Viralnya dokumenter The Tinder Swindler membuat banyak orang menjadi lebih aware dengan isu penipuan. Hebohnya serial ini tentu enggak dapat dilepaskan dari tokoh yang dibahas di dalamnya. Siapa lagi kalau bukan Shimon Yehuda Hayut alias Simon Leviev.
Berasal dari keluarga dengan latar belakang biasa di Israel, Simon berhasil menipu banyak orang –utamanya perempuan– dengan menggunakan identitas Simon Leviev. Ia mengaku sebagai anak dari Lev Leviev, konglomerat berlian dari Rusia keturunan Israel dan menipu para korban dan menggunakan uang mereka untuk bersenang-senang.
Lebih dari itu, Simon juga mahir memutarkan uang sehingga ia bisa menjerat korban lainnya dengan menggunakan uang tipuan dari korban sebelumnya. Target utamanya adalah para perempuan yang dijebak dengan hubungan romantis. Dalam aksinya, Simon menggunakan platform pencarian pasangan Tinder.
Menjadi ikon penipu di kencan online, Simon Leviev pun sering dikaitkan dengan berbagai kejadian mengecewakan di ranah percintaan masyarakat Indonesia. Warganet kemudian latah memunculkan kisah-kisah Simon Leviev baru.
Analogi Tinder Swindler Indonesia ini ditujukan saat mereka nge-spill alias mengungkap kisah-kisah penipu dengan embel-embel cinta. Banyaknya peran media yang mengangkat pun makin mengukuhkan bahwa Tinder Swindler Indonesia adalah tak lebih dari penipu di aplikasi kencan daring yang hobi menebar pesona dan cinta semu.
Beberapa “Simon Leviev Indonesia” memang memiliki trik seperti halnya Simon Leviev yang asli. Namun, ada banyak kasus penipuan yang sebetulnya jauh dari kasus Simon Leviev.
Walau penipuan dalam bentuk apapun memang merugikan, kayaknya kalau sekadar cowok minta-minta duit, enggak melulu harus dilabeli Simon Leviev Indonesia. Soalnya, laki-laki berkacamata itu membawa penipuan ke tingkat yang lebih tinggi. Bukan sekadar cinta, Simon berhasil memengaruhi dan memanipulasi psikologi para korbannya.
Memahami bahwa penipuan Simon Leviev enggak sama dengan sama penipu cinta pada umumnya bakal membantu kamu untuk lebih waspada dan juga lebih cerdik dari penipuan-penipuan zaman now yang semakin inovatif.
Yuk, telusuri bagaimana Simon Leviev mampu menipu para korban –bahkan yang berpendidikan dan mawas diri sekali pun.
Bukan cuma modal tampang, tapi jago retorika
“Jangan samain sama Simon dong, dia kan ganteng “
Begitulah yang dikatakan banyak netizen saat menanggapi kasus penipuan yang diceritakan oleh @malamtanpakata. Kasus ini melibatkan seorang laki-laki yang diduga bernama Ramdani S E. Ia menipu para korban dengan berpura-pura memiliki banyak pabrik dan membuat akun palsu yang menjual barang elektronik.
TWITTER PLEASE DO YOUR MAGIC
HATI HATI TINDER SWINDLER VERSI INDONESIA
Jadi aku udah bingung banget mau curhat kemana. Ditipu mentah-mentah sama orang ini.
Ada yang kenal kah? Atau ada yang jadi korban juga?
Aku bakalan cerita kronologis lengkapnya dibawah ya.Mohon bantu RT pic.twitter.com/dLqI3usq73
— sunyi di malam itu (@malamtanpakata) March 14, 2022
Banyak orang yang menganggap bahwa penipuan Simon Leviev berhasil karena ia adalah laki-laki yang tampan. Kendati apa yang dilakukan Ramdani hampir sama gilanya dengan apa yang diperbuat Simon, yang membedakan para “Tinder Swindler Indonesia” ini bukanlah wajah semata, lho.
Dilihat dari segi wajah, Simon Leviev memang memiliki modal. Wajahnya memang tergolong simetris dan bersih. Namun, wajah saja enggak cukup buat bisa meyakinkan orang lain. Apa yang dimiliki oleh Simon Leviev adalah sesuatu yang dinamakan pesona.
Pesona bukanlah sekedar tentang wajah yang tampan atau pakaian yang mahal. Pesona Simon Leviev berasal dari kepercayaan dirinya dan juga kepandaiannya untuk berkomunikasi. Dalam setiap aksinya, Simon bahkan menghidupi peran-peran yang ia mainkan.
Ia tahu betul bagaimana cara untuk bertingkah layaknya seorang pewaris perusahaan besar. Ia juga tahu bagaimana cara berkomunikasi yang tepat untuk meyakinkan para perempuan tentang jati dirinya.
Bisa dibilang, Simon Leviev memiliki kemampuan retorika yang baik. Menurut Aristoteles, seorang filsuf dari Yunani, kemampuan retorika adalah kemampuan buat mengemukakan sesuatu yang memberikan efek persuasif kepada pendengarnya. Retorika sendiri berasal dari bahasa Yunani rhetrike yang artinya seni berbicara.
