*(SPOILER ALERT) Review serial Manhunt (2024) ini sedikit mengandung bocoran yang semoga saja enggak mengganggu buat kamu yang belum nonton.
Nama Monica Beletsky bisa jadi terdengar asing di telinga kita kecuali bagi mereka yang pernah menggandrungi serial Parenthood (2010-2012). Namun ketika diberi kesempatan besar menjadi kreator untuk sebuah serial di layanan streaming Apple TV, Monica tak menyia-nyiakan kesempatan.
Ia memberanikan diri mengadaptasi sebuah buku berjudul Manhunt: The Twelve Day Chase for Lincoln’s Killer yang ditulis James L Swanson. Di tangan Monica, kita melihat Manhunt tak hanya sebuah serial yang menarik, juga sebuah upaya melihat kembali sejarah dari kacamata yang berbeda.
Manhunt mengudara perdana pada 15 Maret 2024 dan tayang sebanyak 7 episode. Selain bersandar pada sebuah kisah sejarah paling menarik di Amerika, Manhunt juga menarik perhatian berkat kecemerlangan akting dari duo aktor yang namanya juga relatif asing di telinga, Tobias Menzies dan Anthony Boyle.
Sejumlah pihak mulai menjagokan terutama Anthony untuk masuk dalam bursa kandidat nomine penghargaan bergengsi seperti Emmy Awards atas upayanya memerankan John Wilkes Booth.
Review Serial Manhunt (2024)
Presiden Abraham Lincoln ditembak dari belakang oleh John Wilkes Booth
4 April 1865. Presiden Abraham Lincoln menceritakan mimpinya yang mengerikan ke salah satu temannya, Ward Hill Lamon. Sebagaimana dikutip dari History, Lincoln bermimpi tentang “isak tangis pelayat yang tenang” dan “mayat tergeletak di ruang timur Gedung Putih.”
Lincoln ingat bahwa dalam mimpinya ia bertanya kepada seorang tentara yang bertugas, “siapa yang mati di Gedung Putih?” Mimpi itu menganggunya berhari-hari dan tanggal 11 April ia menumpahkan kegusarannya soal mimpinya itu kepada Ward dan tiga hari kemudian ia terbunuh.
Kisah soal mimpinya memang tak diceritakan dalam serial 7 episode berjudul Manhunt yang tayang di layanan streaming Apple TV. Begitupun bagian cerita ini tentu menjadi bumbu yang menarik sekiranya dimuat dalam kisah yang berfokus pada pengejaran atas John Wilkes Booth setelah menembak Presiden Abraham Lincoln dari belakang.
Sebagaimana yang diketahui masyarakat, Lincoln dibunuh pada saat menyaksikan pertunjukan teater di gedung Ford bersama istrinya, Mary, pada tanggal 14 April 1865. Sebagaimana istrinya, ia sangat menikmati pertunjukan teater. Seringkali ia kedapatan terpingkal-pingkal menyaksikan tingkah polah para aktor di atas panggung.
Setelah berjuang selama bertahun-tahun demi keutuhan Amerika dan juga pembebasan perbudakan, Lincoln tentu saja butuh sedikit hiburan dan istirahat. Tapi siapa sangka justru hal tersebut menuntunnya ke tempat peristirahatan untuk selama-lamanya. Amerika pun kehilangan salah satu putra terbaiknya, salah satu tokoh yang melakukan transformasi besar-besaran dalam demokrasi Amerika yang dihirup para warganya hingga hari ini.
Sebelum Manhunt ada Killing Lincoln
Sebelas tahun sebelum Manhunt dirilis, National Geographic merilis sebuah film doku-drama berjudul Killing Lincoln. Dinarasikan oleh Tom Hanks yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Nancy Hanks yang tak lain adalah ibu Abraham Lincoln, serial ini dianggap memiliki akurasi tinggi dan penuh semangat untuk memperlihatkan bagaimana pembunuhan ini sesungguhnya direncanakan berbulan-bulan sebelumnya.
Pembunuhan ini pun bukan sembarang pembunuhan melainkan sebuah upaya teorganisir untuk melumpuhkan pemerintahan. Ketika John Wilkes Booth melompat ke atas panggung beberapa detik setelah pembunuhan tersebut sambil meneriakkan “Sic Sempre Tyrannis” (Maka Matilah Seorang Tiran.), tahulah kita betapa upaya pembunuhan ini dilakukan secara cermat dan sesungguhnya teramat politis.
Sudah cukup banyak film cerita maupun dokumenter yang mengupas soal pembunuhan paling terkenal sepanjang sejarah Amerika yang bisa kamu tonton. Namun Manhunt tetap dianggap unggul selain juga karena akurasi sejarah, juga karena menyodorkan sudut pandang yang menarik: dari seorang ayah, sesama penderita asma, seorang sahabat dan simpatisan Abraham terdepan bernama Edwin Stanton.
Seorang ayah, seorang sahabat yang berduka, juga terluka
Sebagaimana kreator serial Manhunt, Monica Beletsky, saya pun meyakini bahwa sudut pandang akan sangat menentukan dalam bagaimana sebuah film/serial memperlihatkan kapasitasnya sekaligus membangun sebuah pendekatan yang baru dan segar dan menarik.
Maka menceritakan soal pembunuhan paling bersejarah di Amerika dari sudut pandang Edwin Stanton terbilang sangat menarik. Edwin adalah seorang Menteri Perang, juga sekaligus sebagai sahabat terdekat Abraham yang selalu percaya dengan visi dan pemikiran-pemikirannya. Edwin juga berbagi kegundahan yang sama dengan Lincoln sebagai sesama ayah yang sama berduka ditinggal putra mereka, juga berbagi kekhawatiran sebagai sesama penderita asma di masa dimana dunia kedokteran belum secanggih hari ini. Maka ketika Abraham dibunuh dengan cara paling pengecut, ditembak dari belakang, Edwin lantas memproklamirkan sebuah perburuan kucing-tikus paling menarik.
