*Spoiler Alert: Review film Heart of Stone mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.
Jika ngomongin Wonder Woman, kamu pasti langsung teringat dengan aktris yang begitu melekat dengan karakter tersebut, yaitu Gal Gadot. Berkat perannya sebagai Wonder Woman, rasanya sulit melepaskan Gadot dari image perempuan tangguh. Enggak hanya lewat Wonder Woman, kamu juga bisa melihat aksi Gadot lainnya sebagai perempuan tangguh lewat film terbarunya yang berjudul Heart of Stone.
Di Heart of Stone, Gadot berperan sebagai seorang agen rahasia bernama Rachel Stone. Film ini digarap oleh Tom Harper, sosok yang juga menyutradarai The Aeronauts (2019), Wild Rose (2018), dan The Woman in Black: Angel of Death (2015). Selain Gadot, Heart of Stone juga dibintangi oleh Jamie Dornan, Alia Bhatt, Sophie Okonedo, dan aktor lainnya.
Heart of Stone berkisah tentang Rachel Stone yang melakukan misi penyamaran dari organisasi yang menaunginya, yaitu Charter. Selama menjalankan tugasnya, Rachel selalu dipandu dengan bantuan teknologi supercanggih bernama Heart, yang bisa mengendalikan apa pun yang ada di Bumi. Pada suatu hari, Rachel melakukan kesalahan yang membuat pihak musuh jadi tahu tentang keberadaan Heart. Rachel pun harus bergegas mencegah musuh untuk mendapatkan Heart.
Review film Heart of Stone
Awal yang bagus, tetapi semakin menurun hingga akhir film
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Heart of Stone menampilkan Gal Gadot sebagai Rachel Stone. Sebagai karakter utama, Rachel tentu saja diceritakan sebagai mata-mata yang sangat terampil, lihai, dan kuat. Walau diceritakan sebagai karakter kuat, film ini tetap memperlihatkan sisi rentannya Rachel sebagai seorang perempuan yang masih mengikuti perasaannya dalam bertindak.
Selama menonton filmnya, saya cukup senang dengan penggambaran karakter Rachel di film ini. Kuat, tetapi masih punya sisi rentan, dan tidak mengeksploitasi kecantikannya untuk menjalankan tugasnya sebagai mata-mata. Sayangnya, karakter sebagus dan sepotensial Rachel, yang mana bisa menginspirasi perempuan, malah ditampilkan pada cerita yang tidak terlalu spesial.
Heart of Stone sebenarnya dibuka dengan cukup kuat; yang mana kita melihat Rachel menyamar, melakukan aksi yang begitu berbahaya di Pegunungan Alpen, ditantang oleh seorang ahli komputer misterius bernama Keya Dhawan, hingga muncul plot twist besar tentang salah satu rekannya Rachel. Namun begitu plot twist besarnya terungkap, tidak ada lagi sesuatu spesial yang bisa kamu temukan dari pertengahan hingga akhir filmnya.
Saya cukup menyayangkan kenapa plot twist sebesar itu malah diungkapkan terlalu cepat pada bagian first act filmnya. Yang lebih disayangkan lagi, karakter Keya yang awalnya terlihat begitu meyakinkan dan mengintimidasi malah jadi memble selama pertengahan hingga akhir filmnya karena terungkapnya villain kejutan. Namun di sisi lain, pengembangan karakter villain kejutannya juga tidak menarik setelah plot twist-nya terungkap.
Bukannya semakin menarik, semua potensi besar yang dibangun pada awal film malah berubah menjadi cerita yang klise dan gampang ditebak setelah plot twist-nya terungkap! Diperparah lagi dengan dialog yang cheesy karena penggunaan dialog yang overuse pada berbagai film aksi. Bahkan, ada beberapa adegan yang seharusnya menjadi momen lucu malah disampaikan dengan cara yang garing.
Terbantu dengan image Gal Gadot sebagai bintang aksi
Sudah cukup berpengalaman dalam membintangi film aksi, tentunya Gal Gadot tampil dengan cukup baik sebagai Rachel Stone. Penampilan Gadot saat beraksi terlihat begitu badass seperti biasanya. Aktingnya Gadot terbilang cukup bagus, tetapi tidak ada sesuatu yang spesial atau menggugah hati dari aktingnya di sepanjang film ini.
Aktor-aktor selain Gadot yang muncul di film ini juga tidak ada yang aktingnya terlihat paling menonjol. Namun jika disuruh memilih siapa yang aktingnya paling lemah, saya akan memilih Alia Bhatt yang beperan sebagai Keya Dhawan. Awalnya, Bhatt terlihat cukup keren saat pertama kali muncul sebagai Keya. Namun karena pengembangan karakternya kurang menarik hingga akhir film, penampilan Bhatt pun jadi ikut berpengaruh.
Tampilkan kualitas visual dan audio yang standar
Kualitas visual yang ditampilkan Heart of Stone juga bukanlah sesuatu yang spesial dan saya merasakan nuansa ketinggalan zaman pada visual film ini. Sepanjang menonton filmnya, visualnya terlihat grainy di mata saya. Sinematografinya juga enggak jauh berbeda dari film aksi lainnya. Ditambah lagi, ada beberapa adegan yang kualitas CGI-nya terlihat kurang halus.
Saya akui Heart of Stone menampilkan opening credit dengan lagu yang ear catching dan sesuai dengan tema filmnya. Begitu memasuki filmnya, pemilihan scoring-nya cukup umum seperti kebanyakan film aksi lainnya. Walau tidak ada scoring atau audio yang memorable, setidaknya penggunaan scoring-nya tepat pada berbagai suasana filmnya.
***
Heart of Stone sebenarnya menampilkan karakter utama perempuan yang punya potensi untuk bersaing dengan karakter mata-mata ikonis yang sudah lebih dulu ada. Sayangnya, cerita yang ditampilkan di film ini kurang memaksimalkan potensi Rachel Stone untuk menjadi karakter yang berkesan. Padahal, filmnya dibuka dengan opening yang menjanjikan, tetapi malah semakin menurun ketika memasuki pertengahan filmnya.
Setelah baca review film Heart of Stone, apakah kamu jadi tertarik menonton film aksi ini? Buat yang sudah menonton, jangan lupa bagikan pendapat kamu tentang film ini, ya!