– Isu seksisme yang telah lama jadi duri dalam daging di industri game ternyata berdampak juga ke esports.
– Melihat situasi saat ini, kira-kira kapan atlet esports cewek bisa bersanding dengan lawan jenisnya?
Gemerlap panggung kejuaraan esports menjadi salah satu impian terbesar bagi gamer di seluruh dunia. Pasalnya, esports merupakan industri yang sangat potensial. Saking besarnya potensi industri ini, kesejahteraan atlet esports pun kini bisa disandingkan dengan atlet olahraga tradisional seperti sepak bola, basket, dan lainnya.
Namun, untuk saat ini esports masih sangat jauh dari kata kesetaraan. Terlihat jelas perbedaan, khususnya antara cowok dan cewek di esports. Saat ini, esports seakan lekat dengan stigma sebagai kompetisi yang memang ditujukan khusus untuk pemain cowok. Bukan cuma karena jumlah atlet esports cewek yang lebih sedikit, cewek pun selalu dianggap sebelah mata, terutama dari segi kemampuan.
Melihat stigma ini, mungkin kalian juga berpikir apakah mungkin kesetaraan antara cewek dan cowok bisa terwujud di esports? Bisakah cewek membuktikan bahwa mereka bisa berada satu panggung dan berkompetisi dengan cowok? Ataukah hal tersebut sangat mustahil karena industri ini memang tidak ramah dengan kaum hawa yang memutuskan untuk bermain secara kompetitif?
Nah, KINCIR pun akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas untuk mengupas lebih dalam mengenai kapan pemain cewek akan bisa setara dengan cowok. Yuk, simak pembahasan khususnya di bawah ini!
Masih Terbelenggu Budaya Patriarki
Kegiatan bermain game memang bisa dimainkan oleh segala kalangan. Namun, pada kenyataannya budaya bermain game justru banyak dilakukan oleh cowok. Riset yang dilakukan Newzoo pun mengungkap bahwa pemain cowok memang lebih banyak ketimbang cewek di berbagai platform.
Hasilnya, bukannya hal yang aneh jika jumlah atlet esports cowok lebih banyak, baik di Tanah Air maupun luar negeri. Sebaliknya, jumlah atlet esports cewek, khususnya yang berpartisipasi di sebuah turnamen esports atau bergabung dengan sebuah tim esports yang didominasi cowok, sangat sedikit, bahkan hingga bisa dihitung dengan jari. Tim pun lebih memilih untuk membentuk tim khusus untuk cewek.
Alhasil, pemisahan antara cewek dan cowok di esports pun tak dapat terhindari. Saat ini, cewek jadi punya kategori tersendiri dalam sebuah turnamen atau bahkan kejuaraan khusus untuk peserta cewek. Padahal, sebenarnya enggak ada larangan cewek berpartisipasi atau aturan yang secara spesifik menyebutkan bahwa tim enggak boleh mempunyai pemain cewek.
Jika ditelisik secara logis, padahal sudah seharusnya tidak ada jurang pemisah antara cewek dan cowok di sebuah kompetisi yang tidak mengandalkan fisik seperti olahraga tradisional. Esports tidak memerlukan ketangkasan fisik dan lebih mengandalkan soft skill seperti ketepatan, mental, dan kerja sama tim. Makanya, sudah seharusnya cewek bisa bersanding secara kompetitif dengan cowok di esports.
Pertanyaan besar pun muncul. Sebenarnya, apa hal yang membuat atlet esports cewek enggan bersaing secara kompetitif dengan para pemain cowok hingga jumlahnya sangat sedikit? Apalagi jika kita melihat di turnamen-turnamen kelas kakap seperti The International atau League of Legends World Cup yang hingga saat ini tidak pernah ada peserta cewek.
Meski tidak ada batasan fisik atau perbedaan karakteristik biologis, cewek di esports seakan terbelenggu dengan budaya patriarki. Masalahnya, budaya ini juga telah ada secara turun temurun dan tak hanya terjadi di esports.
Lebih parahnya lagi, budaya patriarki dan seksisme seakan telah menjadi "tradisi" di industri video game sejak lama. Kita bisa lihat dari banyaknya game-game yang menampilkan karakter utama cowok. Bahkan, jika ada cewek dijadikan karakter utama, mereka justru digambarkan secara seksi.
Hasilnya, komunitas game maupun esports pun menganggap cewek sebagai “objek”. Bahkan, situasi ini juga membuat cewek seakan jadi “kasta” terbawah di dunia game hingga secara tak sadar membuat cewek yang bermain game terasa “istimewa” dalam artian negatif.
