Fenomena Match Fixing di Esports, “Noda” yang Sulit Dihilangkan

– Bagaikan noda bandel di pakaian, match fixing adalah hal yang saat ini sulit diberantas di esports.
– Judi online, khususnya yang ilegal, jadi biang keladi munculnya pengaturan skor di esports.

Ibarat filosofi yin dan yang, esports juga punya dua sisi yang patut disorot. Dari sisi positifnya, esports kini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Namun, di balik gemerlapnya, ada beberapa sisi gelap yang menjadi coreng bagi wajah esports. Salah satunya adalah fenomena match fixing yang tengah jadi buah bibir.

Turnamen Beyond the Summit Pro Series 2 menjadi salah satu contoh kasus terbaru maraknya match fixing di esports. Beyond the Summit (BTS) sebagai penyelenggara turnamen menemukan fakta bahwa tiga pemain dari tim PlusOne terbukti throwing dengan pura-pura disconnect agar tim-nya kalah dari lawan.

Via istimewa

Sementara itu, kasus yang tak jauh beda juga terjadi di Australia pada Mei 2020. Polisi Negara Bagian Victoria menangkap lima orang pemain Counter-Strike: Global Offensive yang dicurigai melakukan pengaturan skor. Kelimanya dicurigai sengaja mengalah di setidaknya lima pertandingan pada sebuah turnamen setelah bertaruh akan kekalahan mereka sendiri.

Dua kasus tersebut ternyata cuma sedikit dari banyak kasus pengaturan skor yang menjadi borok bagi industri esports. Dari fenomena ini, kita pun jadi bertanya-tanya. Apakah match fixing telah menjadi hal lumrah di esports? Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Lalu, adakah tindakan preventif untuk menghindari hal-hal seperti ini terus terjadi?

Untuk menemukan jawabannya, KINCIR akan mencoba menelisik fenomena match fixing yang terjadi di skena kompetitif profesional. Selamat menyimak!

Sudah Jadi “Kebiasaan” Buruk di Dunia Kompetitif

Jika ditelusuri, istilah match fixing sebenarnya bukan berasal dari dunia esports, melainkan olahraga konvensional seperti sepak bola. Contoh kasus pengaturan skor terbesar di era modern melibatkan beberapa tim sepak bola asal Italia. Salah satunya adalah Juventus. Pada 2006, tim berjuluk “si Nyonya Tua” ini divonis bersalah karena menyuap wasit untuk memengaruhi hasil akhir pertandingan.

Di Indonesia, ternyata fenomena ini juga “tumbuh subur”, bahkan dengan skala yang sama besarnya dengan yang terjadi di Italia. Pada 2018, Satgas Antimafia Bola bentukan Mabes Polri dan Polda Metro Jaya mengungkap adanya match fixing di divisi tiga liga sepak bola Indonesia. Dalam kasus ini, pihak yang terlibat bukan hanya tim dan wasit. Bahkan, terungkap petinggi Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) juga ikut terlibat.

Via Istimewa

Kembali ke ranah esports, kasus match fixing enggak hanya terjadi sekali, dua kali, atau tiga kali. Bahkan, meski sudah terjadi beberapa kali dengan hukuman cukup berat bagi para pelaku, kasus pengaturan skor di esports tetaplah terjadi seakan sudah menjadi “kebiasaan”.

StarCraft tercatat pernah menjadi game dengan kasus match fixing paling menghebohkan di jagat esports. Pada 2010, beberapa pro player Starcraft di Korea Selatan dicurigai terlibat dalam kasus pengaturan skor. Salah satu pihak yang terlibat adalah Ma “SaViOr” Jae-Yoon. Pemain yang digadang-gadang sebagai yang terbaik pada masanya ini terbukti menjadi broker antara petaruh dan penggemar.

Seakan tidak mengambil pelajaran dari kasus ini, lagi-lagi terjadi kasus yang sama di skena kompetitif Starcraft Korea Selatan pada 2016. Ironisnya, pemain yang digadang-gadang sebagai yang terbaik kembali lagi jadi biang keladi.

Via Istimewa

Kali ini giliran Lee “Life” Seung-Hyun yang divonis bersalah karena terbukti sengaja mengalah pada dua pertandingan. Sebagai konsekuensi, Life pun dipenjara hingga 18 bulan dan didenda 70 juta won. Kariernya pun tamat setelah South Korean Esports memberinya larangan seumur hidup untuk berkompetisi.

Pemain Dota 2 pun seakan tak mau kalah mencoreng nama baiknya sendiri dengan skandal match fixing. Kasus “322” yang dilakukan oleh Alexi “Solo” Berezin bisa dibilang jadi yang paling diingat. Hanya karena uang taruhan sebesar 322 dolar, Solo pun nekat mengalah hingga pada akhirnya terbukti bersalah atas kasus pengaturan skor.

