*Spoiler Alert: Review film Unlocked mengandung bocoran yang bisa saja mengganggu kamu yang belum menonton.
Sejauh ini, industri film Korea Selatan memang selalu nendang saat harus merekam isu sosial, terutama yang terkait kejahatan. Belum lama ini, The Glory bisa memotret isu trauma perundungan dan menyulapnya menjadi drama pembalasan dendam yang enggak mengaburkan kritik sosialnya. Unlocked, merekam isu yang berbeda, tetapi masih terkait perundungan dan manipulasi terhadap orang lain.
Sejatinya, Unlocked bukan cerita baru. Ia diadaptasi dari novel Jepang Sumaho o Otoshita (2017) karya Akira Shiga dan diberi sentuhan rasa khas Korea Selatan. Nama-nama tokoh dan beberapa identitasnya pun diganti.
Unlocked bercerita tentang Lee Na-Mi, karyawan perempuan di perusahaan rintisan. Ponselnya sempat tertinggal di bus. Awalnya, ia sempat merasa beruntung karena ponselnya ditemukan oleh laki-laki yang mengaku bernama Oh Jun Yeong dan dikembalikan.
Sayangnya, masalah enggak selesai sampai di situ. Kembalinya ponsel Na-Mi justru adalah awal dari neraka dunia. Ada sosok lain yang mengontrol kehidupannya lewat semua data pribadi dan akunnya di media sosial dan penyimpanan awan. Semua hal itu seolah dilakukan Na-Mi karena Jun Yeong memasang spyware dan memiliki akses penuh kepada ponsel Na-Mi, usai ia menemukannya.
Kehidupan Na-Mi berantakan. Ia dibenci rekan kerjanya, dibenci teman-temannya, disudutkan, dan yang paling parah dituduh melakukan pembunuhan. Jun Yeong pun masih menghantui kehidupannya, mengikuti gerak-geriknya, mengontrol akses keuangannya, membuat Na-Mi kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.
Film yang penuh ketegangan
Unlocked memberikan kengerian bukan hanya karena premisnya. Atmosfer yang dibangun dari awal enggak enak. Latar tempatnya beragam, teknologi-teknologinya maju, tetapi seperti kehilangan kehangatan. Selain itu, film enggak cuma menyorot Na-Mi, tetapi laki-laki psikopat pengincar Na-Mi saat ia menjalankan aksinya.
Cara si psikopat ini untuk mencuri identitas dan mengintai korbannya juga creepy. Ia tidak hanya melihat semua unggahan Na-Mi, tetapi membuat pola aktivitas dan gaya tulisan Na-Mi sebagai bekal untuk menyamar menjadi Na-Mi di berbagai kanal media sosial. Maka dari itu, enggak mengherankan jika banyak orang yang bisa dengan mudah menyalahkan Na-Mi atas banyak aktivitas yang dilakukan oleh sang psikopat atas nama Na-Mi sendiri.
Semua teror itu nyatanya bukan puncak dari film. Ibarat wahana roller coaster, kita baru diajak untuk naik ke puncak. Namun, bagian paling seru dan bikin jantungannya adalah saat wahana menurun. Itulah saat ketika Na-Mi dituduh menjadi pembunuh dan menemukan kenyataan bahwa orang yang mengembalikan ponselnya mungkin adalah orang yang merupakan pembunuh berdarah dingin.
Momen peralihan dari saat-saat genting ketika Na-Mi kebingungan dengan hidupnya dan saat ada pembunuhan berjalan secara smooth. Peralihannya dibuat begitu natural. Lagipula, sumber masalahnya memang cuma satu: sang psikopat. Rentetan masalah yang dihadirkan pun rapi, realistis dan bikin penonton percaya bahwa hal-hal ini memungkinkan banget terjadi di dunia nyata.
