Review serial Sex Education.

Review Serial Sex Education (2019)

Sex Education
Genre
  • drama
Actors
  • Asa Butterfield
  • Connor Swindells
  • Emma Mackey
  • Nouti Gatwa
Director
  • Michelle Savill
Release Date
  • 21 September 2023
Review serial Sex Education.
Rating
4 / 5

*(SPOILER ALERT) Review serial Sex Education ini sedikit mengandung bocoran yang semoga saja enggak mengganggu buat kamu yang belum nonton.

Serial Sex Education mengudara pertama kali di Netflix pada 11 Januari 2019. Mengudara sebanyak 8 episode, serial yang dibidani kreator Laurie Nunn tersebut ditonton tak kurang dari 40 juta kali dalam sebulan penayangannya. Tak heran jika Sex Education terus diperpanjang hingga musim keempat di tahun ini yang sekaligus menjadi musim terakhirnya.

Selain mengerek kembali nama dua pemeran utamanya, Asa Butterfield dan Gillian Anderson, Sex Education juga memperkenalkan para pendatang baru yang kelak menarik perhatian industri. Emma Mackey yang berperan sebagai Maeve tampil dalam dua film sukses, Death on the Nile [2022] dan Barbie [2023]. Sementara Ncuti Gatwa yang memainkan karakter Eric didapuk sebagai pemeran utama serial ulang buat, Doctor Who.

Selain populer, Sex Education juga berjaya di ajang penghargaan bergengsi. Di BAFTA TV Awards, Sex Education mendominasi nomine sepanjang tahun 2022–2022. Di tahun 2021, pemeran Aimee, Aimee Lou Wood berhasil meraih piala untuk kategori Female Performance in a Comedy Programme.

Review serial Sex Education (2019)

Seks sebagai pintu masuk membicarakan isu-isu penting remaja

Sex Education Season 4.
Sex Education Season 4.

Tahun 2019. Tahun baru belum lama berlalu dan seluruh dunia dibuat terkejut oleh keberanian Netflix menayangkan serial remaja, Sex Education. Dan serial ini lantas merevolusi soal bagaimana seks yang bisa dibicarakan secara lebih terbuka dan tak malu-malu lagi.

Saya ingat ketika masih kelas 5 SD di suatu pagi sebelum mandi berterus terang ke almarhum ibu saya bahwa malam sebelumnya saya mengalami “mimpi basah”. Bukannya menjelaskan lebih panjang soal “mimpi basah” itu, saya malah mendapat hardikan darinya untuk tak membicarakannya lagi. Dan akhirnya memang saya tak membicarakan lagi setelahnya soal masalah itu.

Duduk di bangku SMP, saya mulai berkenalan dengan novel karya Fredy S yang banyak memuat adegan syur. Di tahun 1990-an, jangankan akses untuk melihat video porno, mendapatkan foto-foto perempuan berbusana minim pun masih terbatas. Beranjak di bangku SMA, di akhir pekan saya bersama beberapa teman seringkali menginap di rumah salah satu teman. Sebelumnya kami menyewa video VHS “blue film” alias film porno untuk ditonton beramai-ramai namun secara sembunyi-sembunyi.

Saya tak pernah mengingat sekalipun baik di sekolah maupun di rumah, guru-guru maupun ayah dan ibu saya membicarakan seks secara terbuka dengan saya. Padahal di usia remaja, dengan segala keingintahuan dan libido yang sama memuncaknya, lebih bijak rasanya mendapatkan pengetahuan seks dari orang-orang yang bisa kita percayai.

Maka saya pribadi melihat serial Sex Education datang di saat yang tepat. Di luar berjubelnya adegan-adegan dewasa, lalu lalang orang bertelanjang di dalamnya hingga soal LGBT yang cukup sensitif bagi sebagian besar kalangan di negeri ini, Sex Education berhasil menarik perhatian masyarakat global.

