Bukan rahasia lagi bahwa Marvel Cinematic Universe (MCU) unggul dari sisi pembangunan cerita. Buktinya, Marvel Studios berhasil membuat keterkaitan cerita antara 29 film dan delapan serial MCU selama 14 tahun terakhir. Keberhasilan Marvel Studios dalam membangun MCU juga diakui oleh aktor Indonesia yang pernah membintangi seri film Comic 8: Casino Kings, yaitu Gandhi Fernando.
“Marvel itu sejelek-jeleknya film mereka, tetap lebih bagus dari kebanyakan produksi film dunia. Soalnya, Marvel menjual imajinasi. Imajinasi itu mahal dan banyak orang suka berimajinasi tentang hal-hal yang mustahil, seperti sebuah pelarian. Jadi, mau Eternals (2021) review-nya jelek, tetap lebih menghibur dibandingkan film-film produksi PH kecil. Apalagi, harga tiket film MCU dan film produksi PH kecil juga sama,” ujar Gandhi.
Harus diakui, gaya bercerita MCU yang saling berkesinambungan membuat para penggemarnya terus menuntut untuk melihat kelanjutan semestanya. Sadar tentang hal ini, Marvel Studios semakin ambisius untuk merilis 3–4 film MCU sekaligus dalam satu tahun. Jarak dari satu proyek ke proyek lain terlalu cepat dan minim jeda. Tambah lagi dengan maraknya streaming service yang membuat Marvel Studios mulai merilis serial MCU sejak 2021.
Terlalu padatnya perilisan film dan serial MCU dalam setahun inilah yang beberapa kali dipermasalahkan oleh banyak pembuat film. Sutradara senior asal Inggris, yaitu Ken Loach, bahkan pernah menyindir tentang kuantitas dan kualitas film MCU yang tidak sejalan.
“Film MCU dibuat sebagai seperti hamburger. Ini sudah bukan tentang berkomunikasi dan tentang berbagi imajinasi. Ini tentang membuat komoditas yang akan menghasilkan keuntungan bagi perusahaan besar. Itu adalah latihan pasar dan tidak ada hubungannya dengan seni sinema,” ujar Loach.
Jelas Marvel Studios harus terus memproduksi konten dengan jumlah yang banyak, supaya penonton bisa terus terikat dengan universe yang mereka bangun. Apalagi, hampir setiap film MCU pasti sukses secara pendapatan. Dengan laba fantastis, seharusnya, sih, enggak sulit bagi mereka untuk merekrut aktor, sutradara, dan kru terbaik dalam penggarapan film maupun serial MCU.
Baca sebelumnya: Kekuatan MCU Membangun Fans Power
Ingat betapa sukarianya penggemar MCU ketika pengumuman fase 5 dan 6 di SDCC 2022? Di balik euforia tersebut, laman Defector menulis seorang pekerja efek visual film Hollywood, yang dirahasiakan namanya, memberikan respons tentang pengumuman itu.
“Seluruh industri (efek visual) tampaknya sedikit tertekan setelah pengumuman Marvel fase 5 dan 6, khususnya karena jumlah pekerjaan yang gila itu akan terbentuk dengan sendirinya. Mereka (Marvel Studios) bukanlah klien yang menarik seperti dulu. Sudah banyak kelelahan yang terjadi,” katanya.
Ironis. Alasan ini dan banyak alasan lainnya makin mengukuhkan bahwa punya banyak uang enggak menjamin Marvel Studios bisa konsisten menghasilkan film dan serial yang berkualitas. Kamu pastinya setuju bahwa Avengers: Endgame (2019) merupakan salah satu film terbaik dan termegah MCU. Kemegahan Endgame dalam menutup MCU fase 3 jelas membuat penggemar punya ekspektasi tinggi terhadap fase 4.
MCU fase 4 dibuka dengan perilisan Black Widow (2021) yang bisa dibilang tidak terlalu spesial. Film ini bahkan hanya mendapatkan skor 6,7 di IMDb dan menampilkan beberapa adegan dengan CGI yang terlihat begitu kasar. Ditambah lagi, penggambaran villain Taskmaster yang tidak sesuai komik juga cukup mengecewakan penggemar.
Black Widow bukan satu-satunya film yang mengecewakan di MCU fase 4. Seperti yang kita tahu, Marvel Studios menggaet sutradara pemenang Oscar, yaitu Chloe Zhao, untuk menggarap Eternals. Namun apa daya, Eternals malah menjadi film MCU pertama yang mendapatkan status “Rotten/Busuk” di Rotten Tomatoes dengan skor 47%.
Sempat dibuat kecewa dengan Black Widow dan Eternals, antusiasme penggemar diangkat kembali ketika Marvel Studios dan Sony Pictures merilis Spider-Man: No Way Home (2021). Bagaimana enggak? Film ini akhirnya membuka konsep multiverse dan menghadirkan Spider-Man versi Tobey Maguire, Andrew Garfield, dan Tom Holland dalam satu film.
Eits, tetapi perlu diingat. Meramu konsep multiverse bukanlah hal yang mudah. Konsep ini membutuhkan penceritaan matang serta premis dan plot yang kuat. Salah-salah, premisnya nanti enggak akan logis, membingungkan, dan malah hasilnya “kentang”.
