*Spoiler Alert: Review film The Flash mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.
Setelah merilis Shazam! Fury of the Gods (2023) pada Maret lalu, Warner Bros. merilis film DC Extended Universe (DCEU) selanjutnya, yaitu The Flash. The Flash menjadi film live action pertama Barry Allen setelah karakter tersebut debut di Batman v Superman: Dawn of Justice (2016). Sayangnya, perilisan The Flash diliputi kontroversi karena berbagai kasus kekerasan yang dilakukan pemeran utamanya.
The Flash digarap oleh Andy Muschietti, sosok yang juga menyutradarai seri film horor It. Walau sempat membuat banyak masalah, Ezra Miller tetap kembali memerankan Barry Allen di film ini. Selain Miller, film ini juga dibintangi oleh Sasha Calle, Michael Keaton, Ben Affleck, Ron Livingston, Maribel Verdu, dan aktor ternama lainnya.
Terinspirasi dari seri komik Flashpoint, The Flash berkisah tentang Barry Allen yang baru mengetahui bahwa dia bisa melakukan perjalanan waktu menggunakan Speed Force-nya. Barry pun nekat pergi ke masa lalu untuk mencegah kematian ibunya. Namun, Barry tidak tahu bahwa dia harus menghadapi konsekuensi yang mana semesta berubah secara keseluruhan.
Review film The Flash
Kisah pendewasaan Barry Allen yang dikemas dalam konsep multiverse
Sudah bukan rahasia lagi bahwa pemeran Barry, yaitu Ezra Miller, diketahui melakukan beberapa kasus kekerasan sebelum The Flash dirilis. Itulah sebabnya, Warner Bros. tidak melibatkan Miller di berbagai kegiatan promosi. Bahkan, berbagai video dan promosi The Flash lebih menonjolkan Batman versi Michael Keaton dan Supergirl. Enggak heran banyak orang yang menganggap The Flash adalah film Batman dan Supergirl.
Setelah menonton filmnya, saya bisa bilang bahwa anggapan tersebut adalah salah! The Flash memang film yang benar-benar fokus pada kisah pendewasaannya Barry Allen. Batman versi Keaton dan Supergirl hadir sebagai pelengkap dalam proses pendewasaannya Barry. Kehadiran mereka berdua sama sekali tidak mengalihkan fokus penceritaan tentang Barry di film ini. Apalagi, kisah Barry dikemas dengan cerita yang menyenangkan tetapi tidak melupakan elemen yang menyentuh hati.
Sebagai informasi, naskah The Flash digarap oleh Christina Hodson, yang juga menjadi penulis naskah Birds of Prey (2020) dan Bumblebee (2018). Seperti yang kita tahu, The Flash menghadirkan konsep multiverse pada ceritanya. Nah, berkat naskah yang digarap oleh Hodson, konsep multiverse yang digunakan di film The Flash dapat dijelaskan secara baik, jelas, dan simpel.
Jadi, ada satu adegan yang memperlihatkan Batman versi Keaton menjelaskan konsep multiverse kepada Barry. Menariknya, Batman menggunakan spageti sebagai media untuk menjelaskan multiverse. Memang terasa aneh, tetapi naskah dari Hodson mampu membuat penjelasan multiverse jadi sesuatu yang lebih mudah dipahami, bahkan jadi lebih masuk akal untuk kekacauan multiverse yang sedang dihadapi Barry.
Namun, ada yang cukup mengganjal bagi saya, yaitu pada bagian third act atau konklusi, tepatnya saat terungkap siapa sebenarnya Dark Flash yang merupakan villain utama film ini. Penyelesaian masalah antara dua versi Barry dengan Dark Flash bisa dibilang cukup predictable dan kurang gereget. Untungnya bersamaan dengan momen tersebut, film ini menyajikan banyak fan service yang seakan menjadi pengalih dari kurang geregetnya penyelesaian antara Barry dan Dark Flash.