Nah, seni berbicara ini tentu enggak lahir semalam saja atau hanya dimiliki orang tampan. Untuk bisa beretorika dengan baik, seorang pembicara haruslah berfokus pada lawan bicara yang dituju serta memahami pilihan dan keinginan lawan bicara.
Dalam prosesnya, bisa jadi Simon memandang para korbannya sebagai sekumpulan khalayak yang memiliki satu motivasi atau karakteristik tertentu. Misalnya, suka dengan kekayaan dan menginginkan hubungan dengan seseorang yang terpandang.
Jika ditelusuri lebih dalam lagi, dalam aksi-aksinya, Simon Leviev memang sudah memenuhi beberapa aspek retorika. Ia membangun citra yang baik (sebagai pewaris perusahaan berlian), niat yang menyentuh hati khalayak (dengan menginginkan hubungan persahabatan/pacar yang romantis), dan suasana emosional yang dibangun lewat makan malam romantis, jalan-jalan di pesawat pribadi, hingga mengobrol secara intens via Whatsapp.
Bukan cuma enggak modal, Simon Leviev justru “berinvestasi”
Lagi-lagi, jika membicarakan mayoritas kasus The Tinder Swindler Indonesia dan membandingkannya dengan kasus Simon Leviev, akan keluar satu perbedaan signifikan lagi. Kembali, itu bukan soal tampang, melainkan bagaimana Simon rela buat mengeluarkan modal untuk menjerat korban.
Fakta ini membuat kita menjadi benci sekaligus takjub dengan apa yang diperbuat Simon. Jika pelaku dalam kisah-kisah Tinder Swindler Indonesia hanya bermodal omongan kosong di messenger, enggak dengan Simon.
Segera setelah match di Tinder, Simon kemudian membanjiri para perempuan dengan perhatian dan harta yang enggak pernah mereka minta. Awalnya, Simon akan meminta untuk ketemuan di hotel mewah, kemudian memesankan makanan yang harganya sangat mahal.
Enggak cukup sampai di sana, Simon Leviev juga menawarkan perjalanan dengan pesawat pribadi. Semua itu levelnya sudah di atas ngaku-ngaku anak orang kaya. Simon seolah rela untuk memberikan apa saja bagi sang perempuan karena tahu bahwa suatu saat, ia akan “balik modal”.
Strategi Simon beda banget dengan penipu-penipu cinta di Indonesia. Simon bahkan membawa penipuan cinta ke ranah moneygame. Ya, layaknya korban moneygame, saham bodong, dan koperasi bodong. Simon memberikan semua kesenangan kepada sang korban dengan uang korban sebelumnya, alias gali lubang, tutup lubang.
Skema ini juga disempurnakan dengan keberadaan bodyguard Simon yang betul-betul memiliki penampilan meyakinkan sebagai seorang penjaga. Dengan skema seperti ini, alhasil bahkan cewek-cewek yang berpendidikan dan berpengalaman sekali pun dapat tertipu.
Kreativitas tinggi dalam menipu ala Simon Leviev jauh di atas Tinder Swindler Indonesia
Para “Simon Leviev Indonesia” jelas menggunakan cara yang “kasar” dalam menipu. Mereka hanya menipu dengan modal omongan semata. Namun, Simon bahkan dapat melakukan penyuntingan bukti transfer yang rapi, membuat paspor palsu, dan kartu kredit palsu. Tentu saja hal-hal semacam ini cenderung membuat para perempuan mudah untuk tertipu.
Selain itu, timing pengiriman berkas-berkas palsu ini juga sangat tepat. Maka dari itu, wajar apabila para korban kemudian enggak segera menyadari skema penipuan ini sesaat setelah Simon Leviev meminta sejumlah uang kepada mereka, bahkan meminta uang kembali setelahnya.
Secara psikologis, korban dibuat bingung, enggak berdaya, dan juga merasa lelah. Hal ini menghindari mereka dari kemawasan diri, membuat mereka mudah menuruti Simon. Lebih mengerikannya lagi, Simon kemudian menutup semuanya dengan ancaman apabila korban enggak mau menurutinya dan melaporkannya ke pihak berwajib.
***
Setiap penipuan harus diwaspadai. Namun, penipuan yang dilakukan oleh Simon ini benar-benar harus diperhatikan. Bahkan bagi seorang perempuan yang enggak mudah tertipu, ia bisa jatuh menjadi mangsanya Simon.
Simon menjebak para korban dengan cara yang halus hingga pada akhirnya mengeluarkan senjata terakhir berupa intimidasi. Dan ia juga tidak pernah kabur apalagi nge-ghosting korbannya.
Intinya, penipuan yang dilakukan oleh para pelaku enggak bertanggung jawab itu berbeda-beda. Apa yang dilakukan Simon Leviev lebih dari sekadar ngaku kaya, minta ditraktir, dan pergi begitu saja.