5 Alasan Mengapa Game FIFA Buatan EA Sports Enggak Layak Jadi Esports

Sepak bola merupakan salah satu olahraga paling populer se-dunia, dan hal tersebut juga tercermin dengan populernya berbagai game sepak bola. Salah satu game sepak bola paling populer adalah FIFA, yang merupakan garapan EA Sports.

Sejak tahun 2017, EA Sports mulai serius mengembangkan skena esports untuk game andalan mereka tersebut. Mereka mulai menggelar berbagai turnamen resmi, untuk membuktikan bahwa game sepak bola buatan mereka juga punya skena esports yang enggak kalah dengan game bergenre lain.

Namun berbagai kritikan kerap menerpa perusahaan asal Amerika Serikat tersebut. Termasuk kritikan terhadap skena kompetitif dalam game FIFA, yang mereka tengah kembangkan tersebut.

Salah memilih mode untuk skena kompetitif

Juara dunia turnamen FIFA resmi EA Sports pada tahun 2014.
Juara dunia turnamen FIFA resmi EA Sports pada tahun 2014. Via Istimewa.

Skena kompetitif FIFA sendiri sudah berjalan sejak tahun 2004. Saat itu para pemain bermain menggunakan tim sepak bola sungguhan untuk bertanding. Namun hal tersebut berubah sejak tahun 2017, kala mereka mulai menggunakan mode FIFA Ultimate Team sebagai wadah skena kompetitif mereka.

FIFA Ultimate Team merupakan sebuah mode yang penuh dengan mikrotransaksi dan kerap mendapat embel-embel pay-to-win yang sangat kental. Sangat aneh tentunya melihat sebuah game esports, tetapi para pemain harus mengeluarkan uang untuk gacha demi bisa meraih kemenangan.

Padahal mereka bisa saja menggunakan tim sepak bola sungguhan seperti yang sempat mereka terapkan dahulu. Memang nantinya pertandingan akan jadi monoton, lantaran mungkin hanya tim-tim besar seperti Real Madrid atau Manchester City saja yang akan terpilih. Namun hal tersebut tentunya lebih baik, ketimbang menggunakan mode pay-to-win untuk dijadikan skena kompetitif.

FIFA Ultimate Team dipilih bukan berdasarkan asas fair play, tapi karena cuan semata

Turnamen FIFA eWorld Cup 2021.
Turnamen FIFA eWorld Cup 2021. Via Istimewa.

Menarik untuk mendalami alasan EA Sports menggunakan mode FIFA Ultimate Team sebagai wadah skena kompetitif mereka. Pasalnya mode ini sangat identik dengan mikrotransaksi dan mendapat embel-embel pay-to-win dari banyak orang.

Hal ini tentunya membuat orang yang memiliki tim lebih bagus, punya peluang lebih besar buat bisa jadi pemain profesional. Semakin banyak uang yang seseorang keluarkan untuk gacha, maka semakin bagus pula tim yang akan ia miliki. Kemudian semakin bagus tim seseorang, maka peluangnya untuk menang menjadi semakin besar pula.

Hal tersebut tentunya jauh dari asas fair play yang selama ini identik dalam esports. Dalam esports biasanya setiap pemain memiliki peluang yang sama untuk bisa menang dan lolos ke turnamen major. Namun hal tersebut enggak akan kamu temukan dalam skena kompetitif game milik EA Sports tersebut.

Lantas apa yang membuat EA Sports kukuh untuk menjadikan FIFA Ultimate Team sebagai wadah skena kompetitif? Jawabannya mungkin adalah cuan. Mode Ultimate Team merupakan sumber pendapatan utama EA Sports, selain menjual game olahraga yang rilis setiap tahun.

Mikrotransaksi dalam FIFA Ultimate Team.
Mikrotransaksi dalam FIFA Ultimate Team. Via Istimewa.

Melansir situs goal, EA Sports mendapatkan keuntungan dari mikrotransaksi sebesar USD 1,6 miliar pada tahun 2020. Keuntungan tersebut mereka dapat dari seluruh mode Ultimate Team dalam game olahraga mereka, mulai dari FIFA, Madden, NHL, NBA, dan UFC.

Hal itu tentunya membuat banyak anggapan jika turnamen esports yang mereka gelar, merupakan ajang untuk memasarkan pemain-pemain bola hebat yang hanya bisa didapat melalui gacha. Mereka berharap dengan melihat para pro player bermain menggunakan pemain hebat tersebut, bisa membuat penonton melakukan mikrotransaksi untuk bisa mendapatkan pemain-pemain tersebut.

