– Bagaimana kenyataan sebenarnya dari stereotip kehidupan di Paris dalam serial Emily in Paris?
– Poin-poin di bawah ini jadi formula klise film atau serial tentang Prancis yang dibuat Hollywood.
Paris, dalam kacamata masyarakat negara lain, seperti Amerika Serikat, memiliki beberapa stereotip yang bakal sering dibawa di dalam karya. Hal yang sama ternyata juga bisa ditemukan dalam serial Emily in Paris di Netflix.
Beberapa stereotip di dalam serial ini terasa banal, seolah bikin kita merasa déjà vu karena udah sering banget dipakai dalam formula film-film sebelumnya. Bahkan, ada beberapa kritik dari netizen Prancis soal serial ini karena dianggap enggak merepresentasikan kehidupan mereka.
Harus diakui bahwa serial Emily in Paris adalah serial feel-good yang menyenangkan. Tokoh utamanya adalah Emily sang anak ahensi yang baru dipindah dari Chicago ke Paris, berpenampilan menarik, muda, dan mau mencoba banyak hal baru. Itulah yang mengantarkan dia kepada banyak acara dari berbagai brand ternama.
Namun, apakah semua hal yang terlihat di Emily in Paris benar adanya? Apakah jika kalian tiba-tiba pindah ke Paris, kalian akan menemukan kehidupan bubbly ala Emily? Bisa iya, bisa enggak.
Kenali, yuk, berbagai macam stereotip Prancis di serial Emily in Paris dan kenyataannya!
1. Paris adalah kota yang cantik, indah, romantis, dan bergairah
Stereotip semacam ini ditunjukkan dalam dua hal: jalan-jalan yang menjadi latar Emily di Paris. Kemudian, bagaimana Emily menggambarkan Paris kepada mantan kekasihnya saat mereka akan putus.
Seperti turis pada umumnya, mereka bakal menganggap kalau Paris adalah kota yang penuh dengan keindahan. Well, berkat berbagai kafe dan bangunan bersejarah lain, Paris memang punya beberapa spot yang cantik dan Instagramable. Sayangnya, itu enggak berlaku buat semua tempat.
Di beberapa stasiun métro, kalian bakal sering menemukan para pengamen, sampah yang berserakan, dan puntung rokok yang dibuang sembarangan. Enggak jauh dari Menara Eiffel yang legendaris, kalian bahkan bakal menemukan banyak penjual cendera mata yang asal-asalan mengambil tempat buat membuka lapak.
Ada pula banlieue alias daerah kumuh di pinggir kota. Ini belum ditambah sama para pengemis yang sering meminta-minta, copet di keramaian, atau kaum homeless yang bisa tidur di depan pertokoan saat malam hari.
Paris dalam kacamata Emily in Paris adalah Paris versi brosur. Ia enggak menggambarkan Paris secara humanis dan ikut tenggelam dalam skenario Paris nan romantis kayak film-film pada umumnya. Paris, seperti kota-kota besar lain di dunia, punya banyak masalah sosial yang pelik.
2. Orang Prancis judes dan nyebelin
Kantor Emily terlihat enggak hangat menyambutnya. Sampai di episode 10, Sylvie, bos Emily, masih kelihatan menyebalkan dan teman-temannya pun sebenernya enggak terlalu nice. Orang Prancis, terutama yang tinggal di Paris, memang cenderung kurang hangat, tetapi bukan berarti mereka kasar dan sombong.
Perlu dipahami bahwa dalam konteks serial Emily in Paris, sesungguhnya Emily memiliki kesalahan yang besar. Dia membawa gaya Chicago-nya ke kantor dan ketika berinteraksi sama banyak orang.
Dalam konteks memenangkan klien, itu mungkin hal yang positif. Namun, enggak ada orang yang suka sama pendatang yang enggak menghormati budaya, dan Emily kelihatan ogah melebur sama budaya Prancis.