Jajaran cast yang terasa pas
Im Si-wan memang rasanya sangat menjiwai peran psikopat yang dibawakannya. Bukan hal yang mudah untuk menjadi laki-laki misterius hampir tanpa ekspresi sepanjang film tanpa terlihat cringe. Si-wan dengan wajah yang tenang dan intelek berhasil membawakan nuansa creepy, membuat kita mengalami perasaan campur aduk saat melihatnya. Jika orang dengan wajah intelek, good-looking, dan penampilan rapi enggak dapat dipercaya, lalu siapa yang bisa?
Hal yang sama juga terjadi pada Chun Woo-hee yang berperan sebagai Na-mi. Keluguan, ketakutan, dan bagaimana Na-mi yang hidupnya biasa-biasa saja pada akhirnya mengumpulkan semua keberanian yang tersembunyi buat melawan. Character development Na-Mi terlihat bagus, enggak dipaksakan bangkit dari orang biasa menuju hero dan hal itu direpresentasikan dengan bagus oleh Woo-he.
Pemain yang bagus adalah pemain yang mampu membawa penonton ke dalam cerita. Kolaborasi keduanya mampu melakukannya dengan baik, sehingga penonton merasa geregetan dan enggak aman bahkan di rumah mereka sendiri.
Alur yang asyik tapi mudah ditebak
Beberapa penonton mungkin akan mencari teka-teki dalam film thriller. Ini sesuatu yang mungkin kurang dapat dipenuhi oleh Unlocked. Maksudnya, sedari awal kita sudah tahu bahwa masalahnya pasti akan dibuat oleh sang laki-laki misterius dan Na-Mi akan terjebak pada masalah itu hingga momen pertemuan. Enggak ada misteri, kecuali siapa laki-laki itu dan apa motivasinya.
Menjelang akhir, kita akan diberi tahu identitas doi. Namun, kita enggak diberi tahu motivasi dan latar belakang mengapa identitasnya bisa demikian. Ini bisa menjadi kekurangan, tetapi kalau dipandang dengan cara lain, bisa menjadi kelebihan dari film.
Identitas laki-laki ini mungkin punya relasi kuat dengan “hobinya” mencuri identitas orang lain, tanpa perlu film ini banyak berceramah. Sayang aja, film berakhir menggantung dan enggak ada eksplorasi lebih dalam mengenai latar belakang tokoh psikopat.
Jika melihat beberapa hal uang belum selesai dan akhir yang menggantung, film ini cocok jika dibuat sekuel. Namun, belum ada kabar tentang hal itu dan melihat dari pola sinema Korea Selatan, banyak film yang dibiarkan menggantung tanpa ada sekuel.
Menunjukkan ttanpa menggurui
Semua cerita menegangkan sepanjang film ini pada dasarnya bermaksud untuk menunjukkan bahaya teknologi. Kita merasa dipermudah dengan kemampuan sebuah ponsel pintar untuk menyimpan dan mengerjakan apa pun. Beberapa orang bahkan kerap mengolok-olok cara konvensional seperti membaca buku fisik, menyimpan berkas-berkas di lemari, atau bahkan menabung tanpa m-banking. Sayangnya, semua kemudahan itu akan selalu datang dengan risiko.
Unlocked adalah kisah yang membuat dampak buruk teknologi menjadi hiperbola, tetapi bukan enggak mungkin terjadi. Semua kejahatan teknologi kecil-kecilan –mulai dari undangan palsu, paket palsu, revenge porn, peretasan penyimpanan awan, peretasan messenger untuk meminta pulsa dan meminjam uang– jika dikumpulkan jadi satu, hasilnya adalah kejahatan psikopat dalam film Unlocked. Bagusnya, film ini seolah merangkum semua isu-isu teknologi itu menjadi satu, menjadi sebuah cerita yang padu.
Bagaimana? Apakah kamu mulai parno dengan ponselmu setelah kamu menonton Unlocked? Teror dalam film ini bisa dijadikan pelajaran untuk selalu pegang data pribadimu dengan hati-hati, jangan share password seenaknya dan pelajarilah social engineering dengan baik.
Unlocked bisa kamu saksikan di Netflix.