*Spoiler Alert: Review film Wicked (2024) mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum nonton.
Harus diakui bahwa Wicked memiliki pemasaran yang fantastis. Sayangnya, kerap kali pemasaran yang fantastis berbanding terbalik dengan kualitas film. Untungnya, Wicked punya kualitas yang hampir sepadan dengan pemasarannya yang bombastis –setidaknya, enggak seperti Joker: Folie à Deux yang panen kekecewaan.
Wicked mengajak kita buat masuk ke dunia lain. Saat duduk di kursi bioskop dan melihat karya ini, seolah kita lupa bahwa kita sedang berada di dunia nyata.
Diangkat dari novel karya Gregory Maguire berjudul Wicked: The Life and Times of the Wicked (1995) dan drama musikal Broadway berjudul Wicked, film ini bercerita tentang persahabatan antara Galinda dan Elphaba di Shiz University.
Galinda merupakan perempuan populer yang memiliki fisik menarik, rambut pirang indah, dan aura cheerful. Sementara itu, Elphaba memiliki sifat yang dingin, agak sinis, dan kulit hijau yang membuatnya kerap dijauhi banyak orang, bahkan oleh sang Ayah (yang bukan ayah kandungnya karena sang ibu berselingkuh). Namun, Elphaba adalah penyihir yang pintar.
Di Shiz University, Madame Morrible yang melihat potensi Elphaba kemudian menempatkannya di kamar asrama bersama Galinda. Awalnya, mereka enggak cocok. Namun, lama-kelamaan persahabatan terjalin di antara keduanya. Bahkan, persahabatan ini menjadi awal bagi mereka untuk membuka konspirasi di negeri Oz.
Review film Wicked (2024)
Mengajak penonton fokus pada musikal yang begitu kental
Film ini bercerita tentang persahabatan antara Galinda dan Elphaba di Shiz University. Galinda merupakan perempuan populer yang memiliki fisik menarik, rambut pirang indah, dan aura cheerful. Sementara itu, Elphaba memiliki sifat yang dingin, agak sinis, dan kulit hijau yang membuatnya kerap dijauhi banyak orang, bahkan oleh sang Ayah (yang bukan ayah kandungnya karena sang ibu berselingkuh). Namun, Elphaba adalah penyihir yang pintar.
Perjalanan persahabatan keduanya pun enggak digambarkan secara malas, ada proses yang harus dilewati dan seperti pementasan dramanya, proses ini berlangsung secara alamiah. Berbagai adegan manis –yang kita sering liat di promo mereka– juga begitu indah dan bikin kita merasa bahwa film ini begitu inspiring dan positif.
Kekuatan Wicked tentu bukan terletak pada alur cerita. Sebab, filim ini tidak menawarkan alur yang menegangkan atau mengejutkan. Tidak ada humor yang juga menghibur. Film ini hanya berfokus pada jalannya persahabatan Galinda dan Elphaba yang mungkin akan membawa kita lebih penasaran dengan bagian keduanya yang rilis di tahun depan.
Kendati demikian, Wicked adalah…
… film panjang dengan aspek visual memanjakan
Yap, ini dia kekuatan utama dalam film ini. Dua jam empat puluh menit adalah waktu yang harus dihabiskan untuk menonton film ini sampai selesai. Itu pun hanya part 1. Seperti yang sebelumnya diinfokan, bagian keduanya baru akan ditayangkan pada November 2025.
Dalam durasi yang panjang, kamu dibawa masuk ke visual Negeri Oz, Shiz University, dan Emerald City. Ketiganya digambarkan sebagai sebuah tempat yang penuh warna, klasik, tetapi juga modern. Tone dasar yang didominasi oleh warna pink dan hijau enggak cuma membuat film ini mewakili tokoh Galinda dan Elphaba saja, tetapi membuat film menjadi memorable dan punya identitas. Semua ini enggak lepas dari peran John M. Chu selaku sutradara. Dalam Crazy Rich Asian, Chu juga berhasil menghadirkan karya visual penuh warna yang enggak terasa childish, melainkan cheerful bagi orang dewasa.