Kini seks bisa dibicarakan lebih rileks, lebih terbuka dan digunakan secara efektif oleh kreatornya, Laurie Nunn, untuk memberikan pengetahuan yang cukup informatif soal seks dari beragam sudut pandang, soal preferensi seksual yang kini begitu beragam dan terutama seks menjadi pintu masuk membicarakan isu-isu penting bagi remaja.

Perkenalkan Otis, terapis seks remaja kita

Salah satu keputusan paling menarik yang ditawarkan oleh Sex Education adalah bagaimana ia memajang tokoh utamanya. Tokoh ini adalah seorang remaja tak percaya diri, sama sekali tak populer, dibesarkan oleh ibu tunggal dan malu dengan profesi ibunya sebagai terapis seks.

Perkenalkan Otis dengan tampilan yang sama sekali tak istimewa. Meski sesungguhnya cukup ganteng namun ia tampak selalu kikuk dengan dirinya sendiri dan sulit betul menyembunyikan rasa rendah dirinya. Otis adalah gambaran banyak remaja yang berjuang mengatasi rasa rendah dirinya di tengah kerumunan. Dan keputusan ini yang membuat Sex Education beroleh simpati dari penonton Netflix di seluruh dunia.

Otis bersahabat dengan Eric yang lebih berani mengekspresikan dirinya. Dalam banyak hal, keduanya sangat berbeda. Seperti yin dan yang. Dan itulah yang mungkin membuat persahabatan mereka bisa bertahan karena mereka saling melengkapi.

Berbeda dengan Otis, Eric justru sedang berada di fase paling menantang dalam hidupnya: meyakinkan dirinya bahwa ia adalah gay seutuhnya. Tapi Otis yang heteroseksual sama sekali tak pernah tak mendukung Eric sesulit apapun. Persahabatan mereka sedari awal diperlihatkan terbangun dengan tulus, murni dan tanpa kekikukan karena salah satu diantara mereka adalah gay.

Otis mendapat pengetahuan seksnya secara alamiah dari ibunya, Jean, yang berprofesi sebagai dokter terapis seks. Jean menerima pasien-pasiennya di rumahnya yang luas, asri dan terpencil. Karenanya secara alamiah tanpa ia sadari segala pengetahuan soal seks terpapar pada dirinya sejak kecil. Obrolan soal hubungan intim suami istri yang tak sebergairah sebelumnya, gangguan disfungsi penis pria atau masturbasi yang dilakukan oleh para istri-istri menjadi “santapan” bagi Otis bahkan bisa jadi sebelum ia sendiri paham mengapa berhubungan seks begitu penting bagi umat manusia.

Ada masa di mana Otis justru menyembunyikan rapat-rapat soal profesi ibunya. Ia tak ingin menjadi bahan gosip di sekolahnya. Hingga suatu kali, si bengal Adam, datang ke rumahnya dan tanpa sengaja masuk ke ruang praktek ibu Otis dan melihat segala alat peraga juga beragam buku-buku yang membongkar soal seks. 

Tapi ternyata seks pula yang menyelamatkan Otis dari pergaulan. Berkat pengetahuannya yang cukup berlimpah soal seks untuk remaja seusianya, bekerjasama dengan Maeve, Otis malah membuka klinik konsultasi seks di toilet tak terpakai di sekolahnya. Siapa sangka Otis yang belum pernah berhubungan seks malah sukses memberi tipis jitu-jitu soal seks kepada sesama siswa di sekolahnya.

Tak hanya soal seks, isu pelecehan seksual pun dibicarakan secara terbuka

Hal menarik lainnya dari Sex Education adalah bagaimana kreatornya menggunakan seks untuk menjadi pintu masuk membicarakan isu-isu penting lainnya bagi remaja. Termasuk di antaranya isu sensitif soal pelecehan seksual. 

Isu pelecehan seksual bisa jadi memang lebih banyak dibicarakan secara lebih terbuka sejak terungkapnya kasus demi kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh produser Harvey Weinstein di tahun 2017. Padahal sesungguhnya sudah begitu banyak kasus yang terjadi namun sebagian besar korban memilih menutup rapat mulutnya karena relasi kuasa antara korban dan pelaku.