Bahkan, tanpa memahami konteks tata bahasa, Emily dengan sotoy-nya mengunggah pertanyaan di Instagram terkait kenapa le vagin (vagina) harus memakai nomina maskulin dan membuatnya seolah-olah seperti salah satu bentuk budaya patriarki. Padahal, kalau dipikir-pikir, kumis dalam bahasa Prancis aja memakai nomina feminin (la moustache).
Jadi, bukan berarti orang Paris itu menyebalkan: tokoh Emily di serial ini memang kurang tata krama hingga kalau dia ada beneran di dunia nyata, dia sudah diusir sejak hari pertama.
3. Saat bekerja di Paris, kalian mendadak seperti berada di runway
Semenjak bekerja di Paris, Emily memang terlihat semakin fashionable. Hal yang serupa juga terlihat pada Mindy, teman keturunan Tionghoa-nya yang pandai bernyanyi, dan Camille, teman Prancis yang dia temui saat beli bunga. Seolah-olah, kehidupan orang Prancis sangat berkelas apalagi dibandingin sama kita yang setiap hari harus berdesak-desakan di angkutan umum.
Sayangnya, kalau kalian bekerja di Paris, mungkin kalian enggak akan sekeren Emily–kecuali kalian adalah orang kelas atas–. Orang Prancis punya transportasi umum kayak métro yang mirip dengan commuter line/MRT dan yang jelas, banyak orang berpakaian biasa-biasa aja di sana, terlebih waktu musim dingin. Bisakah kalian membayangkan betapa repotnya naik turun tangga stasiun dengan sepatu hak tinggi khas Emily?
4. Agensi di Paris lancar berbahasa Inggris
Orang-orang Paris di sektor informal banyak yang enggak bisa berbahasa Inggris dan hal itu diperlihatkan dengan cukup baik dalam serial Emily in Paris. Namun, bagaimana dengan orang agensi? Sepertinya, agensi Savoir tempat Emily bekerja penuh dengan orang-orang yang mahir berbahasa Inggris…bahkan ada banyak pertemuan dengan bahasa Inggris.
Mengingat kantor Emily adalah kantor agensi biasa dan hanya Emily yang berbahasa Inggris, adegan-adegan ini terlihat sangat konyol. Emily jelas sering melakukan kesalahan dan dibenci oleh bosnya, tetapi entah kenapa penggunaan bahasa Inggris ini intens banget dalam setiap rapat, makan siang, bahkan sesi minum-minum di malam hari. Para rekan kerja Emily seolah paham banget colloquialism Inggris seolah itu adalah bahasa sehari-hari mereka.
Lebih konyol lagi, Emily enggak kunjung menguasai bahasa Prancis dan tetap nyaman sama bahasa Inggris-nya itu. Padahal, orang yang tinggal di Paris dan bekerja di agensi lokal seharusnya bakal 'dipaksa' untuk menguasai bahasa Prancis dalam waktu cepat, seenggaknya buat bertahan hidup.
5. Di Paris, Kalian akan menemukan cinta
Emily menemukan cowok keren di apartemennya. Hal yang sama juga terjadi saat dia duduk di kafe dan pada saat menghadiri pertemuan dengan klien. Kayaknya, gampang banget mendapatkan cowok cakep di Paris. Bahkan, stereotip ini didukung oleh berbagai quote ala Pinterest seperti i want to go to Paris and fall in love.
Sebetulnya, kalian bakal sering menemukan orang ciuman di tengah jalan atau di bawah hujan saat berada di Paris. Mereka memang cukup ekspresif soal hal ini, apalagi kalau dibandingkan sama Jakarta atau kota lain di Indonesia. Namun, bukan berarti kalian bakal menemukan banyak cinta di kafe, di flat, atau di soirée yang mewah. Orang Paris cenderung enggak suka berbasa-basi sama orang asing.
6. Pekerja kreatif Paris berpikiran kuno
Emily datang ke Prancis dan dia selalu membangga-banggakan semangat Amerikanya, terutama dalam strategi pemasaran iklan. Sementara itu, para orang Prancis selalu terpenjara dalam pemikiran berkelas dan enggak mau merangkul budaya pop terbaru. Hal itu bertambah parah dengan hobi mereka buat nyantai, bahkan mengambil waktu makan siang yang lama.