Penggambaran dunianya memang enggak seikonik saga Harry Potter atau The Lord of The Rings. Cuma, untuk film yang hanya punya dua installment dan sebagai film nostalgia yang wajib ditonton penggemar The Wizard of Oz, visualisasi dunia dalam film ini apik.
Bukan hal yang mudah buat mengangkat sebuah pementasan drama Broadway ke layar sinema, karena banyak yang akhirnya gagal buat mengalihwahanakan karya semacam ini. Untungnya, Wicked punya kualitas yang enggak jomplang kalau dibandingkan sama dramanya. Film ini, untungnya, memutuskan buat setia sama pementasan dramanya.
Kekuatan dari film ini bukan aspek visualnya saja. Sebagai film musikal, film harus bisa mengusung aspek suara yang bagus, baik dari scoring, lagu-lagu, atau suara lainnya. Enggak ada lagu baru dalam film ini. Semua lagunya sudah pernah didendangkan di versi pementasan, mulai dari I’m Not That Girl, What’s This Feeling, sampai Defying Gravity.
Selain itu, seperti versi pementasan, lagu-lagu ini ditempatkan di momen yang pas. Jadi, bukan cuma elemen pemercantik saja, lagu-lagu ini juga mewakili situasi atau perasaan yang dialami oleh para tokoh.
Karakterisasi dan deretan pemain yang epik untuk teatrikal
Nonton Wicked di bioskop seperti melihat sebuah pertunjukkan teater dalam sebuah film. Semua cast memiliki kapabilitas membawakan perannya secara teatrikal.
Ariana Grande bisa membawakan karakter Galinda yang populer, agak manja, suka hal-hal manis, dan enggak punya trauma mendalam atas sesuatu. Aktingnya menyenangkan, bikin gemas, dan kayaknya sulit untuk menemukan cast lain yang lebih cocok berperan sebagai Galinda di layar dibandingkan Ariana Grande.
Sementara itu, Elphaba digambarkan sebagai kutub yang berbeda dari Galinda baik dari segi sifat mau pun pembawaan. Elphaba terlihat sinis, serius, tetapi sangat cerdas dan memiliki kekuatan langka. Menjejerkan keduanya memberikan suatu kontras yang menarik banget.
Cynthia Erivo mampu menampilkan sosok Elphaba yang dingin, sinis, tetapi juga nerd khas anak cerdas pada umumnya. Saya justru memberikan highlight positif untuk akting Erivo. Akting, dan suaranya ketika bernyanyi begitu mencuri perhatian.
Pemilihan Peter Dinklage sebagai pengisi suara dan pemeran Dr. Dillamond, hewan kambing yang bisa berbicara dan menjadi pengajar, juga merupakan pemilihan yang tepat. Suara Dinklage yang rendah memberikan kesan bijak sekaligus putus asa.
Michele Yeoh juga membawakan peran Madame Morrible dengan bagus. Wajahnya terlihat dingin dan pembawaannya tegas. Riasan rambutnya yang pirang terasa memperkuat kesan “terhormat” dan “berkuasa” dari Morrible.
Oh ya, selain Yeoh sebagai Morrible, Jeff Goldblum juga cukup apik sebagai Wizard. Kalau kamu sudah menonton The Wizard of Oz, kamu mungkin tahu latar belakang dari Wizard. Wizard enggak bisa dibilang supervillain. Ia adalah con man yang punya latar belakang khusus.
Goldblum bisa menampilkan kesan oportunis dari Wizard yang bikin penonton sebel, tetapi enggak takut atau ingin marah. Dia adalah penipu, penyihir yang buruk (karena memang bukan penyihir), tetapi dia punya pesona yang membuatnya menjadi politisi yang baik.
***
Menonton Wicked memberikan rasa bahagia, seperti kembali ke masa kecil ketika kita menikmati film untuk bikin hati kita happy. Memang penikmat pementasannya mungkin akan punya beberapa opini berbeda, apalagi durasi film ini kelewat panjang.
Namun, lebih dalam daripada sekadar “film eye-catchy”, Wicked jadi hiburan tersendiri untuk para pecinta musikal. Kamu sudah bisa nonton Wicked di bioskop terdekat mulai 20 November 2024.