Tim sekelas Newbee pun ternyata juga melakukan “dosa” yang sama. Mantan juara The International 2014 ini secara resmi di-ban permanen oleh Asosiasi Profesional Dota 2 Tiongkok akibat indikasi pengaturan skor di beberapa turnamen esperti DPL-CDA Professional League Season 1 serta babak kualifikasi StarLadder ImbaTV Dota 2 Minor Season 3.

Via Istimewa

Ranah CS:GO pun juga punya contoh kasus match fixing yang tak kalah heboh. Pada 2016, Pada Januari 2015, enam pemain dan pemilik tim iBuyPower mendapat hukuman larangan bermain setelah terbukti bersalah atas dugaan pengaturan skor di turnamen CEVO Professional Season 5. Menariknya, tindakan tak sportif ini terungkap gara-gara investigasi yang dilakukan Richard Lewis, jurnalis Dot Esports.

Beda dengan industri esports luar negeri atau yang terjadi di dunia sepak bola. Hingga saat ini belum ada kasus match fixing esports yang tercatat pernah terjadi di Indonesia.

Bagaimana Match Fixing Bisa Tumbuh Subur di Esports?

Melihat perkembangan industri esports yang sangat pesat, tak bisa dimungkiri, semua berawal dari uang. Demi lembaran kertas ini, banyak gamer yang rela melanggar aturan. Apalagi industri esports merupakan “lahan basah” yang menjanjikan jutaan dolar, terbukti dari perkembangannya tahun ke tahun. Tidak heran jika banyak oknum yang mengambil keuntungan melalui jalur ilegal. Salah satu “jalan pintas” yang kerap dipilih oleh pelaku match fixing esports adalah perjudian.

Sebelum membahas lebih lanjut, harus dipahami bersama bahwa perjudian merupakan aktivitas legal di luar negeri, khususnya di belahan dunia barat. Bahkan, situs-situs taruhan seperti seperti Betway, Hillside Sports ENC, and Tipico membuka taruhan resmi untuk turnamen-turnamen esports besar seperti The International hingga League of Legends World Cup.

Via istimewa

Gelombang situs perjudian esports ini seakan tidak bisa ditahan. Pasalnya, keuntungan yang diraih pun sejalan dengan perkembangan esports secara keseluruhan. Tahun 2015, Forbes membuat sebuah prediksi nilai taruhan esports di dunia. Di tahun 2015 angka pendapatan di bidang ini bisa mencapai 250 juta dolar, di tahun 2020 angkanya melonjak pesat hingga 23 miliar dolar.

Sayangnya, tak hanya yang resmi, pasar gelap untuk perjudian ilegal pun ikut meningkat. Sportradar yang telah bekerjasama dengan ESL untuk mendeteksi aktivitas judi ilegal pun menemukan ada 450 transaksi mencurigakan di dalam game CS:GO. Tentunya, taruhan yang dimaksud adalah hanya dalam turnamen besutan ESL saja, seperti rangkaian ESL One.

Terkejut? Tentu saja, ESL langsung seperti kebakaran jenggot setelah mengetahui informasi ini. Bagi si penyelenggara, kasus ini bisa mencoreng nama besar mereka. Pastinya, ketika terdengar soal perjudian yang ada di dalam turnamen, maka kredibiltasnya akan dipertanyakan. Maka dari itu, segala bentuk judi ilegal yang dilakukan oleh perusahaan tidak resmi sangat dilarang. Apalagi bentuknya adalah match fixing yang jelas-jelas mencoreng sportivitas.

Via Istimewa

Sayangnya, bagaikan gayung bersambut, masih ada tim yang terhasut untuk melakukan match fixing. Inilah yang menjadi alasan mengapa kecurangan ini masih saja terjadi di ranah esports meskipun sudah ada larangan keras dan peraturan yang ketat. Masalahnya, siapa yang tidak tergiur dengan tawaran uang jutaan dolar? Apalagi, si pelaku sudah pesimis dengan langkah mereka di turnamen tersebut.

Ian Smith selaku Integrity Comissioner ESIC mengemukakan pendapat yang cukup menarik soal alasan menjamurnya match fixing di esports. Menurutnya, ada dua kemungkinan mengapa para tim dan pemain melakukan kecurangan di dalam turnamen.

Pertama, adanya peluang besar di dalam turnamen untuk mengatur skor (kerjasama dengan penyelenggara). Kedua, adanya penyuapan aliran dana ke dalam manajemen tim yang dilakukan oleh mafia.

Alasan kedua merupakan yang paling menarik perhatian. Artinya, di luar sana ada sebuah organisasi terselubung yang bekerja di balik layar. Sayangnya, meskipun sudah banyak kasus match fixing yang telah berhasil dilacak, otak utama dari aktivitas ini belum bisa ditemukan.

Via Istimewa

Satu hal yang menarik, kaitan antara match fixing dan taruhan ilegal ini sebenarnya bisa menjawab pertanyaan mengapa di Indonesia tidak pernah, atau setidaknya belum pernah terjadi kasus pengaturan skor esports.