Biasanya, pelecehan seksual dilakukan oleh seseorang yang merasa punya kekuatan lebih daripada korban. Korban yang dilecehkan pun pada akhirnya diam, takut bersuara, mengubur luka-luka dan trauma, kemudian mencoba berdamai dengannya. Ironis, sebagian dari antara mereka tak bisa. 

Meski dipenuhi warna-warni gemilang dalam sepanjang episodenya, Sex Education memberi porsi besar pada isu pelecehan seksual melalui tokoh Aimee. Suatu kali Aimee menumpang bis menuju sekolahnya. Dalam perjalanan ia merasakan dirinya digerayangi oleh seseorang yang tak dikenalnya.

Peristiwa itu kelak membuatnya trauma berat dan butuh waktu hingga 4 musim/season bagi Aimee untuk berdamai dengan apa yang menimpanya. Ada satu masa dimana Aimee menyalahkan dirinya karena merasa kerap kali berbusana minim dan bisa jadi “mengundang” laki-laki untuk melecehkannya. Sex Education memotret dengan hati-hati soal bagaimana korban menjalani hari-harinya setelah peristiwa pelecehan seksual terjadi. 

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat kasus kekerasan seksual menjadi yang terbanyak dilaporkan pada tahun 2022. Terdapat 2.228 kasus yang memuat kekerasan seksual atau 65 persen dari total 3.422 kasus kekerasan berbasis gender.

Sebagai sineas, saya juga menganggap isu pelecehan seksual menjadi sesuatu yang urgent dibicarakan dalam platform seperti serial/miniseri yang tayang di layanan streaming. Pada April 2020, saya merilis miniseri 6 episode berjudul Asya Story yang tayang di Genflix. Diadaptasi dari cerita super populer di Wattpad, saya mengambil “jalan sunyi” untuk mengeksplorasi soal pelecehan seksual yang hanya disinggung sekilas dalam prekuel novelnya. 

Dalam Asya Story, tokoh utamanya bernama Asya diperkosa oleh kakak kelasnya di ruang musik di sekolahnya sendiri. Sekolah tak lagi menjadi tempat yang aman bagi para siswa karena ternyata bisa menjadi tempat melakukan perbuatan kejahatan. Setelah diperkosa dan lantas hamil, Asya mengalami trauma berkepanjangan dan kesulitan berdamai dengan apa yang dialaminya. Terlebih oleh ibunya ia malah disalahkan atas kejadian yang sama sekali tak diinginkannya itu. 

Seperti Asya, Aimee butuh waktu bertahun-tahun hingga kelak bisa membakar celana jeans yang digunakannya saat peristiwa pelecehan terjadi. Sebuah pendekatan menarik dari kreator Sex Education melihat trauma bisa disalurkan melalui kegiatan positif. Aimee menggunakan medium fotografi sebagai tempatnya menceritakan apa yang dialami dan dipendamnya rapat-rapat selama ini. Dan ia memotret dirinya sendiri melihat celana jeans itu akhirnya terbakar hangus tak bersisa.

Memotret hubungan remaja dengan orangtuanya

Berbeda dengan banyak serial remaja lokal yang cenderung abai mengupas lebih dalam terkait relasi remaja dan orangtua, Sex Education justru memberi porsi lebih bagi penonton untuk melihat betapa beragamnya karakter hubungan ini.