Pada akhirnya, cewek dihadapkan dengan beban yang berat karena harus melawan dua stigma negatif sekaligus. Pertama, mereka harus melawan anggapan cewek di industri game yang dipicu budaya patriarki yang telah mendarah daging. Kedua, cewek juga harus berhadapan dengan stigma buruk video game yang selama ini dianggap sebagai kegiatan negatif.
Industri yang Kurang Bersahabat buat Kaum Hawa
Anggapan buruk terhadap cewek di industri game dan esports pun memunculkan efek domino yang cukup parah. Salah satunya adalah kepercayaan pada atlet esports cewek pun jadi semakin berkurang. Pada akhirnya, tidak ada yang mau merekrut atau memberi bayaran tinggi kepada kaum hawa. Buktinya bisa dilihat pada perbedaan yang sangat jauh antara pendapatan atlet esports antara cewek dan cowok.
Terhitung 2019, peringkat pertama atlet esports cewek dengan bayaran tertinggi adalah Sasha “Scarlett” Hostyn (296 ribu dolar atau Rp4,3 miliar). Angka tersebut sangat jauh di bawah Kuro “KuroKy” Salehi Takhasomi yang saat itu menempati peringkat pertama dengan total pendapatan 4,1 juta dolar atau sekitar Rp59,8 miliar.
Begitu pun jika dilihat dari total hadiah yang disediakan penyelenggara turnamen mainstream dengan yang khusus untuk cewek. Contohnya bisa kita ambil dari turnamen Point Blank yang rutin menyelenggarakan kompetisi tersendiri untuk tim cewek, jika Point Blank National Championship hadiahnya bisa mencapai Rp300 juta, di Point Blank Ladies Championship hanya menyediakan hadiah sebesar Rp15 juta.
Selain itu, isu mentalitas juga menjadi salah satu kendala bagi atlet esports cewek dalam memperjuangkan keseteraan. Hal tersebut pun dirasakan betul oleh Safira “ShaSha” Dwi Safitri dari The Pillar Esports. Menurutnya, salah satu faktor yang bikin pemain cewek susah berkembang dan bersaing dengan pemain cowok adalah masalah kepercayaan diri.
“Pemain cewek masih banyak yang kurang percaya diri dengan kemampuannya. Padahal, mereka juga bisa bersaing bersama karena enggak ada batasan fisik. Masalahnya cuma pede atau enggak,” ungkap pemain bernama lengkap Safira Dwi Safitri ini.
Selain faktor internal, ada juga isu lain yang berasal dari luar diri para pemain. Bahkan, faktor eksternal ini bisa jadi rintangan terberat bagi para cewek untuk bisa berlaga secara kompetitif dengan para cowok. Di antara banyak faktor, isu pelecehan seksual menjadi yang paling disorot.
Pelecehan seksual saat ini masih menjadi isu terbesar di industri esports selain pengaturan skor. Studi yang dilakukan oleh T.L. Taylor, sosiolog sekaligus profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT), mengatakan bahwa saat ini kaum hawa lebih cenderung memilih untuk menjadi penonton.
Menurutnya, hal tersebut terjadi karena audiens esports yang masih kurang ramah. Adanya kasus pelecehan terhadap cewek yang kerap terjadi membuat mereka mengurungkan niatnya untuk terjun di esports. Taylor pun mengatakan, jika pelecehan ini terus menerus diterima, enggak menutup kemungkinan sang pelaku ranah esports ini akan memutuskan berhenti.
Contoh kasus pelecehan seksual terhadap atlet esports cewek yang sempat menggemparkan industri dialami oleh Maria “Remilia” Creveling. Dia merupakan pemain cewek untuk tim Renegades yang mampu menembus gelaran League of Legends Championship Series (LCS) 2015.
Sayangnya, kariernya sebagai atlet esports yang berhasil menembus “batas” tersebut harus berakhir. Dia memutuskan untuk berhenti dari ranah kompetitif setahun kemudian yang alasannya diduga karena kasus pelecehan dan risakan yang diterimanya.
Masalah ini ternyata tidak hanya dialami oleh para atlet esports cewek.Caster pun juga harus mengalami perlakuan buruk yang tak jauh beda dari berbagai pihak. Salah satu yang merasakan pengalaman pahit tersebut adalah Velajave. Caster bernama lengkap Veronica Fortuna ini kerap mendapat tindakan pelecehan dan bullying yang mengarah ke body shaming.
“Kalau bisa aku bilang, ujian paling berat untuk bisa bertahan di industri esports adalah mental. Jangankan aku sebagai caster, para pro player juga pasti mengalami hal seperti cyber bullying ini. Kalau mau bertahan, ya mental memang harus kuat. Kalau enggak, pasti akan sulit untuk bertahan," ujar caster yang dulu sempat berkeinginan menjadi pro player Dota 2 tersebut.
Cuma Dianggap Sebagai “Pemanis?”
