Dengan biaya langganan yang murah, bagaimana caranya rumah produksi dapet uang dengan memasukkan film atau serial ke platform VOD kayak Netflix?
Dengan hanya membayar biaya langganan yang bahkan enggak sampai Rp300.000 per bulan, kamu udah bisa menikmati banyak banget film dan serial di platform video-on-demand kayak Netflix. Pada zaman dulu, keuntungan dan kerugian film dihitung dengan berapa banyak orang yang menontonnya di berbagai bioskop serta sponsor. Untung-ruginya gampang dihitung. Sekarang, perhitungan itu menjadi lebih rumit.
Memangnya, Netflix cuma mengandalkan biaya langganan yang murah, ya? Lalu, bagaimana, film dan serial yang masuk ke Netflix? Bagaimana perhitungan keuntungan yang diperoleh? Mari simak di bawah ini.
Memahami Dasar Bisnis Video on Demand
Sebelum kita mengetahui bagaimana, sih, film-film dan serial mendapatkan uang dari Netflix, pertama-tama kita harus memahami dasar bisnis streamer terlebih dahulu. Model bisnis ini dipakai oleh platform kayak Netflix, Disney +, Amazon Prime, dan sejenisnya.
Bisnis streamer mengandalkan dua hal untuk mendapatkan keuntungan. Yang pertama adalah biaya langganan. Yang kedua, product placement. Mari kita bahas yang pertama terlebih dahulu.
Biaya berlangganan Netflix dibagi menjadi empat: Mobile, Basic, Standard, Premium. Versi mobile (Rp54.000) hanya mengizinkan pengguna buat menonton di tablet atau ponsel dengan kualitas video rendah. Versi basic (Rp120.000), mengizinkan pengguna untuk menonton di tablet, handphone, komputer, dan TV dengan kualitas video 480p (SD). Versi standar (Rp154.000), juga memperbolehkan pengguna untuk memakai empat media itu dengan kualitas 1080p. Nah, yang termahal, premium (Rp186.000), memberikan video dengan Ultra HD atau 4K.
Pada 2020, disebutkan bahwa total pengguna Netflix di seluruh dunia adalah 193 juta. Perkiraan total pendapatan kotor yang diperoleh di seluruh dunia adalah sebesar 25 miliar dolar (atau sebesar Rp350 triliun dengan laba Rp39,2 triliun). Keuntungan ini diambil dari beberapa wilayah Netflix yang berbeda: Amerika dan Kanada, Eropa, Timur Tengah, Afrika, kemudian Amerika Latin, dan yang terakhir Asia Pasifik. Itulah alasan kenapa ada beberapa film yang ada di Netflix Amerika, tetapi enggak bisa kita tonton, dan sebaliknya.
Mudahnya mengakses tayangan dari Netflix membuat Netflix gampang mendapatkan pundi-pundi dolar dari penonton di mama aja. Namun, fakta mengejutkan dari platform ini adalah, ia baru surplus pada 2020. Sebelumnya, Netflix berjuang banget buat menutup kerugian karena biaya promosinya gede banget, lho! Pandemi ini sebetulnya menyumbang keuntungan yang cukup besar buat Netflix karena orang-orang enggak bisa ke bioskop.
Terus, Dari Mana Film-Film Itu Dapat Untung?
Untuk bisa mempertahankan dan meraih pengguna baru, Netflix selalu berupaya buat bikin kerja sama dengan berbagai produser TV, film fiksi, dokumenter, dan sebagainya. Kerja sama ini diawali dengan persetujuan licensing agreement. Dalam perjanjian ini, produser bisa meminta Netflix untuk hanya menyediakan beberapa musim tayang dari TV–nya, begitu pula sebaliknya.
Hal yang sama juga berlaku pada film, makanya ada beberapa film franchise yang sekuelnya enggak lengkap, seperti Kung Fu Panda (tanpa Kung Fu Panda 3) atau The Equalizer (tanpa The Equalizer 2). Soalnya, produser film pastinya punya perjanjian sama platform lain, nih, kayak Kung Fu Panda dan The Equalizer yang ada di Google Play Movies.
Selain itu, beberapa film juga dibatasi masa tayangnya di Netflix. Hal tersebut terjadi karena kontraknya cuma berlaku pada kurun waktu tertentu atau karena film itu ternyata enggak ditonton oleh cukup banyak orang. Tentunya, Netflix enggak mau terus-menerus membayar royalti buat film yang enggak laris.
Terus, gimana Netflix dan platform berlangganan lainnya bisa tahu berapa banyak keuntungan yang didapatkan setiap film dan berapa yang harus dibayar?
Persentase pembayaran sudah tertera pada kontrak. Namun, buat mengetahui lebih rinci mengenai berapa yang harus dibayar sama Netflix, perusahaan ini akan melakukan data mining.
Proses ini digunakan perusahaan untuk mendapatkan kesimpulan dari data mentah yang besar dan lengkap. Setelah data dipilah-pilah, Netflix akan mengetahui berapa lama total jam tayang dari sebuah film/acara/serial dan cost per hour-nya. Pendapatan dari Netflix ini lumayan banget, terutama buat film-film lawas, karena mereka masih bisa menguangkan karya tanpa harus memberikan usaha lebih.
Setelah itu, berdasarkan kontrak, Netflix bakal menghitung berapa persen pihak rumah produksi bakal dibayar dan berapa banyak bagian dari Netflix. Total pendapatan kotor Netflix khusus untuk licensed content (konten dari pihak luar) adalah 14,7 miliar dolar (sekitar Rp212 triliun).
Memang, sih, sekadar mendistribusikan konten itu cukup bikin untung, tetapi Netflix sadar bahwa ia juga harus punya rumah produksi sendiri. Itulah alasan kenapa Netflix juga memproduksi Netflix Original. Jadi, setelah membayar aktor dan kru di muka, Netflix juga akan mendapatkan keuntungan secara penuh karena enggak harus membayar licensed content.
***
Nah, sekarang kamu tahu bagaimana cara film-film di Netflix mendapatkan uang. Ternyata, sekadar biaya langganan yang oleh sebagian besar orang dinilai enggak seberapa, kalau dikumpulin cukup banyak, ya. Enggak mengherankan, sih, kalau model bisnis ini menjadi model bisnis favorit di dunia film zaman sekarang.