Nah, itulah yang terjadi pada Doctor Strange in the Multiverse of Madness (2022). Judulnya saja sudah memancing penggemar untuk berekspektasi bahwa Doctor Strange 2 bakal menampilkan multiverse yang lebih madness dari No Way Home. Penggemar bisa dibilang menyimpan harapan besar kepada Doctor Strange 2.
Begitu dirilis, multiverse yang ditampilkan Doctor Strange in Multiverse of Madness ternyata enggak se-madness itu. Film ini malah lebih fokus pada kisah Scarlet Witch dan hanya menampilkan dua semesta di luar Earth-616. Thor: Love and Thunder (2022) yang dirilis setelahnya pun tidak terlalu bersinar dan hanya mendapatkan skor 65% di Rotten Tomatoes.
No Way Home memang mendapatkan sambutan yang sangat positif. Namun, enggak bisa dimungkiri bahwa film tersebut jelas mengandalkan fan service sebagai jualan utamanya. Soalnya, harapan penggemar untuk bisa melihat Maguire, Garfield, dan Holland dalam satu film benar-benar diwujudkan. Ditambah lagi, konsep multiverse-nya juga membuat penggemar semakin antusias menantikan banyak kejutan “gila” di MCU.
Masalahnya kalau kita perhatikan No Way Home dan Doctor Strange in the Multiverse of Madness, konsistensi multiverse di MCU tampaknya perlu dipertanyakan. No Way Home menampilkan tiga Spider-Man dengan aktor yang berbeda, yang juga sesuai dengan konsep Variant-nya Loki. Namun, kenapa semua Variant Doctor Strange hanya diperankan oleh Benedict Cumberbatch?
Sayangnya, produser Doctor Strange in the Multiverse of Madness, yaitu Richie Palmer, seakan ‘ngeles’ tentang inkonsistensi Variant antara No Way Home dan Doctor Strange in the Multiverse of Madness.
“Saya pikir sebenarnya, kami memiliki film dua jam untuk bercerita, dan kami memiliki Benedict Cumberbatch dan Elizabeth Olsen, dua aktor hebat di zaman kita, apalagi film superhero, dan kami tidak akan menyia-nyiakan mereka. Namun, saya pikir itu (konsep Variant) tergantung karakternya, tergantung aktornya, dan tergantung apa yang diceritakan,” ungkap Palmer.
Ya, berhubung kita baru di awal The Multiverse Saga, sebenarnya masih ada kemungkinan nantinya kita bisa melihat Doctor Strange Variant lain yang tidak diperankan oleh Cumberbatch. Dengan adanya multiverse, cerita yang terlihat gila dan mustahil bisa saja diwujudkan di MCU.
Multiverse juga memungkinkan MCU untuk mengembalikan karakter yang diceritakan telah meninggal. Ketika penggemar merasa enggak terikat dengan karakter-karakter baru, Marvel Studios punya multiverse yang dapat mengembalikan karakter ikonis sebagai nilai jual filmnya. Bahkan, mereka juga bisa menampilkan kembali aktor veteran MCU untuk memerankan Variant dari karakter mereka.
Masalahnya, apakah Marvel Studios bakal terus bergantung dengan multiverse untuk terus mengembangkan MCU? Jangan sampai multiverse dihadirkan di MCU hanya untuk mempermudah Marvel Studios dalam memperpanjang cerita atau hanya sebagai ajang fan service, tanpa memikirkan kualitasnya
Apalagi, Doctor Strange in the Multiverse of Madness mendapatkan pukulan yang cukup telak dari film multiverse non-Marvel yang juga dirilis tahun ini, yaitu Everything Everywhere All at Once (2022). Film produksi A24 tersebut malah berhasil menampilkan multiverse of madness sesungguhnya daripada Doctor Strange 2.
Doctor Strange in the Multiverse of Madness mendapatkan skor 75% di Rotten Tomatoes, sedangkan Everything Everywhere All at Once mendapatkan skor 95%. Ironisnya lagi, bujet produksi Everything Everywhere All at Once jauh lebih kecil dari bujet Doctor Strange 2. Everything Everywhere All at Once dibuat dengan bujet 25 juta dolar (sekitar Rp371 miliar), sedangkan Doctor Strange 2 dibuat dengan bujet 200 juta dolar (sekitar Rp2,9 triliun).
Jelas, ‘kan, bahwa uang banyak belum tentu menjamin kualitas filmnya bisa lebih bagus. Salah satu aktor yang membintangi Everything Everywhere All at Once, yaitu Jamie Lee Curtis, bahkan enggak ragu menyindir Marvel Studios karena kurang maksimal dalam penggarapan Doctor Strange in the Multiverse of Madness.
Marvel Studios tentunya enggak bisa terus-terusan mengandalkan fan service hanya untuk menggaet penggemarnya. Black Widow, Eternals, Doctor Strange in the Multiverse of Madness, dan Thor: Love and Thunder kurang disambut baik karena masalah ceritanya. Jika masalah ini enggak segera diperbaiki, khususnya di era multiverse MCU, enggak menutup kemungkinan jika MCU bakal ditinggalkan penggemarnya.