*Spoiler Alert: Artikel review film The Pale Blue Eye ini mengandung bocoran cerita yang bisa saja mengganggu kamu yang belum nonton.
Christan Bale adalah wajah yang menjanjikan dalam poster saat kamu menginginkan sebuah tontonan yang berkualitas, seru, dan mungkin memberikan probabilitas adanya kejutan-kejutan yang aneh dan sulit diungkapkan. Ini juga berlaku dalam The Pale Blue Eye, sebuah film berlatar tahun 1830 dengan tema misteri pembunuhan. Ditambah dengan poster yang dramatis dan keberadaan tokoh nyata penulis misteri Edgar Allan Poe (1809-1849) di dalamnya, wajar jika ia bikin banyak orang penasaran dan trending di Netflix.
The Pale Blue Eye hadir dengan pembuka menarik dan jika dilihat dari konsep, ia memberikan sesuatu yang berbobot, penuh plot twist yang akan mengingatkanmu pada The Prestige (2006). Namun, apakah ia serapi dan secantik The Prestige? Itu soal lain yang selanjutnya akan kita bahas. Simak review lengkapnya di artikel ini.
Review film The Pale Blue Eye (2022)
Petualangan detektif ala Sherlock
The Pale Blue Eye akan dibuka dengan templat ala petualangan Sherlock Holmes, ketika Akademi Militer West Point diteror oleh pembunuhan sadis salah satu kadetnya, Leroy Fry, yang digantung dan jantungnya diambil. West Point pun kemudian menunjuk Augustus Landor, seorang detektif alkoholik yang udah pensiun buat menyelesaikan kasus tersebut.
Uniknya, enggak lama setelah ia menerima kasus tersebut, Landor didekati oleh Edgar Allan Poe. Awalnya, Poe memang bukan penulis atau penyair. Ia adalah kadet biasa yang kerap dijadikan bahan gurauan oleh kawan-kawannya dan dianggap kurang mumpuni. Namun, Allan Poe, punya hati bersih dan keingintahuan besar.
Keberadaan Edgar Allan Poe dan kepercayaan mistis ini semestinya bisa menjadi senjata bagi alur cerita untuk menjadi lebih dalam, lebih gelap, lebih penuh teka-teki. Pada seperempat bagiannya, kita berharap akan mendapatkan Sherlock: The Abominable Bride yang mengombinasikan misteri pembunuhan, mitos hantu, dan teori konspirasi gila.
Terlebih, Fry bukan satu-satunya korban. Selanjutnya, ada Randolph Ballinger, yang kini bukan cuma jantung, tetapi alat kelaminnya juga menghilang. Potongan bagian tubuhnya pun lebih kasar daripada sebelumnya.
Misteri semakin rumit ketika Ballinger meninggal dunia setelah melabrak Edgar Allan Poe yang dianggap punya banyak kasus. Di antaranya dicurigai merebut Lea Marquis, anak dokter West Point dari Ballinger, hingga hilangnya Stoddard, kawan sesama kadet dari kedua korban tersebut. Awalnya, kita mungkin cuma punya satu atau dua tersangka.
Namun, makin ke sini, makin banyak orang yang enggak bisa dipercaya, termasuk Edgar Allan Poe sendiri. Masalahnya, benarkah demikian? Dan apakah kerumitan ini mampu untuk menjadikan film ini renyah?
Film yang mengajak penonton untuk pasif
Jika ingin film detektif menjadi sukses, setidaknya gunakan salah satu dari dua cara ini. Pertama, membuatnya menjadi begitu filosofis, menjadi sindiran atas masalah sosial sehingga penonton pun merasa relate. Kedua, buatlah misteri yang jika penonton enggak berfokus satu menit saja untuk menonton, mereka akan kehilangan clue. Kesenangan seperti itulah yang bisa kita dapatkan saat menonton serial Sherlock atau mungkin membaca komik semacam Detektif Kindaichi.
Namun, The Pale Blue Eye hanya berhenti sebagai tontonan yang seru aja. Maksudnya, kamu bisa pergi ke toilet selama lima menit tanpa harus memundurkan film, tetapi bisa tetap mengikuti dan menebak siapa salah satu penyebab kasus kejahatan ini saat film tinggal seperempat bagian.
Dari sisa durasi yang ada, kamu juga akan bisa menebak bahwa “penjahat yang mati” ini bukan penjahat sebenarnya. Penjahat ini hanyalah penjahat kedua yang enggak paham agenda besar di balik ini.