Dibandingkan sama negara Asia Timur, budaya kerja di Eropa jelas lebih santai, tetapi bukan berarti orang Prancis enggak mau berkembang dan masih terbuai sama waktu seperti La Belle Epoque. Di Paris, nyatanya bakal banyak kalian temui videotron atau papan reklame dengan slogan modern dan menarik, kok, seperti contoh-contoh di bawah ini.
Ada banyak bangunan tua di Paris, tetapi bukan berarti orang-orang Paris ketinggalan zaman.
7. La Vie en Rose
Dalam suatu kesempatan, Mindy menyanyi La Vie en Rose di ruang publik dan mendapatkan applause dari banyak orang. Hal yang satu ini sebetulnya enggak bisa dibilang mitos, sih, karena kalau kalian menyanyi di ruang publik, kalian akan mendapatkan perhatian. Namun, menyematkan lagu La Vie en Rose dengan scene di Paris adalah hal basi yang entah kenapa dipakai terus sama sineas Amerika Serikat.
Lagu La Vie en Rose memang legendaris. Edith Piaf selaku penyanyi lagu itu merupakan salah satu penyanyi terbaik di Prancis. Namun, musik berkembang, begitu juga di Paris.
Paris bukan sekadar tentang lagu-lagu klasik atau jazz yang sering kalian dengar di serial Emily in Paris. Di Paris, ada lagu rap yang kerap mengandung kritik sosial, bahkan ada lagu raï yang sering dibawakan para penyanyi keturunan Arab.
Lagu raï ini dibawa dari Afrika Utara dan dinyanyikan dengan campuran bahasa Prancis serta Arab. Irama dangdutnya kental, enak buat bergoyang. Entahlah, kenapa genre-genre musik di Prancis yang beragam ini enggak dipamerkan di serial Emily in Paris.
Bonus: Orang Paris cuma paham soal fashion dan makanan
Apa komponen hidup orang Paris yang ada di dalam serial ini? Makan. Bergaya. Makan. Bergaya. Nongkrong sambil makan. Ngedeketin klien sambil bergaya.
Seolah-olah orang Paris hanya mampu melakukan hal itu. Berkelas sekali, ‘kan, kayak balik ke zaman ketika para pelukis Prancis sedang getol-getolnya bikin lukisan impresionisme?
Ketika kalian datang ke Paris dan merasakan hidup yang sebenar-benarnya di sana, kalian bakal paham kalau hidup mereka enggak cuma soal fashion dan makanan. Mereka memang suka nongkrong di kafe, tetapi apa yang mereka omongin bukan cuma tentang itu. Nyatanya, demo di Paris selalu ramai dan tiap kali diselenggarakan acara debat soal politik dan masyarakat, para narasumber enggak bakal mau ngalah buat nyerocos.
Ya, orang Paris enggak selalu seperti kaum borjuis yang klasik dan kerjaannya cuma makan sambil bicara soal pakaian. Banyak banget orang Paris dan orang Prancis di kota lain yang suka banget kalau diajak ngobrol soal masalah sosial.
Mengingat serial Emily in Paris ini dibuat oleh orang yang sama dengan Sex and the City –Darren Star– wajar, sih, kalau ada banyak 'sentuhan' Carrie Bradshaw. Namun, nyatanya New York beda sama Paris, dan akibat nuansa Sex and the City yang kental, serial ini gagal bikin kisah Paris yang enggak klise dan enggak bikin 'risih'.
***
Namun, kalau kalian suka sama manic pixie dream girl dengan konsep 'usaha keras enggak akan mengkhianati', serial ini asyik, kok, buat ditonton. Buat yang tahu banget soal kenyataan hidup di Paris, lebih baik kosongkan pikiran kalau memang mau menikmati serial yang satu ini, karena serial Emily in Paris enggak akan menampilkan Paris dengan jujur.