Bisa jadi, hal yang paling menarik ada masa tenggang selama 12 jam di mana Amerika mengalami kekosongan kepemimpinan. Di sinilah Edwin memegang peran penting. Ia mengerahkan segala daya dan upaya untuk mencari pembunuh dari sahabatnya, mencoba menenangkan keresahan masyarakat terutama warga kulit hitam yang begitu mencintai Lincoln, sekaligus pula berusaha sekuat tenaga menahan dirinya yang terluka agar tetap bisa melakukan perburuan dengan wajar dan terukur.
Edwin mencurigai semua orang terkait upaya pembunuhan tersebut yang menurutnya memang punya itikad kurang baik untuk menggoyang demokrasi yang dibangun susah payah oleh Lincoln. Namun bagaimanapun ia harus percaya bahwa setelah 12 jam kekosongan kepemimpinan tersebut, Amerika harus dipimpin oleh presiden yang baru.
Memperkenalkan kembali Tobias Menzies dan Anthony Boyle
Nama Tobias Menzies bisa jadi terdengar asing di telinga sebagian besar penonton Indonesia. Mungkin, yang mengenalinya mengagumi bagaimana kepiawaiannya memainkan seorang tokoh bangsawan, Pangeran Philip, di serial The Crown (2019 – 2020) yang tayang di Netflix. Berkat perannya sebagai Duke of Edinburgh itu, Tobias beroleh Primetime Emmy Awards pertamanya di tahun 2021.
Maka bisa jadi Tobias memang pilihan tepat ketika Manhunt diproduksi dan membutuhkan sesosok aktor dengan kapasitas akting mumpuni yang mendedikasikan jiwa dan raganya ke dalam peran yang diberikan kepadanya. Di tangannya, kita percaya betapa berdedikasinya Edwin mengejar pembunuh sahabatnya, Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln.
Tapi Manhunt tak sekedar memperkenalkan kembali Tobias, ia juga mengenalkan ulang bakat yang relatif baru bernama Anthony Boyle. Kiprah Anthony baru saja kita lihat mencuri perhatian di serial Masters of the Air (juga tayang di Apple TV). Sebelumnya ia juga tampil dalam sebuah peran dengan durasi penampilan tak banyak dalam film Tetris yang dibintangi Taron Egerton.
Di atas kertas bisa jadi kita berpikir bahwa peran sebagai John Wilkes Booth akan membuat Anthony lebih mudah mencuri perhatian. Namun dengan begitu banyaknya pemeranan atas sosok pembunuh terkenal ini mau tak mau memang mesti membuat Anthony berhati-hati dan berani mengambil pendekatan berbeda: pendekatan humanis.
Untungnya memang skenario memberikan kesempatan lebar kepadanya untuk mempertunjukkan bagaimana sosok John dibentuk oleh pengalaman hidup dan membawa dirinya ke sudut pandang ekstrimis. Menjadi seseorang yang tak ingin Amerika begitu cepat berubah di depan matanya.
Meski Manhunt berusaha keras tak tergelincir melakukan upaya “humanisasi” atas karakter John, namun di tangan Anthony, kita melihat bagaimana John sebagai sosok multidimensional dengan kekhawatiran, kerapuhan, juga kegigihannya.
Belajar sejarah yang akurat dari film/serial
Satu hal yang perlu dicontoh oleh industri kreatif negeri ini pada Amerika adalah betapa gigihnya mereka menceritakan kembali berbagai peristiwa bersejarah, dengan akurasi tingkat tinggi melalui film/serial.
Cerita selalu menjadi menu utama, bukan pada sutradara populer atau barisan aktor-aktris ternama. Manhunt yang relatif dibintangi oleh ensemble cast aktor/aktris yang kurang populer pun tetap menjelma sebagai sebuah sajian hiburan yang menarik, pun berdaya sebagai sebuah cara melihat kembali sejarah yang berlangsung ratusan tahun silam.
Hingga hari ini saya belum pernah mendengar ada upaya dari layanan streaming yang beroperasi di Indonesia seperti Netflix, Prime Video, Vidio, Viu hingga WeTV untuk memanggungkan kisah-kisah bersejarah nan mendebarkan yang pernah terjadi puluhan tahun lalu.
Kisah-kisah menarik di balik drama sebelum proklamasi kemerdekaan, upaya penggulingan pemerintahan yang dicurigai didalangi pihak asing dalam peristiwa berdarah G30S/PKI hingga bagaimana detik-detik terakhir sebelum Soeharto berhasil digulingkan oleh mahasiswa dan rakyat pada tahun 1998 tentu saja menarik untuk diceritakan kembali dalam beragam sudut pandang yang segar.
***
Kita tak pernah kekurangan materi menarik sesungguhnya, kekurangan kita adalah begitu tak percaya dirinya kita bahwa kisah sejarah pun bisa akan sangat menarik jika digarap dengan serius dan mengutamakan cerita/skenario mumpuni dengan akurasi tingkat tinggi di atas segalanya.
Sekali lagi serial Manhunt harusnya menjadi wake up call bagi kita bahwa sejarah masa lalu perlu diceritakan ke generasi masa kini. Bahwa di masa lalu ada para pemberani yang berjuang untuk sebuah negeri dan akhirnya meregang nyawa demi sebuah idealisme. Akhirnya kita pun ikut menangis ketika Edwin mengucapkan kata-katanya yang terakhir untuk Lincoln. “Now he belongs to the angels.”