namun, dalam episode ini terlihat Shafa anak yang kacau, enggak punya empati, dan culas. Ia rela memfitnah hanya demi iseng-isengan, bahkan membuat Jaka berurusan dengan polisi.
Tokoh yang menyebalkan itu cerita lain. Namun, dalam episode ini, semua terasa janggal. Bagaimana polisi menyambangi Jaka, bagaimana proses kasus terlalu cepat bahkan cuma bermodal omong kosong anak remaja tanpa bukti bisa dengan mudahnya diproses.
Abimanyu, sebagai tokoh sampingan pun perkembangan karakternya enggak jelas. Ia yang memaksa Ambar untuk mencari suami pura-pura, tetapi ia juga yang berlagak cuek dan cemburu saat Ambar meminta tolong untuk mengeluarkan suami palsunya dari kantor polisi. Motivasi Abimanyu enggak jelas, ia sangat childish, dan tindakannya enggak logis sama sekali.
Cerita yang membosankan
Beruntungnya episode Open BO sangat singkat, enggak sampai satu jam. Jadi, kita enggak akan dibawa masuk ke dalam “neraka tanpa logika” terlalu lama, seperti saat menonton sinetron-sinetron televisi. Open BO, pada episode ketiga ini mengecewakan. Alih-alih memilih konflik antara Jaka dan Shafa yang lebih emosional (dan sebetulnya bisa dengan mudah dibangun tanpa harus pakai pihak ketiga), serial malah memilih jalan dramatis untuk menggambarkan permusuhan di antara keduanya.
Padahal, tanpa dimasukkan ke dalam konflik semacam itu, tokoh Shafa bisa banget dieksplorasi masalahnya. Misalnya, bagaimana kehilangan sosok ayah di usia muda dan punya ibu terduga PSK membuatnya menjadi enggak punya kompas moral yang jelas dan pada akhirnya melakukan pergaulan bebas dengan sang pacar yang begajulan. Atau, ia terlibat masalah emosional khas remaja dengan pacarnya. Pemilihan pacar Shafa yang nakal sudah cukup untuk bikin konflik coming-of-age yang rasional.
Tokoh Jaka pun sama menyebalkannya dengan kebodohannya yang selalu menyertai. Kita tahu, dalam premis Jaka memang diceritakan sebagai pria lugu. Namun, pria lugu enggak selalu bodoh, apalagi kalau profesinya penulis –profesi yang notabene butuh kreativitas tinggi dan pikiran kritis.
Setiap kali Ambar dan dirinya kepentok masalah, Jaka selalu menawarkan solusi sok suci tetapi bodoh seperti misalnya: mau menemui sang pejabat, mau konfrontir sang istri, jujur terhadap Shafa terkait profesi sang ibu, dan solusi-solusi enggak kreatif lain. Maka, dengan kualitas pikiran semacam ini, enggak mengherankan jika Jaka selalu mengalami kebuntuan, butuh riset lama cuma untuk bikin sinetron azab, dan terjerat utang puluhan juta.
***
Penyakit serial Indonesia adalah kecenderungan pemilihan konflik yang enggak logis. Sangat disayangkan mengingat Open BO bisa punya potensi untuk jadi serial komedi panas yang berbobot. Semoga di episode selanjutnya, serial ini berbenah dan enggak hanya menjual “cerita panas” serta komedi yang kurang lucu.
Jangan lupa untuk terus pantau KINCIR agar kamu enggak ketinggalan review serial dan film lainnya dari KINCIR.