Hingga kini, tim-tim esports memang masih didominasi oleh pemain cowok. Bukan berarti cewek enggak bisa jadi pemain profesional. Buktinya, beberapa tim esports di Indonesia telah membuka kesempatan untuk cewek untuk bisa berlaga di sebuah turnamen esports, misalnya, EVOS Esports. ONIC Esports, atau Bigetron.
Selain itu, sosok ShaSha dari The Pillars Esports atau Mauren "Alice" Gabriella yang berlaga di ajang PUBG Mobile Professional League (PMPL) untuk tim Bigetron RA bisa jadi acuan. Mereka jadi bukti bahwa cewek sebenarnya bisa menembus batas dan bersaing dengan lawan jenisnya di esports.
Namun, tak bisa dimungkiri bahwa ShaSha dan Alice hanya segelintir dari banyaknya atlet esports cewek. Sisanya, lebih banyak dari mereka yang lebih memilih untuk terus berada di “zona nyaman” dengan bermain di turnamen khusus cewek atau bahkan tidak bersaing secara kompetitif.
Hal ini pun memunculkan stigma bahwa pemain cewek di tim esports hanya berperan sebagai “pemanis. Entah itu untuk mengisi konten media sosial maupun jadi ikon bagi tim, atau bahkan hanya demi aksi publisitas untuk mendorong popularitas tim tersebut.
Pernyataan bahwa cewek cuma jadi “pemanis” ini pun bisa dibuktikan dengan kasus yang dialami pemain cewek bernama Julia “Mayumi” Nakamura. Namanya sempat viral di kalangan penggemar skena esports League of Legends setelah menjadi roster utama untuk tim asal Brasil, INTZ, pada Desember 2019.
Dia sempat tercatat membela timnya di ajang League of Legends regional Brasil, ABCDE Super League. INTZ memang kalah 2-1. Namun, Mayumi tampil gemilang hingga mencuri perhatian penggemar League of Legends di seluruh dunia. Sayang, namanya tidak lagi terdengar setelah dia tergusur dari roster utama INTZ. Meski sempat berlaga secara kompetitif, Mayumi sejatinya tidak pernah berlaga untuk turnamen resmi dari Riot Games selaku developer dan publisher MOBA populer yang satu ini.
Lama tak terdengar kabarnya, tiba-tiba Mayumi datang dengan gugatan resmi kepada INTZ pada Juni 2020. Seperti yang dikutip dari UOL Brasil, Gugatan yang diajukan Mayumi merupakan bentuk kekecewaannya karena perlakuan dari INTZ yang dianggap memanipulasi dan memanfaatkan dirinya untuk kepentingan promosi tim. Dari sinilah, baru terungkap bahwa pemain support ini ternyata sudah keluar dari tim sejak Mei 2020 dan tidak aktif bermain untuk tim selama beberapa bulan.
Lebih parahnya lagi, Mayumi juga mengungkap adanya tindakan "perisakan tidak langsung" oleh rekan setim, pelatih, hingga manajemen INTZ. Setelah tergusur dari tim utama, Mayumi mengaku tidak pernah diperhatikan lagi layaknya seorang atlet esports profesional.
Dia merasa didiskriminasi karena rekan setimnya tidak pernah berkomunikasi lagi dengannya. Bahkan, pelatihnya pun tidak pernah memberinya arahan lagi. Ironisnya, manajemen tim juga memperkeruh situasi dengan tidak lagi memberinya PC beserta perlengkapan lainnya untuk berlatih.
Melihat kasus yang dialami Mayumi, jika kalian perhatikan lagi, pemain cewek kerap menghiasi postingan suatu tim yang dibuat untuk meramaikan kontennya. Walaupun bergabung dalam tim esports, prestasi yang dibuat pun belum tentu diketahui oleh publik. Hal ini pun mendorong opini jika kehadiran pemain cewek hanya sekedar pemanis untuk tim itu sendiri. Indra Hadiyanto selaku Chief Operating Officer tim Alter Ego pun enggak menampik opini tersebut.
“Permasalahannya di Indonesia, untuk pemain pro (cewek) saja masih dilirik sebelah mata. Dan masih banyak yang beranggapan bahwa pemain cewek itu lebih ke arah influencer atau hanya pemanis saja,” ungkap Indra kepada KINCIR.
Sebagai salah satu pemain cewek Free Fire yang juga merangkap sebagai caster, Nadya “OhBaby” Safura, juga enggak keberatan dengan istilah pemain cewek dianggap pemanis di skena esports. Menurutnya, esports sebenarnya enggak melulu jadi pro player, tapi juga ada bidang karier lain yang justru bisa lebih menguntungkan.
“Sebenarnya bukan pemanis, tapi lebih ke arah esports merupakan lapangan pekerjaan yang diperuntukan untuk siapa saja. Anggapan pemanis mungkin pasarnya, serta bukan untuk memaniskan esports itu sendiri,” jelas OhBaby.