Butuh uang banyak supaya bisa kompetitif di skena esports

Jika memang FIFA Ultimate Team merupakan mode pay-to-win, lantas berapa banyak sih uang yang harus pro player keluarkan setiap tahunnya demi memiliki tim yang komptetitif? Hal tersebut menjadi pertanyaan yang pastinya muncul orang-orang yang mengikuti skena kompetitif game tersebut.

Sayangnya enggak banyak pro player yang mau mengungkapkan ke publik, berapa banyak uang yang harus mereka habiskan untuk berkompetisi dalam skena kompetitif FIFA. Akhirnya salah satu pemain profesional veteran dalam skena kompetitif FIFA, Ivan “Boras” Lapanje mengungkapkan jumlah yang harus ia keluarkan supaya bisa bersaing dengan pemain-pemain lain untuk satu turnamen kualifikasi.

Melalui cuitan dalam akun Twitter resminya, laki-laki asal Swedia tersebut mengaku jika ia harus menghabiskan setidaknya USD 1700 atau setara dengan Rp26 juta untuk sekali transaksi demi membuat timnya menjadi semakin apik.

Jumlah tersebut tentunya termasuk banyak, padahal Boras sendiri bukan termasuk orang yang terkenal jor-joran untuk gacha. Masih banyak atlet esports profesional lainnya yang menghabiskan uang lebih banyak untuk gacha, demi bisa kompetitif dalam skena esports FIFA.

Turnamen elit, prize pool sulit

Jika butuh uang banyak untuk bisa kompetitif, pastinya hadiah yang didapat untuk setiap turnamennya juga pasti besar dong? Enggak juga. Prize pool yang EA Sports sediakan masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan game-game esports lain yang juga tengah berkembang.

FIFA eWorld Cup 2022 yang merupakan turnamen terbesar tahun ini hanya memiliki total hadiah sebesar USD 500 ribu. Angka yang digelontorkan oleh FIFA jadi terdengar miris kala dibandingkan dengan The International 2022. Valve menyediakan prize pool sebesar USD 18,9 juta dari hasil kolektif Battle Pass dan sumbangsih sang penyelenggara.

Turnamen FIFA eWorld Cup.
Turnamen FIFA eWorld Cup. Via Istimewa.

Selain itu jumlah uang yang didapat oleh para pemain yang berlaga dalam turnamen FIFA eWorld Cup 2022 juga sangat sedikit, terlebih untuk pemain-pemain yang kalah pada babak awal.

Enam belas pemain yang tersingkir pada babak grup, masing-masing hanya mendapatkan uang sebesar USD 750. Jumlah tersebut sangat sedikit jika dibandingkan dengan event Fortnite World Cup, yang bahkan juara terakhinya bisa membawa pulang USD 50 ribu.

Ironis memang jika melihat hadiah yang didapat setelah lolos ke FIFA eWorld Cup Semua uang yang sudah dikeluarkan pemain untuk mendapatkan tim yang layak jadi tak berarti. Apalagi jika mengingat semua effort para peserta untuk bisa tampil di kejuaraan tersebut.

Harus “nyogok” penonton buat nonton turnamen

Salah satu alasan mengapa turnamen esports bisa terselenggara tentunya akibat adanya minat dari penonton. Jumlah penonton juga bisa menjadi salah satu barometer sukses atau tidaknya sebuah gelaran turnamen esports.

Melansir situs escharts, gelaran FIFA eWorld Cup 2022 yang lalu berhasil memiliki peak viewers sebesar kurang lebih 149 ribu penonton. Jumlah tersebut tentunya cukup besar, untuk ukuran sebuah turnamen FIFA.

Namun enggak banyak yang tahu, jika EA Sports sampai harus “menyogok” penonton untuk menonton rangkaian turnamen mereka. EA Sports memiliki program bernama FGS Viewership Rewards.

Hal tersebut merupakan sebuah program untuk mendorong para pemain FIFA untuk menonton rangkaian turnamen resmi yang EA Sports selenggarakan. Jika kamu menonton turnamen tersebut selama minimal 60 menit, kamu akan mendapat token yang bisa kamu gunakan untuk gacha dalam FIFA Ultimate Team.

Memang enggak ada salahnya untuk membuat program seperti itu. Namun di sisi lain hal tersebut menunjukkan jika minat akan skena kompetitif FIFA masih sangat rendah, bahkan di kalangan pemainnya sendiri.

***

Itulah beberapa contoh dari kritikan yang EA Sports dapat, di tengah upaya mereka untuk mengembangkan skena esports mereka. Jangan lupa untuk terus mengunjungi KINCIR, untuk mendapatkan informasi terbaru soal games dan esports!

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.