Keputusan untuk bikin plot twist semacam ini adalah ide brilian, sebetulnya. Terlebih, plot twist-nya juga berkorelasi sama isu perempuan yang memang masih hangat dibahas dan selalu menjadi momok masyarakat.
Hanya saja, alih-alih mengejutkan secara sempurna dan di waktu yang tepat layaknya The Prestige, kejutannya kasar, dan antiklimaks. Rasanya, kita pengin ikut berempati sama kejutan itu. Tetapi ada sesuatu yang kurang, dan kekurangan itu sebetulnya sulit didefinisikan. Mungkin, waktunya enggak tepat. Mungkin, alurnya agak datar. Atau mungkin, karena beberapa hal menarik cuma menjadi tempelan, enggak dieksplorasi lebih jauh.
Edgar Allan Poe dan sihir yang kurang digali
Keberadaan Edgar Allan Poe sebagai peran pembantu harusnya bisa menjadi celah untuk menjadikan narasi lebih megah, mungkin dikaitkan dengan berbagai hal bersifat sastrawi. Namun, Poe sendiri enggak terlihat seperti penyair. Perkembangan tokohnya stagnan dan kepintarannya menjelang akhir seolah muncul begitu saja karena kecelakaan yang agak parah.
Agak lancang melihat film ini menggunakan tokoh legendaris tersebut lalu menjadikannya seperti anak cupu yang layak dipercaya hanya karena ia caper sekaligus baik. Bahkan, kalau mau membicarakan tentang kisah fiktif yang pakai tokoh nyata, Adolf Hitler dalam Indiana Jones and The Last Crusades atau bahkan Salvador Dali dalam Midnight in Paris lebih nendang dan lebih berguna daripada Edgar Allan Poe yang mendapatkan porsi besar di film misteri ini.
Selain itu, enggak ada nuansa mengerikan yang bikin kita merinding saat film menunjukkan tanda-tanda okultisme. Padahal, elemen-elemen okultisme ini harusnya bikin kita takut, karena kita enggak tahu apa yang akan kita hadapi. Apakah yang kita hadapi adalah psikopat? Penyihir? Iblis yang jahat? Atau ketiganya?
Elemen-elemen ini ditunjukkan dalam waktu yang singkat, dengan nuansa yang datar, sehingga kita berpikir mungkin pelakunya cuma orang bodoh yang menginginkan sesuatu atau ingin balas dendam. Dan, jika kamu berpikir demikian, kamu sudah separuh benar.
Sayangnya, balas dendam yang ditampilkan memang kurang matang dan enggak jelas. Seolah, semua itu terjadi karena tangan Tuhan ikut campur saja (dan itu juga sempat disinggung nantinya). Namun, harusnya sindiran soal “tangan Tuhan” cukup hadir di pembicaraan tokoh saja, bukannya digunakan sebagai formula film. Karena, film-film dengan elemen deus-ex-machina alias “mesin Tuhan” alias serba kebetulan, bikin penonton enggak harus berpikir untuk menonton.
Sekadar asyik dan memberikan pesan moral
The Pale Blue Eye bukan tontonan yang jelek dan membosankan. Kamu mungkin enggak akan mematikan TV saat film ini mencapai separuh bagian. Namun, kamu hanya akan mendapatkan kisah detektif seru dengan plot twist yang menyakitkan sekaligus memberikan pesan moral. Ya, pesan moral bahwa perilaku tanpa empati yang brengsek akan melahirkan iblis-iblis lain di dunia.
Enggak semua hal dari film ini buruk. Kisah Landor, nyatanya mungkin akan bikin kita tertarik, tersenyum, sekaligus terharu. Selain itu, performa para aktornya bagus. Pemeran Edgar Allan Poe, Harry Melling juga sangat bisa mengimbangi Christian Bale selaku Landor terutama dalam hal memunculkan emosi-emosi tertentu. Riasannya pun membuat dia menjadi mirip Edgar Allan Poe.
***
Buat kamu yang mencari tontonan asyik yang memuaskan waktu luang, The Pale Blue Eye adalah film yang cukup direkomendasikan. Namun, enggak seperti penampakan poster atau trailer-nya, film ini agak jauh dari kata misterius, angst, dan horor. Yang jelas, ini bukan film yang menantang-menantang amat buat pencinta kisah detektif kelas berat.
Kamu bisa pertimbangkan sendiri dengan menontonnya di Netflix. Jangan lupa untuk terus kunjungi KINCIR agar kamu enggak ketinggalan berita seru seputar film lainnya.