BabyShark yang lebih memilih jadi streamer ketimbang pemain profesional pun sepaham jika pemain cewek dianggap sebagai “pemanis”. Sebenarnya, hati terdalamnya enggak setuju dengan pernyataan tersebut. Soalnya, pemain cewek seharusnya punya kesempatan yang sama untuk bisa menjadi pro player.
“Sedihnya, kenyataannya memang pahit. Aku sendiri enggak menolak opini tersebut. Padahal, pemain cewek seharusnya dikasih kesempatan untuk bisa menunjukan kemampuan mereka. Tim esports juga harus bisa netral dan melihat dari skill,” ujar BabyShark.
Namun, enggak semua tim menganggap keberadaan cewek hanya sebagai pemain belaka. Salah satunya The Pillars yang menggunakan jasa ShaSha sebagai pemain utama di skuadnya. ShaSha pun mampu mendapat kesempatan untuk bisa bersanding dengan para cowok pada tim The Pillars Slayer. Menurut Raihan Muhammad selaku CEO The Pillars, masuknya pemain cewek tersebut sebagai penyeimbang emosi para pemain lainnya.
“Adanya ShaSha sebagai pemain bisa jadi penyeimbang atau penurun tempo. Jadi, ketika pemain lainnya lagi sedang berada di tempo yang tinggi. Ketika pemain cowok lagi beradu argumen, ShaSha lah yang jadi penengah dan penurun tempo,” ungkap Raihan.
Kapan Hawa Bisa Seutuhnya Bersanding dengan Adam?
Selama ini, mungkin kalian secara tak sadar pernah menyepelekan cewek saat sedang bermain game, baik secara langsung maupun tak langsung. Secara langsung, mungkin kalian pernah mengistimewakan teman cewek dengan mengajarinya bermain atau sengaja mengalah saat melawannya. Sedangkan, kata-kata seperti “Cupu banget, lo kayak cewek mainnya!” bisa menjadi bukti tidak langsung.
Harus kita pahami bersama, tindakan-tindakan seperti itu nyatanya menjadi penyebab sulitnya esports cewek berkembang dan bersaing dengan cowok. Sebab, hal tersebut membuat pemain cewek jadi tidak percaya dengan kemampuannya sendiri. Mereka pun akan terus berpikiran bahwa cewek akan selalu berada “di bawah ketiak cowok” dan berpikir bahwa lawan jenisnya layak untuk mendapat lebih.
Situasinya akan lebih buruk jika cewek terus menerus berpikiran seperti itu hingga merasa semua itu normal. Sebab, pada akhirnya tercipta jurang pemisah antara esports cewek dan cowok. Terlebih jika membahas “perlakuan” khusus berupa penyelenggaraan turnamen khusus untuk cewek.
Padahal, turnamen khusus cewek bukanlah jalan keluar untuk menyelesaikan masalah ini. Peran penyelenggara turnamen, baik itu publisher atau developer, sangat dibutuhkan agar jurang pemisah ini bisa kembali disatukan. Mereka pun harus sadar bahwa menyelenggarakan turnamen khusus cewek justru mempertegas diskriminasi serta stigma bahwa cewek tidak mampu bersaing dengan cowok.
Selain itu, para srikandi esports yang memilih jalan karier sebagai atlet juga harus menyadari bahwa perubahan dimulai dari diri sendiri. Semua bisa dimulai dengan menghapus anggapan bahwa “cewek selalu berada di bawah ketiak cowok”. Mereka harus berpikir bahwa esports bukanlah bidang yang punya diferensiasi biologis. Artinya, semua bisa bersaing, baik sebagai cewek dan cowok.
***
Memang terbilang berat untuk membahas kesetaraan gender di esports. Pasalnya, stigma negatif terhadap gamer atau atlet esports cewek udah ada sejak lama akibat problema seksisme di industri game.
Namun, memperjuangkannya bukan sebuah upaya yang 100% mustahil. Tidak ada perbedaan karakteristik biologis antara cewek dan cowok sehingga kemungkinan setara sangat mungkin untuk terwujud.
Tentu, semua kembali ke individu masing-masing, khususnya cewek, untuk bersikap tegas dengan menghapus istilah antara atlet esports “cewek” dan “cowok”. Dengan menganggap diri sebagai atlet esports tanpa embel-embel gender, kalian sebagai gamer cewek pun bisa fokus mengembangkan kemampuan tanpa harus memikirkan masalah diskriminasi dan stigma negatif lainnya.
Bagaimana tanggapan kalian tentang kesetaraan gender di esports? Tetap di KINCIR agar kalian enggak ketinggalan tulisan menarik lainnya seputar esports!