Di luar kontroversinya, Ezra Miller memang sosok yang tepat sebagai Barry
Pada akhir Mei lalu, sutradara Andy Muschietti berkata bahwa dia ingin kembali bekerja sama dengan Ezra Miller jika mendapatkan kesempatan untuk membuat sekuel The Flash. Walau aktornya sangat kontroversial, sutradara Muschietti tanpa ragu mengatakan bahwa tidak ada yang bisa memerankan The Flash sebaik Miller. Setelah menonton film ini, saya akhirnya bisa mengerti kenapa Muschietti sampai berani membuat pernyataan seperti itu.
Kamu yang sudah menonton trailer The Flash pasti tahu bahwa Miller memerankan dua versi Barry di film ini. Namun kejutan terbesarnya adalah Miller sebenarnya memerankan tiga versi Barry di The Flash! Dark Flash, yang menjadi villain utama film ini, ternyata adalah Barry versi tua yang terobsesi untuk memperbaiki banyak hal hingga membuatnya jadi gila. Miller benar-benar berhasil memerankan ketiga versi Barry tersebut.
Barry versi Dark Flash baru terungkap pada akhir film, jadi kita lebih banyak melihat kolaborasi dua versi Barry. Miller benar-benar berhasil membuat dua versi Barry tersebut menjadi dua kepribadian yang berbeda, seakan-akan dia memerankan dua karakter berbeda dalam satu film. Walau didominasi dengan elemen komedi, Miller juga mampu membuat penonton jadi bersimpati dengan Barry ketika karakter tersebut menghadapi momen sedih dalam filmnya.
Selain Miller, aktor lainnya yang jelas menjadi highlight di film ini adalah Michael Keaton dan Sasha Calle yang memerankan Batman dan Supergirl. Berhubung sudah berpengalaman, aksi Keaton sebagai Batman tentunya enggak perlu diragukan. Namun, saya cukup terpesona dengan penampilan badass sekaligus vulnerable-nya Calle dalam memerankan Supergirl. Miller, Keaton, dan Calle berhasil menciptakan kolaborasi yang sangat baik!
Sebagian besar CGI yang ditampilkan terlihat sangat tidak maksimal
The Flash punya kekuatan bisa bergerak sangat cepat, ditambah lagi film ini juga mengangkat konsep multiverse. Jadi, enggak mengherankan jika film ini menghadirkan sajian CGI yang sangat banyak dari awal hingga akhir film. Namun untuk film yang sangat bergantung dengan CGI, The Flash malah menampilkan kualitas CGI yang sangat kurang maksimal hingga menjadi poin minus dari film ini.
Setiap adegan yang memperlihatkan Barry mengeluarkan Speed Force-nya dan membuat lingkungan di sekelilingnya menjadi terlihat lambat, disajikan dengan kualitas CGI yang buruk. Setiap makhluk hidup yang muncul pada adegan ini benar-benar terlihat seperti animasi. Tampaknya tim produksi The Flash butuh waktu lebih lama lagi untuk bisa memoles kualitas CGI-nya hingga lebih maksimal.
Walau kekurangan di visual terbilang cukup besar, film ini menghadirkan scoring yang benar-benar megah dan mendukung setiap momen yang ditampilkan. Kita bisa mendengar berbagai theme song dari berbagai superhero yang berbeda. Yang cukup epic adalah adegan dua Barry bekerja sama melakukan pertarungan besar melawan General Zod yang diiringi dengan lagu yang sangat mendukung.
***
Bukan film Batman atau Supergirl seperti yang sempat disangsikan banyak orang, The Flash memang benar-benar film tentang proses pendewasaan seorang Barry Allen. Cerita yang dihadirkan terasa menyenangkan sepanjang film, tetapi tidak lupa memberikan elemen yang menyentuh hati. Film ini bahkan menjelaskan konsep multiverse dengan cara yang menyenangkan. Pengalaman menonton The Flash bisa lebih sempurna jika kualitas CGI-nya lebih dimaksimalkan.
Setelah baca review film The Flash, apakah kamu jadi tertarik menonton film superhero ini? Buat yang sudah menonton, jangan lupa bagikan pendapat kamu tentang film ini, ya!