Di Indonesia, sudah jelas ada hukum yang mengatur pelarangan segala praktik perjudian. Seperti yang diatur dalam Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pelaku praktik perjudian (termasuk online), terancam hukuman penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Bisa diasumsikan, mereka yang berniat melakukan match fixing dari taruhan ilegal pun terkendala akan aturan ini. Sindikat-sindikat taruhan ilegal pun tidak akan berani mengambil risiko besar. Lagipula, pasar perjudian di Indonesia sudah bisa diprediksi sangat kecil sebagai akibat dari hukum yang menjerat tersebut.

Match Fixing dan Judi Ilegal, “Noda” yang Sulit Dihilangkan

Lalu, apakah sudah ada upaya untuk memberantas pengaturan skor di esports. Untuk saat ini, jawabannya belum ada. Sejauh ini para petinggi esports hanya mampu meredam kasus match fixing melalui peraturan dan pembentukan organisasi. Tidak ada penindakan atau investigasi berlanjut selain larangan bermain atas kasus match fixing yang telah terjadi.

Untuk saat ini, regulasi yang bisa meminimalisir perjudian ilegal diinisiasi oleh Pemerintah Swedia. Negara balkan ini menginisiasi hukuman denda bagi perusahaan judi yang menggelar taruhan di sebuah pertandingan yang mayoritas diikuti oleh pemain yang berusia 18 tahun ke bawah. Regulasi ini diberlakukan demi menjaga integritas, sportivitas, serta upaya nyata untuk mencegah pengaturan skor.

Selain Pemerintah Swedia, ESL adalah salah satu perusahaan yang paling terdepan ketika berbicara soal match fixing. Bagaimana tidak? Seperti yang telah dijelaskan tadi, bahwa di dalam turnamen yang mereka gelar ada 450 aktivitas judi ilegal dan mengarah pada match fixing.

Maka dari itu, ESL membentuk sebuah organisasi bernama Esports Integrity Coalition (ESIC) pada tahun 2015 yang diisi oleh penerbit game, penyelenggara turnamen, para sponsor esports, serta para atlet dan tim esports.

Dalam organisasinya mereka memegang teguh lima poin, yaitu Principles, Code of Ethics, Code of Conduct, Anti-Coruption Code, dan Anti-Doping Code. Dari lima visi misi ini, Anti-Coruption Code dibuat khusus untuk aktifitas match fixing. Namun, apakah pembuatan organisasi ini akan sukses untuk memberantas judi ilegal di esports?

“Rasanya mustahil untuk memberantas taruhan ilegal dan match fixing secara keseluruhan,” ujar Stephen Hanna, salah satu pejabat ESIC untuk regional Australia. Meski begitu, ESIC tidak lepas tangan begitu saja. Mereka pun tetap berupaya semaksimal mungkin untuk meminimalisir praktik ilegal tersebut.

Melihat para kolega yang ikut serta dalam organisasi ini merupakan para pelaku utama esports, sepertinya ada secercah harapan. Kalau saja mereka bisa merangkul semua tim esports dari kalangan amatir hingga profesional, kemungkinan mereka bisa memberantas match fixing. Meskipun butuh usaha ekstra untuk hal ini, ESIC dirasa punya kapabilitas besar di masa depan.

Via istimewa

Peraturan yang dibuat di dalam turnamen juga sebenarnya sudah jelas bahwa ada larangan para tim melakukan match fixing. Lantas mengapa masih ada saja yang tetap melakukannya? Apakah peraturan saja tidak cukup? Sepertinya memang belum cukup. Penyelenggara harus memastikan lebih detail kepada para peserta dengan melihat riwayat investor yang ada di tim.

Untuk menelisik kasus match fixing memang sangat sulit. Aktivitas yang tersebar melaui internet ini bisa saja dilakukan di mana pun dan oleh siapa pun. Maka dari itu, belum ada langkah pasti dari pelaku esports untuk memberantas kasus match fixing. Maka dari itu, semua kembali lagi kepada pemain sebagai individu yang menjunjung tinggi sportivitas agar hal-hal seperti ini bisa dicegah.

***

Sangat disayangkan memang budaya match fixing ini masih ada dan berkembang di ranah esports. Bentuk kecurangan yang merusak nilai sportivitas ini memang harus diberantas sampai ke akarnya. Namun, belum ada langkah pasti dari para pelaku esports untuk menindaklanjuti kasus match fixing.

Semoga saja, di masa depan para pelaku esports bisa bersama-sama menciptakan ekosistem yang sehat. Industri esports pun bisa terus berkembang dan membawa tren positif ke pada para pelaku dan penggiatnya.

Nah, bagiamana menurut kalian dengan fenomena match fixing di esports ini? Jangan sungkan untuk bagikan komentar kalian di kolom bawah, ya! Terus ikutin juga tulisan menarik seputar game lainnya hanya di kanal KINCIR.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.