Tiga karakter utama, Otis, Eric dan Maeve, datang dengan kekhasan keluarga masing-masing. Otis dibesarkan ibu tunggal, Maeve justru hidup mandiri setelah ditinggal ibu pecandu narkoba dan Eric yang mengalami ketakutan mengungkapkan jati dirinya karena berada di lingkup keluarga tradisional. Tak satu pun dari ketiga karakter digambarkan begitu harmonis dengan keluarganya yang justru menjadikan cerita bisa mengulik lebih jauh soal parenting

Otis yang dibesarkan seorang ibu terapis seks justru tak bisa berbicara secara blak-blakan kepada ibunya. Bagaimana rasanya mengadu kepada ibu sendiri soal penis yang susah berdiri tegak misalnya? Bagaimana caranya meminta nasihat soal berapa kali masturbasi bisa dilakukan secara sehat dalam sehari misalnya? Atau seberapa cepat seharusnya penis bisa tegak berdiri ketika pemanasan sudah dilakukan? 

Salah satu karakter menarik di Sex Education adalah Adam. Ia membuka episode pertama musim perdana Sex Education dengan melakukan adegan seks dengan Aimee. Ketika Aimee berusaha mengerahkan segala kekuatannya untuk memuaskan Adam, laki-laki ini justru tampak biasa saja seakan melakukan aktivitas seks seperti halnya mengangkat barbel di gym. Dan sedari awal kita langsung diperlihatkan bahwa ada sesuatu yang salah dengan Adam.

Dan Adam memang punya hubungan bermasalah dengan ayahnya. Hubungan keduanya begitu tegang apalagi karena Michael, ayah Adam, adalah kepala sekolah di tempat Adam belajar. Makin sulit buat Adam untuk bergerak bebas dan dengan mudah memicu konflik antara dirinya dengan sang ayah.

Dalam bukunya A Topical Approach to Life-span Development, JW Santrock mengungkapkan bahwa konflik antara remaja dan orangtua terjadi karena berbagai faktor, seperti kemampuan logika remaja yang sedang mengalami perkembangan, pengaruh sosial, hingga ekspektasi dari orang tua maupun anak yang saling bertolak belakang. Remaja cenderung membandingkan orang tua mereka dengan standar ideal yang mereka inginkan, lalu mengkritik orang tua mereka sendiri apabila tidak sesuai. Sedangkan, orang tua melihat bahwa anaknya sendiri berubah menjadi sulit diatur.

Soal seks tak seharusnya melulu soal “Kupu-Kupu Malam” Atau “Open BO”

Terkait dengan regulasi yang belum merambah secara ketat di layanan streaming maka sudah jamak bagi kita melihat adegan-adegan seks dalam serial lokal. Sayangnya memang sebagian besar serial lokal tersebut tak berani mengeksplorasi lebih jauh soal seks terutama dari sisi edukasi kepada masyarakat.

Justru yang seringkali diperhatikan hanyalah glorifikasi dari sosok pekerja seks komersial sebagaimana yang ditampilkan di serial Kupu-Kupu Malam yang tayang di WeTV atau Open BO yang bisa ditonton di Vidio. Sesuatu yang sebenarnya sudah ditempuh oleh film-film Indonesia produksi tahun 9170-1980-an.

Padahal kita bisa belajar dari bagaimana Sex Education meramu episode demi episodenya dengan tema seks utama dan menyisipkan subplot berisi isu-isu penting mulai dari pelecehan seksual hingga toxic relationship. Isu-isu ini pun dijejalkan dalam porsi yang pas, menghindar dari klise dan dramatisasi namun terasa cukup porsinya untuk menyampaikan empati kepada penonton. 

Ketimbang remaja kita mencari informasi soal seks dari sumber-sumber yang tak bisa dipertanggungjawabkan validitasnya, mungkin membuat serial lokal soal edukasi seks bagi remaja menjadi sesuatu yang darurat hari ini. Tentu saja perlu riset yang matang, pengembangan skenario yang didampingi dokter/praktisi sesuai bidangnya dan sensitifitas tinggi dari kreatornya untuk menyajikan apa yang dibutuhkan oleh remaja kita soal seks. 

Dan saya kira hari-hari ini kita lebih siap dengan Sex Education versi Indonesia dengan pendekatan atau nilai-nilai lokal yang bisa menjadi wacana diskusi bagi remaja dan orangtuanya.

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.